‘Koala Kumal’ terbitan
Gagas Media. Semua orang tahu, bahwa penulis buku ini adalah Raditya Dika,
orangnya terkenal. Folowers twitter-nya aja sampai 9 juta. Bayangin, 9 juta. 9
juta kalo duit itu bakal banyak banget...!
Cerita berawal dari
seringnya gue buka twitter dan, gue sering mampir keTL-nya @radityadika. Di
sana ada banyak hal yang unik. Ketika itu ada yang menyedot perhatian lebih
gue. Di mana ada Jadwal Launching buku barunya, Koala Kumal.
Gue liat jadwal itu. Di
baris pertama: bertempat di Gramedia
Matraman Jakarta. Gue nggak tau di mana Gramed Matraman tapatnya. Namun,
teman gue, Dina, mengetahuinya.
Sebenernya nggak cuma
gue sama Dina doang yang ke launching bukunya Radit. Ada Argi dan Meyla.
17 Januari, 2015. Pagi
itu gue bangun pagi, sholat subuh dan kembali bermalas-malasan di kasur kos.
Mengulur waktu. Gue membuka twitter kembali, memantau perkembangan di gramed
matraman. Apakah sudah penuh atau sudah penuh. Cuma satu yang gue khawatirin,
yaitu, sudah penuh. (Semoga lu maksud).
Janjian kami adalah jam
11 pagi di halte Harmoni. Tapi gue harus ke halte kota dulu: jemput Argi yang
nggak punya kartu buat masuk halte. Sampainya di halte kota jam 11 kurang. Gue
telpon dia berkali-kali, gue sms, dan lain sebagainya. Gue kira dia masih
tidur. Dan benar. Dasar kampret tuh orang.
Di lain tampat. Ada
Dina yang SMS gue bertubi-tubi tanpa ampun. Sesekali dia menelepon gue. Nggak
gue angkat, kasian, takut pulsa dia habis.
Karena Argi tak kunjung
datang. Gue putuskan untuk meninggalkannya. Gue naik busway menuju Harmoni.
Sampainya di Harmoni sudah ada cewek berjilbab dengan tasnya masing-masing dan
celana levis menunggu gue di antrean menuju PGC.
“Lama amat lu Khi,”
keluh Dina. Gue cuma melengos, dan menikmati lagu yang mengalir lewat headset yang gue pasang rapat-rapat di
kuping. Dengan ini, gue merasa nggak bersalah. Gue merasa menikmati dunia.
Sebab, lagu yang gue denger bagaikan backsong.
Dan hal-hal yang terjadi di hadapan mata gue menjadi seperti video klip gitu,
gitu.
Busway berlabuh di
antren PGC. Semua orang berebut masuk.
“Khi, yang belakang
aja, masih ada,” kata Dina, dan Meyla hanya mengiyakan dengan tampang
alakadarnya itu. Gue menganggukan kepala, pelan.
Datanglah busway yang
Dina maksud. Gue langsung masuk. Meyla dan Dina pun masuk. Mereka di bagian
wanita. Dan gue di bagian belakang busway. Belum sempurna gue duduk di bangku,
busway sudah saja mengebut. Gue tersungkur, menahan jatuh dengan satu tangan
menahan ke lantai busway.
Ada dua (atau lebih)
cewek cantik di hadapan gue. Mereka ada yang berjilbab dan juga ada yang
membiarkan rambut hitam berkilaunya bergelayutan. Kayak di iklan shampo, gitu.
Sedikti malu tentunnya.
Cowok ganteng dengan celana levis, baju hitam, tas hitam, serta mengenakan
headset hitam ini tersungkur di hadapan mereka.
Ya, itu gue serba
hitam. Kayak orang mau ngelayat.
Di perjalanan, mata gue
melihati kaca yang tak bersih lagi milik busway ini. Ada pemandangan
gedung-gedung gagah. Segagah gue saat ini. Gue merasa dilihati oleh beberapa
cewek cantik di hadapan gue. Mereka seumuran dengan gue. Gue taksir, dia masih
kelas 1 SMA-an atau kelas 3 SMP.
Gue SMS Dina, “Kao udah
mau turun, kasih tau gue via SMS yah!” lalu dia membalas cepat, “Iya, kita
turun sehabis halte Matraman1.”
“Baiklah.”
***
Beberapa menit
kemudian.
“Masih lama nggak, Din.
Ini gue udah mual.” Sms gue yang ini nggak dibales. Sialan. Bener, gue mual.
Udah nggak kuat lagi.
Tak lama, gue lihat
plang halte Matraman1. Patanda habis ini gue akan turun.
Dan benar, Dina dan
Meyla tampak mempersiapkan diri di depan pintu. Dekat dengan penjaga pintu
Busway dan merayu penjaga pintu tersebut. Mereka menganggukan kepala ke
gue. Ya, gue ngerti, itu petanda habis ini turun.
Tap.
Langkah gue menuju
halte Tegalan. Ah.. sudah terlihat Gramedia Martaman yang megah. Gue sempat
memotonya.
Masuklah kami ke
dalamnya. Di dalam, sangat besar... sudah seperti mal.
“Ini toko buku. Gede
banget yah...,” kata gue kagum.
“Ya, iyalah, ini kan
pusatnya,” sambar Dina.
Beberapa langkah dari
pintu masuk yang ajaib (bisa buka sendiri). Ada sepasang satpam memanggil kami.
“Heh! Heh!” gitu.
Kami pun menoleh ke
arah satpam itu. Dan satpam pun memberi kode agar kita mendekatinya. Kode?
“Titipkan tas di sini,”
kata satpam.
Kami pun menyatukan
tas. Menjadi satu di sebuah tempat penitipan. Dan gue dakasih nomor kartu
015.***
Bersambung~
Afsokhi Abdullah, 19 Januari 2015
Di Kelas yang Tak Ada Guru