Gue kaget ketika Argi bilang bahwa si
Ridho kecopetan. Dia cerita ke gue dengan gayanya yang ndak niat buat hidup.
Matanya yang beler, sering garuk-garuk rambutnya yang lebat, dia bilang gini,
“Iya,
kecopetan pas di halte Sawah Besar. Waktu itu masih di busway. Ada tiga orang,
dia tadinya ngincer mbak-mbak, tapi kayanya gak jadi. Jadinya tiga orang itu
ngedeketin Ridho. Si copetnya pura-pura nanya ‘Ini di Gajah Mada yah?’ terus
Ridho jawab iya. Ridho baru sadar hpnya ilang pas mau naik angkot dari Kota.
Pas itu gue telpon nomornya Ridho, ternyata yang jawab polisi.” Begitu Argi
bercerita, petang itu ketika kami: gue, Argi, Ridho dan Fadly akan menuju ke
Polres.
Kami
ke polres karena ketika Argi nelpon yang jawab polisi, polisi itu bilang buat
ambil hpnya Ridho di polres. Kalau ndak salah, polres kramat raya. Pulang PKL petang itu, di antara kami ndak ada
yang tahu di mana itu polres. Kemudian kami tanya-tanya orang aja. Kami tanya
sekuriti, tanya Bapak-bapak, tanya penjaga busway dan tanya peta Dora.
MAU
KEMANA KITA…?
Oke,
kami naik buway ramai sesak dari Gambir menju Senen, dari Senen kita menuju
halte... gue lupa namanya, pokoknya ndak jauh dari Senen, ndak deket dari
Matraman :3
Ini pas di Senen..
Kami
turun dari busway, lalu tanya ke Bapak-bapak yang sedang menunggu mantan
busway lewat.
“Pak,
tahu polres kramat raya?” tanya gue ke Bapak itu, dia sepertinya baru pulang
dari kantor.
“Kamu
turun, lurus aja nanti, ikutin jalan itu, gak jauh dari sini,” jelas si Bapak
baik hati.
“Terima
kasih, Pak..,” detik selanjutnya busway yang ia ingin tumpangi datang. Rezeki
anak sholeh…
Nah,
kami turun dari halte, lalu jalan tak jauh ke depan sana. Telihat plang polisi
yang khas itu, seorang pria polisi yang digambarkan dengan animasi yang sedang
hormat. Itu dia polresnya.
Kami
masuk dan bertanya pada yang sedang jaga di dekat gerbang, kali ini Argi yang
nanya sebab dia yang tahu siapa nama Bapak polisi yang harus ditemui, iya Bapak
polisi yang ia telpon ke nomor Ridho.
“Pengin
ketemu Bapak, bla bla bla bla…” kata Argi. Setelah itu, kami diberikan tempe
tahu oleh Bapak polisi yang sedang berjaga tadi untuk lurus ke depan, ada
gerbang masuk aja, naek ke atas ndak jauh dari situ.
Kami
mematuhi perintahnya, dengan intuisi kami melewati dan sampailah di tempat yang
dituju.
Sebuah
pintu hitam terpampang di depan kami, ketika kami masuk, terlihatlah banyak
orang yang sedang ditanya-tanya, berdebat, diselidiki, dan masih banyak lagi.
Riuh.
Kami
masuk ke ruangan ini udah seperti alien yang jatuh dari planet asing. Bener deh
kikuk bukan kepalang. Ndak tahu pengin ngapain. Sampai seorang polisi
mendatangi kami dan bertanya tujuan kami apa ke sini, akhirnya si Ridho
(korban) menjelaskannya.
“Itu
bukan orangnya?” tanya si Polisi menunjuk tiga orang yang mencopet Ridho.
“Iya
itu orangnya, Pak,” kata Ridho dengan nada agak naik.
Gue,
Fadly dan Argi akhirnya duduk, sedang si Ridho sedang ditanyain sama polisi di
tempat yang terpisah.
Suasana
di sini sungguh mencekam, sempat gue curi-curi pandang dengan si copet itu.
Wajah mereka bengep (apa ya
istilahnya? Pokoknya gitu deh, babak belur gitu), kayak habis ditampolin (tau
kan ditampolin?), ada raut penyesalan di sana.
Gue,
Fadly dan Argi disuruh keluar ketika Ridho berpindah tempat dari tempat awal.
Sepertinya ini masalah rahasia, jadi kami ndak boleh tahu.
Kami
duduk di depan ruangan, ada bangku panjang, lama kami menunggu sambil
bercanda-bercanda.
Ini di depan ruangan, buram xD
Lama,
bener deh lama nunggunya, sudah jam setengah enam menjelang maghrib. Kok ya
ribet banget ini mau ngambil hp aja..
Tak
disangka, ada dua wanita datang menjenguk si copet. Mereka adalah istri dan
pacarnya si copet, berarti ada satu yang jomblo nih.., batin gue. Secara, kan
yang copet Ridho tiga orang… #inindakpenting
Wanita
itu mendatangi kami.
“Tolong
yah, de, kasih keringanan…” ungkap wanita yang satu, ia tampak seperti ibu-ibu.
“Iya,
bu kami mengerti…,” jawab gue dengan nada biasa. Sebenernya sih dalem hati gue
mikir begini: gimana ya, bu, suami ibu itu sudah menjadi buronan. Bukan hanya
Ridho simonyong yang menjadi
korbannya, melainkan banyak orang. Ya gimana ya, bu, kalau dikasih keriangan
nantinya suami ibu bakal ngulangin lagi dong.. mending biar diserahkan pada
polisi aja ya…
Kedua
wanita itu lalu pergi katanya membeli makanan buat sang lelaki.
Lama
lagi, akhirnya si Fadly tidur, nyenyak banget. Ada polisi melewati kami.
“Itu
kenapa?” tanya Pak polisi melihat Fadly.
“Tidur,
Pak,” jawab gue.
“Tawuran
yah?” tanya Pak polisi mantap.
“E
bukan, Pak, teman kami kecopetan…”
“Oh…”
Si
Fadly semakin nyenyak di pangkuan bangku, sudah seperti di rumah nenek, ia
bebaring ke arah punggung bangku dan lelaplah ia..
Sesaat sebelum lelap...
Ketika maghrib lewat, kami pulang.
Sebelumnya, tiga copet itu digiring menuju sel, lalu tak lama kami mengikuti
dari belakang. Ketika si copet di sel, terlihat mereka bercengkrama dengan
penghuni yang lain. Akhirnya kami pulang…
Hp
Ridho belum bisa diambil, ia harus menunjukan kardus hpnya. Aih.. ribet banget
ya? Udah tahu itu hpnya Ridho, masih aja kudu harus dan wajib nunjukin kardus
pembelian hpnya.. fiuh.. ribet, jangan pernah berurusan dengan polisi deh kalau
ndak mau ribet begini…
Kami
semua lapar, hari sudah hitam, kami beli gorengan, di halte kami makan. Sungguh
dibagi-bagi itu gorengan agar adil. Kami potek-potekan
(itu lho, saling potong-memotong makanan gitu), dan minum saling berbagi satu
botol. Kendati di halte ramai, kami ndak malu. Lha wong wis kencot apa bae dipangan..
Rezeki anak sholeh, setelah selesai
makan gorengan, tibalah busway, kami semua mendapat bangku, duduk dan melepas
lelah..
Sampai
di harmoni kami transit menuju Kota. Dan gue turun duluan di Mangga Besar.
“Duluan
yah…” akhir gue ke teman-teman.
“Sip,”
kata Fadly sambil mengancungkan jempol.
“Terima
kasih banyak, Ki,” kata Ridho.
Dan
anggukan kepala ndak niat jawaban Argi.***
Gambir, 17 September, KKP