Kami pun menuju pintu
keluar. Di sana (pintu keluar) tidak jauh dari penitipan tas kami. Sebelum
sampai sana. Tepatnya sampai di kasir lantai tiga deket eskalator turun, gue moto kejadian di mana antrean berjubal
banyanknya. Gue bersyukur. Nggak di antara barisan paling belakang itu.
Ketika kami sampai toko
buku anak-anak. Kami sempat selfie. Setelah selfie, gue baru sadar.
“Eh. Gue baru sadar.
Kita bisa dengan pedenya selfie di tempat umum gini,” kata gue.
“Bodo lah,” jawab Dina.
Meyla hanya mengendus.
Kami pun menuju pintu
keluar tanpa tersesat. Sempat juga ada hujan turun. Kami mengambil tas kami.
Lalu keluar.
“Eh. Tadi gue liat toko
buku di sono,” kata gue. Sambil mengacung ke arah loby mobil. Saat itu masih
gerimis kecil. Lalu Meyla dan Dina patuh sama gue. Mereka ikut ke toko buku di
loby.
Di atasnya ada semacan
pemberitahuan gitu. Tulisannya Rp 5.000,.
Lah. Gue langsung
tertarik ke sana. Dan mencari buku-buku bagus. Pertama gue cari buku idaman
gue: Gadis 360 detik yang lalu. Namun nggak ketemu.
Gue pun binggung. Ini
kasirnya di mana. Gue nanya ke cowok yang sedang mengubek-ubek buku sama kayak
gue.
“Ini kasirnya di mana,
yah?” tanya gue ke cowok itu.
“Nggak tahu,” jawabnya
singkat. Gue pun menjauh darinya. Gue berjalan mengarah ke arah agak keluar.
Dan di sana. Di sana ada kasir...! gue nggak ngeliat tadi pas masuk.
Gue tanya ke kasir itu,
“Kak, ini kasirnya yah?” dia menganggukan kepala. “Harganya lima ribuan semua
ini?” tanya gue kembali.
“Harga ada di belakang
bukunya, mas, bervariasi. Dan nggak selalu sama.”
Gue menganggukan
kepala. Paham. Lalu gue mencari-cari buku yang setidaknya murah, dan berisi
lembaran yang banyak dan, best seler
kalo bisa.
Gue liat kebanyakan di
toko buku ini semua bukunya terbitan Gramedia, Kompas, Elex Kompotindo, ah, gue
tahu, ini buku terbitan grup Kompas semua. Dan pasti bukunya nggak usah
diragukan. Sebab, Kompas adalah penerbit mayor. Dan gue yakin, naskah yang
lolos bukan main-main.
Setelah bermain-main
dengan melihat harga di setiap pantat buku. Gue lupa sama Meyla dan Dina. Gue
beri jeda sejenak. Menemukan mereka sedang membaca buku juga. Gue kira mereka
bakal ninggalin gue. Huh.
Banyak pilihan. Banyak
sekali. Dengan proses yang cukup panjang. Gue jatuhkan pilihan ke buku: Hamba
Sebut Paduka Ramadewa. Ya, gue menjatuhkan ke buku ini bersebab gue kira di
dalamnya penuh dengan sastra; gaya penulisan yang mengaggumkan.
Dan, benar. Ketika gue
baca di rumah. Benar. Pokoke gue nggak salah milih.
***
Gue ke arah kasir.
Tampaknya ‘abang kasir’ nggak percaya kalau ini buku harganya Lima Belas Ribu.
Sebab, bukunya tebal, dan covernya juga menarik menurut gue. ‘Bang Kasir’
mengecek di lembaran kertas yang dia miliki.
Dia pun menanyakan ke
tamannya yang sedang sibuk dengan buku yang berantakan. Dijawab oleh tamannya
dengan anggukan kepala. Gue nggak maksud dengan anggukan kepalanya.
Namun, beberapa kali
bang kasir menanya, dan selalu dijawab dengan anggukan kepala oleh temannya.
“Mana uangnya?” tanya si
kasir. Dan gue udah siap dengan uang lima belas ribu. Gocengan semua. Sisa duit
goceng di celana gue saat ini.
Bang kasir pun
membungkus buku dengan plastik khas Gramedia, dan mensteples bon bersamaan dengan plastik. Nggak bisa. Dia kesusahan.
Nggak tahu kenapa.
“Udah gitu aja, bang,”
kata gue. Nggak sabar, udah mau ujan deras. Lalu abang kasir pun mengasihkan
gue plastik beserta buku yang gue beli.
“Terima kasih...,”
katanya, senyumnya mekar.
***
Gue, Meyla, dan Dina
pun beranjak keluar. Melewati jembatan busway untuk menuju halte busway. Isi
saldo kartu yang gue pegang pas-pasan. Tinggal sekali jalan doang ini.
Dengan diiringi gerimis
kecil. Kami sampai di antrean menuju Senen. Singkat cerita, gue kebablasan,
sehingga gue turun di Jembatan Merah. Sedang Meyla dan Dina turun di Senen.
Mereka nggak bilang-bilang kalo mau turun.
Ketika gue turun di
halte Jembatan Merah. Gue ngeliat Kak Ines, kakak kelas gue ketika itu.
Sekarang dia udah lulus, dan kuliah. Gue nggak nyapa dia. Sebab gue ngikut arus
penumpang menuju keluar. Kalo gue berhenti, gue bakal ditabrak dari belakang.
Uh.
***
Singkatnya. Gue sampai
di kosan. ASTAGFIRULLAH, WAKTU DUHUR UDAH NGGAK ADA. Jadi, sampainya gue di
kosan, gue cuma sholat Ashar. Sehabis Ashar, gue baca buku Koala Kumal, hanya
beberapa lembar habis itu udah.
Esoknya, pagi-pagi gue
baca lagi tuh buku. Dan, tak terasa, sudah selesai gue baca semuanya dari bab 1
sampai akhir.
Dan gue terus menggebu
untuk menjadi penulis. Gue akan belajari ini buku!!!
Begitulah ceritaku.
LIHAT. SUATU HARI NANTI, GUE BAKAL MENJADI PENULIS SUKSES SEPERTI RADITYA DIKA...!
TAMAT~
Afsokhi Abdullah, 19 Januari 2015
Di Kelas yang Tak Ada Guru.