Cinta Pertama, Cinta Sejatiku
Pada awalnya, aku tidak mengerti akan cinta, kasih, sayang atau pun pacaran dan sejenisnya. Tapi semua berubah, waktu dia datang ke dalam kehidupanku. Awalnya memang teman, tetapi dia semakin dalam menyelam dan, tau seluk-beluk tentangku, begitu pun denganku yang tahu bahwa dia adalah wanita yang sering ada dalam hidupku, setelah ibu.
Seiringnya waktu, aku dan ‘dia’ selalu bertemu di sekolah juga di tempat tinggal: bermain bersama, canda, tawa, saling berbagi cerita suka, duka, juga saling membantu di saat susah. Dia sangat ber-empati dengan ku.
Dan pada suatu hari, kita duduk bersampingan di satu bangku yang panjang di taman yang hijau, di sana juga ada pohon yang terukir nama kita tanda setia sebagai teman. Namun, aku terkaget ketika dia mengeluarkan suara dari bibir tipisnya.
“Aku sayang kamu cinta...,“ dia manatap mataku dalam-dalam; aku merasa: masa lalu, masa depan, saat itu semua sirna oleh teduh matanya yang dipayungi alis tebal. Yang sekarang kulihat dalam-dalam.
Lalu aku dibuat terpaku olehnya. ‘glek’ kutelan ludah spontan untuk sejenak menenangkan diri, tapi itu tidak manjur.
“A-ak-u juga,“ jawabku terbata-bata.
***
Aku ingin memilikinya sepenuh hati, seutuhnya, dan hanya aku yang dicinta; kasih dan sayang olehnya. Aku tak sanggup melihatnya didekati pria yang suka padanya, aku cemburu, jelas aku cemburu. Walaupun aku tahu, ini adalah cinta pertamaku.
Tapi, semua itu tidak berlangsung lama, aku terpisah dengannya 10 hari setelah kejadian itu. Aku pindah sekolah ke Jakarta, kita tak pernah bertemu lagi selama itu. Kejamnya waktu mulai mengaliri setiap kesedihanku ketika mengingatnya, tapi, aku bisa melupakannya. Bersebab sakit jika mengingat-ingatnya lagi, lagi dan lagi. Aku bisa gila
***
Begitulah, semua kejadian ini sudah 10 tahun berlalu. Sekarang aku sudah pulang dari Jakarta dan menetap di kampungku ini.
“Ochi...! keluar...!“ Teriak ibu, membangunkan lamunku
“Cepat, cepat di luar sudah ramai.“
“Iya, bu,“ jawabku singkat.
Cepat-cepat, kurapihkan jas hitamku dengan kemeja putih polos dan celana hitam; bersepatu pantopel, aku berkaca sejenak.
“Bersiaplah kawan.“
Cepat kumenuju ke tempat ijab kabul. Pendamping hidupku yang akan menemani sisa hidupku adalah cinta pertamaku. Setelah beberapa lama, aku mencari cinta sajati, setelah aku tersakiti karena cinta, menyakiti karena kasih, dan kecewa karena sayang. Kini aku mendapatkan wanita yang bisa menerimaku apa adanya, dia cinta sejatiku juga cinta pertamaku. Jika memang jodoh, pasti akan bertemu. Itu.
Afsokhi Abdullah
Jakarta, 29 Juli 2014