Catatan di Balik Launching Buku Kaola Kumal. Gramedia Matraman (Bab 3). KALI PERTAMA.

Gue sempetin ngeliat ke belakang. Wah..., semakin membeludak ini antrean. Gila. Udah kayak apa aja. Gue pun buka twitter kembali. Kan akun twitter yang kebanyakan gue follow adalah penerbit, distributor, penulis, editor dan semua yang berbau kepenulisan. Sebab itu. Isi TL gue penuh sama foto-foto ‘Launching buku Koala Kumal’. Malah, akun @GagasMedia twitpic antrean yang ada gue-nya.




***

Gue tertantang ketika kak Odie mengadakan lomba di twitter tentang menginformasikan acara ini ke teman-teman twitter gue. Kak Odie pun mengintruksikan kepada seluruh antren....

 “Dimulai dari... sekarang...!”

“Boleh lebih dari satu. Boleh lebih dari satu!” kata kak Odie lewat toa-nya.
Gue pun langsung ngebut. Twit hal yang menarik. Syaratnya hanya twit lalu mentions ke @GagasMedia dengan Hastag #KoalaKumal.

Ada beberapa di dalam barisan yang nggak tau apa itu Gagas Media. Mereka sepertinya asing mendengar kata itu. Yang sebenernya Gagas Media adalah penerbit dari buku Koala Kumal itu sendiri. Dan Gagas Media (setahu gue) masih sekeluarga sama penerbit Bukune.

Sekedar info juga nih. Raditya Dika juga pernah menjadi ketua redaksi Bukune. Maka dari itu. Ia menerbitkan buku pasti di Bukune kalo nggak Gagas Media. Gitu.

Kembali ke perlombaan. Pemenang perlombaan ini nantinya ada dua. Dan mendapatkan hadiah kaus yang dipake seperti panitia, baju Koala Kumal berwarna cokelat.

Gue pun ikut. Apa salahnya. Gue sempatkan ngeliat ke belakang. Antren semakin panjang men. MENGULAR. Dan hampir rata-rata memainkan hapenya. Pasti mereka twit tentang acara ini. Pasti. Dan gue banyak saingan tentunya.

“Eh. Ritweet, Ritweet, TWIT GUE...!” seru gue ke Meyla dan Dina. Mereka pun mengiyakan.

TL GUE PENUH DENGAN ITU.


***

Mau kalah mau menang itu masalah belakangan. Yang penting tunjukan yang terbaik. Itu prinsip gue. Gue pungut dari sebuah seminar mengenai PIK Remaja.

Kini jam setengah dua. Sedikit lagi acara akan dimulai. Tiga puluh orang pun dipersilahkan masuk ke ruangan (termasuk gue ama kedua teman gue men). Di dalam ruangan itu sudah ada pembatas; kursi, meja, buku Koala Kumal, panita, dan ada pula pengliput dari NET TV.

Gue pun masuk. Wah gue masuk. Cukup deg-degan sih, bisa dapet paling depan. Karena itu, gue lupa kalo harus melewati panita dulu untuk dicek. Alhasil gue dipanggil sama panita itu.

“E.e.e.e.e. Ke sini dulu...,” suara panitia itu. Gue pun mendekat perlahan.

“Dicek dulu yah...,” suara kak panita cewek ini (layak) seperti merayu. Gue pun luluh. Duh.

“Di balik ke sini bukunya. Menghadap ke kami,” katanya, lagi.

Setelah itu.Ya. Tak lama kemudian kami pun masuk lebih dalam. Berdiri lagi sampainya di sana. Beberapa orang ada yang masih asyik baca bukunya. Ada pula yang duduk sila, padahal dia pake rok, dan itu ada di depan gue. Gue khilaf, Ya Allah... apa yang telah gue lihat tadi.
   ***
Kalo gue itung-itung. Gue ini berada di nomor urut 19. Di dalam ruangan ini, bisa juga dilihat dari lantai atas (4). Dan di atas pun ramai orang. Dari yang pake seragam sekolah sampai ada yang telanjang dada

INI BARISAN PERTAMA. 


Ada Mc dateng dengan tiba-tiba. Gue nggak tahu siapa dia. Tapi, orangnya asyik. Barangkali udah sering menjadi Mc-an kali yah. Manis.

Beberapa kali kak Mc sok asyik sama kita-kita. Kita yang sekarang berada di ruangan hanya berjumlah 30 orang saja. Dan, asal lu tau, di luar sana banyak yang antre. Entahlah mereka bakal hidup apa kagak.

Nah, kak Mc ini mengulur waktu terus. Dengan ocehannya gue terhipnotis. Gue nggak nyadar kalo sekarang udah jam 2 siang. Jam yang seharusnya acara akan dimulai.

“SIAPA YANG MAU KETEMU RADIT...?” seru kak Mc, “MANA SUARANYA...!” lalu kami pun menjawab dengan suara nggak jelas.

“Huuu...huihuh, huhihiuh... hihuhi,” ya, gitu, nggak jelas pokoknya.

Beberapa menit kemudian. Ini baru yang beneran keluar adalah Radit (kira gue). Sebelumnya si Radit udah keliatan di lift. Dan pertama gue ngeliat langsung... adalah betisnye. Ya, ini awal yang nggak enak banget. Ngeliat betisnye untuk pertama kalinya secara langsung.

Anak SMA dan teman-temannya histeris. Mereka yang paling heboh pokoke.

“Kita sambut... Ra... d... it...!” teriak Mc. Lalu kita yang duduk di lantai pun agak histeris. E. Pas keluar ternyata engko-engko. Awalnya gue percaya kalau dia itu Radit. Dia berubah jadi engko-engko ternyata. :3

Nah. Kali ini gue mau ceritain yang beneran Raditnya keluar nih. Kak Mc berkordinasi dengan teman-temannya. Lalu. Dia mengangguk ke arah dalam yang entah ruangan apa.
“Oke. Kita sambut.... RA.... DIT... YA.  DI. KA....!”

Wah. Kali ini beneran dia keluar. Ternyata bener, dia itu pendek.
Lalu dia duduk di bangkunya.

“Tenang, tenang. Jangan diliatin gitu. Gue bukan Ceribel,” katusnya. Lalu tawa terbit di segala banyak mulut.

“Hhahahah...”

Termasuk gue yang hanya menahan tawa saja.

Tanpa menunggu waktu lama. Proses tandatangan dan foto bersama pun dimulai. Berawal dari barisan paling depan. Cewek berjilbab biru tua, lagaknya dia anak SMA-an (adalah orang pertama). Ya orang pertama. 

***

Beberapa orang telah terlewati. Mereka sudah dapet tandatangan dan foto bersama Radit.

Tiba-tiba cewek di depan gue yang gendut itu membuka pembicaraan.
“Dari daerah mana?” tanyaya. Gue mencerna kata-katanya agak lambat. Sebab berbaur dengan musik one direction yang diputar dalam ruangan; lagu itu pun sukses membuat suasana lebih ‘hidup’.

“Jakarta Barat. Mangga besar,” jawab gue. Lalu dia kembali tanya, “Sekolah atau kuliah?”

Ya lu tau lah, gue ini orang jujur, gue jawab, “Sekolah. SMK, SMK 11.”

“Oh. Kalo gue. SMA 80. Jakarta Pusat.”


Lalu gue hanya mengukir mulut ini berbentuk ‘O’ tanpa bersuara.

“Nanti gue titip buku gue yang ini yah,” pintanya. Menunjukan buku yang cukup tebal. Tampaknya buku sejarah.

“Oh. Iya, boleh,” jawab gue.

Tak terasa, dua orang lagi tinggal giliran gue maju; salim sama Raditya Dika, dan foto sama dia. OMEGA. Gue agak deg-degan men.

“Nih,” kata cewek gendut itu. Sekarang giliran dia. Dan gue terima bukunya.
Setelah dia foto. Bukunya pun masih gue pegang. Sedang kini giliran gue. Dan gue pun menaruh bukunya di meja. Lalu diraih oleh Meyla.

Gue berjalan mengarah Radit.

“Bang,” sapa gue datar. Lalu dia membuka ‘bukunya yang gue beli’. Ada nama gue di halaman pertama dan mulai menulis.

“Afsokhi..., mantab Afsokhi...,” kata Radit, kayak akrab banget sama gue.

“Yoi bang...,” gue nggak mau kalah gaul. Dia pun mendatatangani ‘buku boleh dibeli ditalangi dulu ini’.

Gue pun foto sama dia. Dua kali. Lalu gue pun berjalan mengarah pintu yang sudah disediakan untuk keluar.







“Makasih, bang,” kata terakhir gue. Tanda berakhirnya pertemuan kala itu. Dia pun mengangguk. Dengan kepala botak; tumbuh sedikit rambut. Mirip kayak teletabis buka helm.

Setelah gue sampai di pintu keluar. Gue menunggu Meyla dan Dina. Tadi gue potonya sama hp-nya Dina. Dan ketika dia sampai di hadapan gue....

“Coba, gue liat, gue liat,” paksa gue. Dia pun ngasih tahu ke gue.

“Eh. Gue ganteng juga, yah,” kata gue.


“Ye... pede banget luh!” katanya. Dan gue bungkam.***


                                                Bersambung ~

Afsokhi Abdullah, 19 Januari 2015 
Di Kelas yang Tak Ada Guru. 
Comments
0 Comments

Posting Komentar