sumber gambar: youtube.com |
Markus, si bos perampok itu datang lebih awal daripada 6 anak buahnya yang lain.
“Mau apa kau ke sini?” tanya Marlina tenang (atau ia mencoba untuk tenang?)
“Mau ambil uangmu, jika masih ada waktu, tidur denganku, kita bertujuh.”
Dari sini saja sudah terbayang apa-apa yang akan terjadi selanjutnya pasti menegangkan. Akhirnya 6 anak buah Markus datang tepat di hari mulai gelap. Marlina menyiapkan makanan untuk mereka: sup ayam. Yang kemudian ia beri racun dan membunuh 4 anak buah Markus, Markus sendiri tidak memakan sup ayam itu, ia tidur di ranjang.
Setelah anak buah itu mati, Marlina mencoba memberi sup ayam yang sudah diberinya racun kepada Markus yang sedang tertidur. Namun sialnya sup ayam itu jatuh berantakan. Akhirnya di ranjang tampat Markus tertidur, Marlina dipaksa untuk melayaninya.
Marlina mencoba memberontak, tapi ia terlalu lemah, dengan cerdiknya ketika ia diperkosa, ia mengambil parang milik Markus dan menebas kepalanya.
itu yang di pojokan, si mumi. sumber gambar: youtube.com |
Jujur saja, adegan pemerkosaan di sini menurutku cukup ‘berani’. Dan itu malah membuatku yakin film ini sungguh totalitas.
Cerita selanjutnya Marlina mencari keadilan terhadap apa yang telah ia alami sambil membawa kepala Markus yang ia penggal. Dan sialnya, Markus yang sudah mati (tentu saja tanpa kepala), kini berupa hantu, terus menguntit Marlina kemanapun ia pergi sambil memainkan alat musik dengan alunan yang magis. Hal itu semakin membuat penonton merasa ‘hiiii’ ngeri dalam menikmati film.
Perjalanan Marlina dalam mencari keadilan cukup seru, mungkin bisa dikatakan ini adalah satire yang sangat mengena terhadap keadilan di negara ini. Apalagi ketika ia sudah sampai di kantor polisi, di sana ia sama sekali tidak dilayani dengan baik.
Ah pokoknya tonton filmnya biar lebih jelas.
Setelah film ini rilis bertepatan dengan ulang tahunku: 16 November 2017, aku langsung tertarik. Aku membaca di beberapa media online, ternyata film ini sudah sering mengikuti festival internasional.
Film ini menurutku sederhana, tidak muluk-muluk, pengambilan gambarnya pun ‘kalem’, ia lebih mementingkan pergerakan tokoh ketimbang pergerakan kamera. Bahkan lebih sering yang kulihat kamera terus pada satu sudut saja dalam jangka waktu yang cukup lama. Tapi itu tidak membosankan, tokoh-tokoh yang ada di sana terus bergarak dengan apik.
Semua itu ditunjang dengan pemandangan Sumba yang luar biasa. Bahkan aku tidak mengira bahwa ada tempat seperti ini di Indonesia. Dan itu sukses membuatku ingin ke sana, melihat secara langsung. Di samping itu juga tidak kalah menarik: musik pengiring dalam film ini.
Dialog di film ini menggunakan bahasa Sumba dengan logat yang kental. Beberapa membuatku kesulitan untuk mengartikan, walau ada subtitle Inggris di sana. Kendati demikian, itu bukanlah penghalang menurutku, tapi itu adalah sebuah totalitas sebuah film.
wajib nonton pokoknya. sumber gambar: detak.co |
Kisah Novi, teman Marlina yang sedang hamil dan berusaha untuk bertemu suaminya, juga sangat menarik untuk diikuti. Novi digambarkan menjadi perempuan yang sangat cerewet, sangat berbanding terbalik dengan Marlina. Novi menurutku adalah salah satu elemen penting dalam kehidupan alur cerita.
Perempuan seperti Marlina di dalam film ini digambarkan begitu kuat dan tenang dalam mengatasi masalah. Ia terlihat sangat tegar dan tak kenal lelah. Ia pergi jauh untuk mencari keadilan, dan mempunyai tekad yang kuat untuk itu.
Perempuan seperti Marlina adalah tipe idaman lelaki zaman sekarang. Ia mampu membela dirinya, mempunyai tekad yang kuat, tenang, dan sangat menawan. Andai memang ada perempuan seperti itu, tolong berikan satu untukku, Tuhan. Jikapun nanti kami menikah dan aku meninggal duluan, pasti arwahku bakal baik-baik saja, karena aku meninggalkan wanita yang kuat, dan aku akan tenang di dunia sana.**