sumber gambar |
Sebelum langit memisahkan, aku masih ingat
bagaimana waktu itu kita bertemu di tepi danau di malam hari. Malam yang dini,
malam yang baru lahir dari rahim cakrawala. Kau mengumpat-ngumpat, sadar bahwa
setelah itu tak ada lagi pertemuan bagi kita.
“Sebelum
kau pergi, perkosalah aku!” katamu. Tapi, tapi ketahuilah bahwa aku mencintaimu
bukan sekadar nafsu. Maka kukulum saja bibirmu, kau membalas. Saking hebatnya,
aku merasakan panas api di mulutmu. Ternyata, aku tak bisa menahan nafsu untuk
menciummu. Ini yang pertama dan terakhir.
“Berjanjlah,
ketika aku jauh di sana,” kutunjuk langit hitam, “jagalah dirimu. Kau boleh
berkalung lelaki mana saja. Tapi, ingat, lima puluh tahun setalah hari
kepergianku ini, kita bertemu di sini. Tepat seperti ini posisinya.”
“Janji.”
Kau mengangguk yakin. Sorot mata khawatir khas perempuan, tampak jelas saat
itu.
Dan
aku pergi. Melesat ke langit. Aku bisa melihatmu menangis, sampai danau pun
terisi setengahnya oleh air matamu. Aku nelangsa melihatmu.
Di
perjalanan, tak sengaja aku menabrak bintang. Bintang kecil. Kecil sekali,
sekecil kuku kaki orang dewasa. Kukirimkan saja bintang itu padamu. Kuambil
sehelai rambutku, kulilitkan ke bintang itu. Siapa tahu ini bisa menjadi
penghenti tangismu. Kau suka bintang, bukan?
“Hiburlah
gadis kesepian di tepi danau itu,” perintahku setelah bintang yang kulilitkan
pada sehelai rambut, siap.
Kulanjutkan
perjalanan, melewati awan dan bintang, melewati ganasnya atmosfer bumi yang
berubah-ubah. Hingga akhirnya sampai, di nirwana.
Wajahmu
yang lucu dan mengggemaskan itu selalu terukir di sini. Di dinding-dinding, di
kayu-kayu, di daun-daun, di buah-buah, di udara-udara.
Setelah
bertahun-tahun di nirwana, sekiranya ketika aku mulai betah. Setelah aku mulai meninggalkan
kebiasaanku setiap malam melamun di pinggir awan. Aku mendapat kabar. Bahwa kau
sudah menikah dan mempunyai anak yang lucu. Kabar itu mengatakan, kau bertemu
lelaki yang mirip denganku. Persis sepertiku tanpa cacat sekalipun.
Dan
ya, hal itu pun terjadi. Cintamu begitu saja diberikan padanya. Tanpa ingat
bahwa lima puluh tahun setelah kepergianku kita akan bertemu di tepi danau itu.
Apa kau pikir lalaki yang mirip itu adalah aku? Oh ya tuhan, boleh jadi lelaki
itu menipumu!
Ini
tahun yang ke empat puluh sembilan, aku di nirwana.
*
Di tepi danau aku sering sendiri. Menatap apa
yang ada. Daun, pohon, kayu, ranting, awan, mereka adalah teman setiaku, yang
paling setia dari yang paling setia. Memang siapa lagi yang akan setia pada
seorang yang tidak terbuka kehidupannya? Kupikir untuk mencari kesetiaan, kita
hanya perlu menjadikan mereka seolah setia pada kita. Itu cukup menghibur.
Aku
duduk di tepi danau dengan kaki yang tertekuk. Menatap apa yang ada. Danau yang
sepi, danau yang kucurigai ia dulunya adalah perempuan yang dingin dan jarang
basa-basi. Bagaimana tidak? Danau tak mengerti bagaimana sakit hatinya lelaki
di tepinya. Sekalipun ia memang perempuan dingin, pastinya akan menegurkan dan
bertanya, “Kau kenapa?”
Tapi
danau tetap danau, danau bukan manusia apalagi perempuan yang selama ini
kuimpikan. Kupikir, mana ada perempuan yang mau padaku? Lelaki yang lebih suka
menyepi ketimbang bertemu secara harfiah dengan orang-orang.
Dan
ketika itu kau datang. Membawa serta wajah berseri-seri dan rambut yang diterpa
angin. Aku melihatmu berjalan mendekat. Sambil tersenyum. Aku melihat ke
belakangku, tak ada siapa-siapa. Dia tersenyum untukku? Ini pertama kali aku
diberi senyum oleh perempuan! Mana, mana buku tulisku! Ini harus kucatat, ini
harus kucatat!
Aku
gugup, jangankan mencari buku tulis, bernafas saja sulit saat itu.
Oh
ya tuhan, siapa perempuan ini? Penunggu danau ini kah?
“Aku
sering melihatmu di sini. Setiap menjelang malam, kau pasti di sini. Aku memperhatikanmu,”
suaranya.. renyah sekali..
“Oh,
iya, aku suka tempat ini.”
“Aku
juga. Aku biasa duduk menikmati suasana sekitar, di sana.” Ia menunjuk tempat,
banyak pepohanan menutupi. “Kenapa kita tidak berdua saja? Danau ini jarang ada
yang tahu. Barangkali hanya kita berdua.”
“Ide
bagus..”
Maka
hari-hari selanjutnya aku tak sendiri lagi di tepi danau. Aku selalu berdua
dengan perempuan itu. Ia orang yang sangat mengasyikan dan selalu bisa
membuatku tersenyum. Kami lakukan apa saja. Yang penting melahirkan gelak tawa.
Hingga akhirnya semua sirna ketika ia bertanya, “Kau dari mana?” padaku.
“Aku,
hm.. aku.. dari mana?”
“Iya,
asalmu…”
“Aku
dari atas sana,” kutunjuk langit yang bersih sore itu. Kami selalu bertemu di
sore hari sampai malam. Setelahnya kami berpisah. Dan selalu seperti itu.
“Oh..
kau bercita-cita menjadi astronot?”
“Bukan.
Memang benar aku dari atas sana. Besok aku akan pulang. Dan lima puluh tahun
lagi aku baru bisa datang ke sini lagi.”
“Kau
bercanda.”
“Tidak.”
“Aku
akan kehilangan jika kau tidak di sini lagi.”
“Aku
pun.”
Kami
berpelukan. Suasana yang dingin menambah getaran di dada ini semakin menjadi. Kurasakan
pula dadanya. Berdekup kencang. Dug dug
dug duuug…
“Aku mencintaimu,” katamu.
“Aku
pun.”
*
Esok pun tiba. Saatnya aku pulang ke nirwana.
Perempuan itu sudah di sampingku ketakutan dengan apa yang akan terjadi.
“Bagaimana
caramu pulang?”
“Aku
akan terbang. Lihatlah nanti. Bulan purnama sebantar lagi muncul.”
“Semoga
bulan purnama tidak akan muncul malam ini.”
Aku
menatapnya, ia melihat langit. Kutatap dari atas sampai bawah perempuan ini. Ia
tersenyum.
“Sebelum
kau pergi. Perkosalah aku!” katanya. Aku tertegun.
“Tidak.
Cinta yang baik bukan seperti itu.”
“Kau
belum mengajarkan cinta yang baik itu.”
“Tunggu
lima puluh tahun lagi, aku akan kembali dan mengajarkannya padamu.”***
Bayoran, 2 Mei 2016