Coret-coretan,
sudah menjadi rahasia umum bahwa tindakan ini biasa dilakukan oleh mereka, para
pelajar yang baru aja selesai UN. Bahkan, orang-orang yang kenal dengan kita
akan bertanya, “Kok nggak coret-coretan? Sekolah onoh udah coret-coreten
kamaren.”
“Itumah sekolah yang lagi praktek
seni budaya, bang, praktek menggambar, sekolah TK itumah!”
Krik.
Lanjut. Fokus!
sumber gambar: google
Bagai lepas dari penjara, pelajar
seperti sangat bahagia-sekali bisa lulus sekolah (walau belum pasti). Seolah
sekolah adalah penjara yang isinya penuh kungkungan, tata tertib mengingkat,
tidak bisa bebas berekspresi. Sehingga
semua itu rasanya perlu kita rayakan, jika bisa keluar dari tempat itu.
Dengan cara: konvoi, coret-coretan atau apalah itu yang intinya bebas
berekspresi. Bahagia!
Di sekolah gue, pas hari terakhir
UN, tas diperiksa semua. Takut ada barang-barang semacam pilok, spidol atau
apalah yang bisa untuk coret-coretan. Tapi, kami, pelajar, lebih lihai
ketimbang guru yang memeriksa itu. ‘Barang-barang’ itu sudah ditempatkan di
tempat yang aman.
Kendati begitu, ternyata di depan
gerbang sekolah ketika sesi pertama UN selesai, sudah ada pak polisi. Pak
polisi ini pun memeriksa tas kami. Sekali lagi, kami, pelajar, lebih lihai
ketimbang yang memeriksa. Kami melemparkan barang-barang itu lewat belakang
sekolah dan dilanjutkan di tempat yang sudah dirancanakan bersama, untuk perayaan.
Ketika sudah cukup ramai, kami pun
segera melaksanakan tradisi itu.
Tanda tangan di baju, celana, atau manalah yang bisa digunakan untuk media
coret-coretan. Seolah kami ndak takut bahwa bisa jadi ndak diluluskan jika
ketahuan coret-coretan begini. Padahal sebelumnya pihak sekolah sudah
menghimbau, kira-kira begini, “Barangsiapa
yang kedapatan coret-coretan dan ada barang buktinya, kelulusan akan tarancam.”
Kami ndak takut.
Tapi nyatanya, di luar sana, banyak
pelajar yang masih melakukan coret-coretan, konvoi dan sebagainya.
Dan gue? Gue juga ikut-ikutan, jadi
juru kamera. Seragam gue bersih, ndak ternodai, tapi kalau ada sesi tanda
tangan, gue ikutan nimbrung. Hehe..
Bukan apa-apa, sebenernya gue ndak
mau ikutan, tapi ya untuk sekadar tahu, apa salahnya? Seru juga sih untuk
memacu adrenalin. Dan juga, gue meneliti di sana. Garis besar penelitian gue adalah, sebenernya tujuan mereka itu apa sih?
gue juga coret-coretan ding, tapi bentuknya gini. Insya Allah akan terbit bulan ini ^_^
Setalah meneliti agak jauh.
Mendengar percakapan mereka. Gue mendapat satu fakta bahwa tujuan mereka
coret-coretan adalah untuk pamer di
media sosial!
“Buat ngisi galeri Instagram,” kata
seorang teman.
Yeah. Begitu. Dan alasan lain,
seorang teman menulis di twitter begini, “Ya kapan lagi? Coba-coba. Entar
nyesel kalau ndak nyoba. Bisa-bisa uring-uringan kalau ndak nyoba.”
*
Bisa dibilang, ‘ingin dianggap’ yang
menjadi sifat dasar remaja adalah motivasi besar untuk mereka melakukan hal
ini. Mereka ingin dibilang, “Wah, dia udah lulus. Keren..” atau ndak, mereka
ingin berkata, “Ini lho gue, bahagia, bebas!”
Keesokan harinya, sekolah ricuh. Ada
beberapa alasan. Yang pertama ada yang bocorin ke pihak sekolah bahwa kami
coret-coretan. Yang kedua, pada berebutan blutut foto. Entah itu cewek atau
cowok, pada ngebet banget saling
transfer foto coret-coretan mereka, seolah makanan: basi kalau ndak segera
diupload!
Dalam hati gue berkata, “Oh.. ini faedahnya dari coret-coretan,
hanya untuk foto.”
Alasan lain mungkin banyak. Ada yang
merasa ingin keren, loyalitas kepada teman, dan semacamnya. Remaja yang mudah dipengaruhi, adalah salah satu faktor tindakan
coret-coretan terus terjadi.
Sepertinya seruan “Daripada coret-coretan, mending disumbangin untuk yang membutuhkan” seperti
ndak sampai di telinga mereka. Mereka berdalih:
“Kan gue
masih ada seragam dua.”
“Seragam gue
kecil, mana ada yang muat sama mereka?”
“Mending
buat kenang-kenangan.”
Bila ditinjau lebih dalam lagi,
tindakan di atas seolah adalah ‘pemberontkan’ dari sistem pembelajaran di
sekolah yang kurang maksimal. Sistem yang masih bersifat ‘terbatas’, ruang
berekspresi kurang, sehingga kami ingin bebas sebebas-bebasnya dari ‘penjara
itu’. Rasanya sekolah bukan lagi taman (seperti yang dikatakan bapak pendidikan Indonesia), semakin ke sini, sekolah jauh dari kesan 'taman' itu.
Sampai kapan pun, gue yakin hal ini
akan terus terjadi. Kecuali sistem pendidikan di sekolah akan lebih baik lagi. Di samping
kesadaran kita semua akan hal ini, berpikir lebih dewasa lagi.***