Pernahkan
kamu merasakan kegelapan? Seberapa lama? Sepuluh detik? Satu menit? Bagaimana
rasanya gelap? Mengerikan? Bagaimana jika kamu terus-menerus melihat hanya
gelap. Hitam. Ditambah tak mendengar?
Kamu bisa mencobanya dengan
memejamkan mata, dan menutup telinga. Rasakan. Apa yang terjadi?
Ya, pasti tidak menyenangkan, buruk,
dan semua orang pasti tidak mau untuk tidak bisa melihat, mendengar apalagi
berbicara. Tiga hal ini adalah ‘pintu masuk’ semua informasi. Bagaimana jika
ada yang orang tidak bisa melakukan tiga hal tersebut?
Bertanyalah pada Helen Keller. Kau
tak perlu bertemunya langsung. Kau bisa membaca bukunya atau menonton film
tentangnya. Tentang perempuan yang lahir normal tapi di umur 19 bulan seolah
dunia terputus dengannya, ia tuli dan buta—karena ia tuli dan buta, ia tak bisa
berbicara normal.
Hanya ada hitam, kosong, hampa..
Itu pula yang membuat Tere Liye
menuliskan novel berjudul Moga Bunda Disayang Allah. Novel ini terinspirasi
dari kisah hidup Helen Keller dan film India berjudul Black. Intinya sama,
bercerita tantang perempuan buta, tuli, tak bisa bicara. Tapi tak sembarang
cerita, cerita itu sungguh menginspirasi. Bagaimana tidak? Seorang yang sudah
terputus dengan dunia terus berusaha bagaimana caranya untuk keluar dari itu semua.
Seperti kisah di dalam novel Tere Liye
ini. Tokoh Helen Keller diperankan menjadi Melati. Melati adalah anak kecil
buta, tuli dan tak bisa bicara. Sudah berapa banyak dokter yang diundang untuk
menyembuhkan Melati. Tapi tak ada yang bisa. Dokter-dokter itu menyarankan agar
Melati dimasukan ke rumah sakit jiwa saja. Hingga akhirnya kedua orangtua
Melati setuju untuk memanggil guru yang terkenal sangat dekat dengan anak
kecil, guru itu bernama Karang.
Hari demi hari Melati diajari Karang
untuk mengenal dunia. Di Minggu-minggu pertama Karang begitu kasarnya pada
Melati. Sehingga membuat Tuan HK (ayah melati) geram, apalagi Karang ketahuan
pemabuk. Itu semakin menyulut amarah Tuan HK yang sangat tak suka dengan
pemabuk.
Karang diusir, tapi ia masih ingin
mengajari Melati untuk mengenal dunia. Menjelang kepergian Karang (karena diusir),
ternyata Melati sudah bisa makan dengen sendok—biasanya Melati makan dengan
tangannya langsung, dan menghamburkan semuanya—ini adalah suatu keajaiban bagi
Bunda. Anak satu-satunya itu bisa makan dengan sendok! Ini suatu kemajuan yang
luar biasa!
“Kami tidak meminta keajaiban Melati sembuh, ya Allah! Kami tidak meminta keajaiban Melati bisa melihat dan mendengar lagi, karena itu mustahil. Kami tahu itu! tapi kami hanya meminta keajaiban agar Melati mempunyai cara untuk mengenal dunia ini. Mengenal Bunda dan Ayahnya, dan… dan.. mengenal Engkau, ya Allah. Anak itu bisa dengan baik mengenal-Mu.” (86)
Ketika Tuan HK pergi ke luar negeri
untuk keperluan perusahaannya dan Karang diusir. Melihat kemajuan Melati, Bunda
setuju dengan Karang bahwa ia akan tambah lama di rumah mereka untuk
mengajarkan Melati. Sebagaimapun, Tuan HK jangan sampai tahu akan hal ini.
Bisa-bisa dia akan marah besar pada Karang. Kerena lelaki pemabuk itu masih di
rumahnya.
Di waktu-waktu itu, Karang terus
mengajari Melati tanpa lelah. Mengajari anak kecil yang tak bisa melihat,
mendengar dan berbicara. Bagaimana tidak susahnya? Mengajari anak kecil yang
bisa melihat mendengar dan berbicara pun
sangat sulit.
Hingga akhirnya Tuan HK membuat kejutan
bahwa ia pulang sehari lebih cepat. Didapati Karang masih di rumahnya.
Terjadilah keributan itu. Bunda menjadi penengah, dan pembantu di rumah besar
itu menjadi penontonnya. Semua lupa pada Melati yang sudah pergi keluar rumah
besar itu.
Melati menuju halaman rumah, menuju
air mancur. Ia meraba-raba tetesan air hujan itu. Meraba tanah. Hingga akhirnya
Karang tahu bahwa ini caranya Melati berkomunikasi. Dengan tangannya!
Ia dekatkan telapak tangan itu di
mulutnya, dan berkata A-I-R. Melati mengerti. Ternyata yang basah-basah ini
adalah air!
Berbulan-bulan Karang terus
mengajari Melati dengan cara seperti itu. Mulut, telinga, mata melati ada di
telapak tangan itu. Itulah jalur komunikasinya!
“Tahukah Tuan hal yang paling menyedihkan di dunia ini? Bukan! Bukan seseorang yang catat atau memiliki keterbatasan fisik. Bukan itu! melainkan seseorang yang sehat, normal, sempurna fisiknya, tapi justru memiliki keterbatasan akal pikiran. Bebal bodoh.” (hlm. 107)
*
Aku suka
novel ini. Novel yang sangat inspiratif. Ia mengajarkan kepada kita semua
tentang syukur yang kadang kala kita lupa akan hal itu. Ia mengajarkan kita
untuk menjaga nikmat Tuhan. Bahwa kita yang sempurna ini pun kadang kala malas
untuk ‘mencari’ Tuhan. Lalu bagaimana jika kita tuli dan buta?
Bahasa yang digunakan dalam novel
ini sangat ringan. Kadang ada unsur komedinya. Kadang juga ada bahasa lisan
dalam narasinya. Tokoh pendukung seperti Salamah—pembantu rumah tangga Tuan
HK—sangat menarik untuk disimak. Ia unik dan ada di sekitar kita.
Tapi, aku menemukan beberapa typo di
sana. Aku tak sempat menandainya di halaman berapa, karena takut nanti ‘ndak
dapet’ ketika membaca novelnya. Jadi aku teruskan walau menemukan beberapa typo
dan narasi yang ndak sesuai.
Terlepas dari itu. Aku suka dengan
novel ini. Patut untuk kamu baca, walau sudah lama terbit..