Naskah Drama untuk Hari Guru, XI-AP1

                           Guru, Sekarang Aku Sadar

Pada suatu hari, lima murid kelas di sekolah negeri, mulai lagi membuat ulah. Mereka sangat badung. Hampir di setiap pelajaran, mereka selalu tidak memperhatikan. Dan ketika ada waktu senggang, mereka gunakan untuk bermain kartu. Bukan hanya di lingkungan sekolah saja. Begitu pun di lingkungan masyarakat, sehingga menimbulkan keresahan.

*Di kelas*

Mae   :"Lu gimana sama do'i?"
Okta :"Akh, gue udah mulai bosen sama dia. Dia udah nggak perhatian  lagi sama gue, Mae."
Maeliani :"Udah, putusin aja, buat apa cowok kayak gitu!" ketus Mei-Mei
Pak Agus. Beliau adalah wali kelas mereka. Hati Pak Agus bak mutiara di lautan dangkal. Pak Agus sangat sabar menghadapi mereka.
Pak Agus :"Baik anak-anak, mari kita mulai pembelajaran kita."
Namun apa boleh buat, kelima anak muridnya yang badung itu, masih asyik bermainan kartu di meja paling belakang. Pak Agus hanya menggelengkan kepala. Baru beberapa menit kemudian mereka berhenti.

Barangkali hati mereka sudah keras bagaikan batu. Entah apa yang membuat mereka sangat susah untuk kembali ke jalan yang benar. Lisa, ivo, rafika, rika dan kawan-kawan. Mereka yang terkenal sebagai anak baik, sudah putus asa untuk membawa Mae Dkk berubah ke jalan yang benar.
Lisa :"Ayo, sholat, alangkah baiknya kita sholat berjamaah, ayo."  Kata Lisa kepada mereka yang sedang berkumpul bermain kartu.
Mae :"Akh..., apaan sih Lisa, ini lagi asyik main kartu juga!"
Argi :"Tau Lisa nih!"  Fadly pun hanya menganggukan kepala tanda setuju kata Mae tadi.

Beberapa hari kemudian, mereka semakin menjadi. Dibawanya minman keras, dan ditenggaknya di kelas. Semua sudah tidak lagi terkendali. Sampai pada akhirnya, ada murid yang memberi tahu kepada pihak sekolah melalui Pak Agus. Tapi, Pak Agus sama sekali tidak percaya.
Reza. BB :"Pak, saya serius. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Bahwa mereka membawa minuman keras dan menenggaknya di sini, kelas ini Mereka juga bermain kartu dengan taruhan uang...!"
Pak Agus :"Bapak sama sekali tidak percaya, mana mungkin mereka melakukan hal itu. Tidak mungkin!"

Pak agus menegaskan kepada Reza, dan Ikhan ketika pulang sekolah, di kelas yang sudah kosong.
Reza. BB :"Baik, jika bapak tidak percaya. Saya dan Ikhsan akan membuktikannya. Tunggu saja nanti, Pak!" Dengan agak kelogatan Bataknya, Reza berjanji.
Ihsan :"Setuju. Lihat saja nanti, saya dan Reza BB, akan menguak ini semua. Kami janji, kami tidak akan menghadap bapak sampai kami membawa bukti."
 Pak Agus hanya mematung, lalu menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing.

***

Lima anak badung itu terus berkemban. Mereka mulai mengenal narkoba, dan semacamnya.
Argi :"Mae, Okta, Maeliani, Fadly. Kita ketemuan yuks. Gue bawa sesuatu buat kalian. Pokoknya, kalau kalian nggak coba, kalian bakal nyesel. Kita ketemu di tempat biasa. Oke!" begitulah isi pesan dari Argi untuk keempat sahabatnya.

Malam itu juga, mereka berkumpul di tempat biasa mereka bersama. Argi mulai mengeluarkan  benda yang telah dijanjikannya, yang ternyata adalah Narkoba.
Fadly :"Argi, lu gila yah..., ini barang haram. Nanti kalau ketahuan polisi gimana? Mikir! Gue nggak ikut-ikutan kalo kayak gini."
Argi :"Akh karto lo, ayo yang lain coba nih pake. Kali ini mah gratis buat lo semua...!"

Mae, Okta, dan Maelian pun diam seribu kata. Mungkin di antara mereka penuh dengan pertimbangan. Tapi, pada akhirnya mereka semua menggunakan narkoba itu juga.

Tanpa mereka sadari. Ketika mereka berpesta, Reza BB dan Ikhsan membuntutinya, lalu Ikhan melaporkan kejadian ini kepada polisi.
Ikhsan :"Pak, di sini kami menemukan peseta nerkoba, tapatnya, di bla, bla, bla...."
Ikhsan :"Be, kita bersiap di depan gerbang ya." Dan Reza pun mengaggukan kepala.

***

Tak lama kemudian. Polisi pun menggrebek mereka yang sedang pesta narkoba. Dan dibawanya ke kantor polisi.
Pak Polisi :"Dengan Bapak Agus?"
Pak Agus :"Ya, saya sendiri."
Pak Polisi :"Begini Pak, kami menangkap anak didik bapak dalam keadaan berpeseta narkoba, kami juga sudah menemukan barang buktinya. Bapak bisa datang ke kantor kami, untuk memberikan keterangan mengenai hal ini?"
Pak Agus :"Siapa nama-nama anak didik saya, Pak?!"
Pak Polisi :"Argi, Fadli, Maeliani, Okta dan Mae."
Pak Agus :"Ti-tidak mungkin Pak. Mereka itu anak-anak baik. Pasti ada yang menjebak mereka!"

Pak Agus terus bersikeras membela anak didiknya. Begitu Pak Agus sampai di kantor polisi, Mae Dkk pun mengakui kesalahannya. Dan mereka dipenjara di tahanan anak-anak.

***

Kelas yang biasanya berisik, tak tertib. Sekarang menjadi hampa, sepi, dan tertata rapi. Gairah mengajar Pak Agus pun menurun drastis. Pak Agus terus memikirkan nasib anak didiknya yang sedang di penjara. Memang setahun lagi Pak Agus pensiun, tapi di tiap harinya, beliau selalu mengajar dengan caranya yang menyengangkan, penuh semangat, dan mengasyikkan. Hari ini adalah hari termurung untuk Pak Agus.

Tibalah ketika pelepasan Pak Agus. Dan setelah itu, Pak Agus menjadi seorang wirausaha, membudidaya ikan lele. Awalnya usahanya berjalan dengan mulus, dan selalu mendapat laba yang besar.

Beberapa tahun kemudian Mae Dkk keluar dari penjara. Mereka sudah tidak bisa dikatakan sebagai remaja lagi. Mereka mulai menjalin usaha masing-masing, yang mereka dapat dari pelatihan selama di penjara.

Dan ternyata, usaha yang mereka kembangkan, sukses semua. Sedangkan usaha Pak Agus bangkrut karena lele yang dibudidayakannya dicuri orang tiap harinya. Dan sekarang Pak Agus tinggal di rumah gubuk yang sangat sederhana, bersama istri dan kedua anaknya.

Di lain tempat, Argi Dkk merencanakan untuk menemui Pak Agus. Tanpa sengaja ketika mereka melewati suatu jalan, mereka dapati Pak Agus sedang memulung.
Argi :"Pak, Agussss....!"
tariak Argi. Dan menghentikan langkah Pak Agus.
Pak Agus :"Kamu siapa, ya?"
Okta :"Ini kami, Pak. Kami sudah keluar dari penjara."
Pak Agus :"Akh, kalian sudah keluar dari panjara? Bapak senang sekali mendengarkannya. Sekarang kalian mau kemana?"
tanya Pak Agus dengan lesunya, berbeda dengan beberapa tahun lalu.
Fadly :"Kami ingin bertemu dengan Bapak, sekarang boleh antar kami ke rumah bapak?"
Pak Agus :"Tidak jauh dari sini. Parkir saja mobil kalian di pinggir jalan sini. Kita jalan bersama ke rumah."

Sampainya di rumah gubuk Pak Agus, mereka tidak menyangka akan kenyataan ini.
Argi :"Bagaimana Bapak tinggal di rumah saya saja, ini tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal, pak, bagaimana?"
Belum dijawab pertanyaan Argi oleh Pak Agus. Fadly, Okta, Mae, dan Maeliani menawarkan hal yang sama.

Terlihat mata Pak Agus berkaca-kaca. Karutan wajahnya itu jelas termakan oleh proses sang waktu.
Pak Agus :"Bapak bangga dengan kalian. Sekarang kalian sangat beda dengan dulu." Pak Agus pun tak kuasa menahan airmata, hingga akhirnya airmata permata itu beranak sungai di setiap bahu anak didiknya ini.
Hidup Pak Agus pun kembali bahagia, berkat anak didiknya yang sudah berubah, ke jalan yang benar.

                                    ~Tamat~

Comments
0 Comments

Posting Komentar