Seorang Paman

                                  Seorang Paman


Aku terkapar di kasur tipis kamar kos. Kipas angin terus berputar-putar di langit-langit kamar, walaupun anginya tidak sampai ke kulitku yang berkeringat hebat menjajah tubuh. Debu yang tersemat di baling-baling kipas,  jelas penyebab utamanya. Jaring laba-laba pun hanya bergoyang tak berirama di kamar kecil ini, meledekku.

Aku baru saja pulang sekolah, karena eskul yang kuikuti pada hari ini bentrok menjadi satu.
“Tok tok tok....” aku paham betul, itu adalah paman yang baru saja pulang dari dagangnya.
“Assalamualaikum,” kemudian paman membuka pintu kamar.
“Waalaikum salam,” jawabku yang terkapar di kasur tipis, lalu segara untuk bangkit. Karena kumandang adzan maghrib sudah menyeru. Bertepatan dengan kedatangan paman sore ini.

Selepas adzan, kulanjutkan untuk mandi, lalu shalat berjamaah dengan paman. Paman selalu memberiku nasehat risalah ini: jangan sampai meninggalkan sholat di mana pun dan kapan pun. Kata paman, Allah sudah memberiku keringanan, “jika memang ketiduran, di perjalanan, itu bisa di-qada atau di-qashar.”

***

Seperti biasa, sehabis shalat maghrib, aku selalu mengaji kepada paman. Terkadang kita juga membicarakan tentang sastra, bahasa, agama, dan masih banyak lagi macamnya (selepas mengaji). Paman berpengatahuan luas sekali, mungkin jika paman melanjutkan sekolahnya, paman bisa menjadi lebih dari ini, lebih dari pedagang kecil yang keliling dari sekolah ke sekolah;paman bisa menjadi guruku di kosan.

Tapi sayang, bersebab ekonomi saat itu, saat paman sekolah di tingkat aliyah, waktu itu pulalah tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya – begitu  kata paman ketika berbagi cerita setelah mengaji seminggu yang lalu denganku.

Paman sudah seperti orangtuaku sendiri, paman sangat baik kepadaku, saban hari aku dibelikan makanan olehnya. Katanya agar aku jangan sakit, dan tetap bersekolah.

***

Tapi, sekarang paman sedang sakit, saban malam paman batuk-batuk, tenggorokanya seperti ada pendorong agar batuk itu keluar lagi dan lagi. Di kamar kos yang kecil ini, paman hanya bisa beristirahat di kasur yang tipis, di sana paman bisa meringkup dan terlihat tak berdaya. Tidak seperti biasanya, penuh semangat.

Kipas angin di langit kamar kos diberhentikan untuk berputar. Keringat paman beranak sungai begitu bangun dari kasur tipis – yang  dipaksa untuk menyerap keringatnya.

Hari ke hari berlalu-lalang begitu saja di kehidupanku, aku meninggalkan paman ketika berangkat sekolah di pagi hari, keadaan paman selalu sedang tidur di kasur tipis kamar kos.

Paman tidak juga sembuh, malah makin parah batuknya. Walau demikan, paman tidak pernah tinggal sholat lima waktunya, paman ber-tayamum lalu shalat dengan cara duduk. Kali ini, aku tidak bisa mengaji kepadanya. Apalagi berbagi cerita.

Tak lama kemudian, paman dibawa ke kampung oleh adikknya yang bekerja di tempat yang tidak jauh dari kosan ini, ia dikhususkan untuk membawa paman ke kampung. Aku tidak sempat bertemu dengan paman, ya untuk sekedar mengantarkannya ke stasiun, karena sore itu aku sampai di kosan tepat ketika kumandang adzan maghrib. Aku hanya dapati selembar kertas yang ditulis paman ditempelkan di cermin bersamaan dengan kumandang adzan:

Wa bali kampung. Aja kelalen sembayang sing bener, aja ana sing bolong. Maca Al-qur’an-e be dibeneri maning. Aja kelalen[1]
Membaca itu, aku tertegun, aku bisa melihat wajahku di cermin.
“Ah... cengeng sekali kau ini.” Batinku. Ya batinku. Secepat kilat kusapu airmata manja itu.

***

Mungkin di kampung sana paman bisa lebih baikan lagi, bisa cepat sembuh, dan aku harap paman tidak usah lagi datang ke kos kecil ini, paman sudah terlalu sepuh bercumbu dengan ibu kota, padahal perantau seangkatanya sudah pada pensiun, sisa paman yang masih bertahan. Aku harap, biarlah anak-anaknya yang sudah dewasa itu menjadi sanggahannya, menjadi harapannya, menjadi pelitanya di hari tua.
Semoga paman cepat sembuh. Walau di kos ini aku sendiri, tidak ada lagi yang bisa berbagi cerita denganku, apalagi belajar bersama. Seperti bersama paman.



[1] Paman pulang kampung. Jangan lupa shalat yang benar, jangan ada yang bolong. Bacaan Al-qu’an-mu juga harus diperbaiki lagi. Jangan lupa.


Afsokhi Abdullah
Jakarta, Tamansari, 21 Oktober 2014
Untuk Pamanku, Safi'i Alfaridzi




Comments
0 Comments

Posting Komentar