Jeda Hidup (Kisah Wong Kampung) Cilacap Jawa Tengah

Aku baru saja sampai di kampung. Aku dari Jakarta, sekolah di sana, tingkat SMA. Kampungku masih tertinggal, jauh dari gedung pencakar langit. Tapi..., asal kau tahu, orang-orangnya sangat ramah, berbeda dengan ibukota Jakarta.

Bayangkan. Jika pagi tiba, banyak orang yang lari pagi di jalanan, lalu mereka saling jumpa, mengobrol, saling sapa, sangat akrab.

***

Beberapa hari kemudian.

Aku main ke rumah Kakek, di sana ada cucu-cucunya yang masih kecil. Bermain. Sama sepertiku dulu. Akh..., rasanya aku sudah tua di antara mereka.

Kubuka laptopku, sudah kupersiapkan sebelumnya. Aku sudah membuat video dukumenter tentang kampung ini.

Klek. Bunyi mouse laptop. Lalu, banyak orang yang menggerumungi. Dari Kakek-Nenek, Om, Tante, semua yang ada di sini berkumpul ketika melihatku membuka laptop.

Cleng....

Video diputar. Nampak foto-foto berjalan di layar laptop. Terlihat mata yang terkesima dari cucu-cucu Kakek ini.

Banyak senyum terbit kala itu. Dengan seksama mereka menatap layar laptop.

Setelah video selesai. Semuanya kembali dengan kesibukannya masing-masing. Terkecuali cucu-cucu Kakek ini. Mereka terus saja bermain bersamaku.

Di rumah Kakek. Banyak yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mereka mempunyai kewajiban untuk menjahit hidupnya agar tak kusut.

Mereka kabanyakan mengandalkan otot untuk bekerja. Tak ayal jika anak muda terlihat lebih tua. Andai aku mempunyai banyak uang. Aku akan mengajak mereka untuk melepas penat. Melepas beban tak ada ujungnya.

Entah. Itu akan terjadi kapan. Yang terpenting. Aku sudah bertekad, dan yang lebih penting. Mereka masih hidup dan, bisa merasakan 'jeda hidup' untuk berleha barang sedetik.


Afsokhi Abdullah
Kelas XI-Ap1 SMK Negeri 11 Jakarta.
Comments
0 Comments

Posting Komentar