BAPAK YANG HANYA BERANI DENGAN ANAKNYA



          Suasana petang menyusup ke dalam hati Seno, kepala keluarga yang memiliki anak satu dan kebetulan istrinya yang tengah hamil sedang di kampung halaman. Kini ia tinggal berdua dengan anaknya di sebuah kamar kontrakan ibu kota. Kamar yang tidak terlalu lebar, lebih dekat pada kata sempit.
            Suasana petang membuat hari Seno semakin tak beraturan. Uangnya yang telah dikumpulkannya belakangan ini habis untuk keperluan istrinya. Belakangan ini pun ia semakin mudah termakan emosi. Itu ia lampiaskan ke anaknya, Khalif yang masih berumur sembilan tahun.
            Hari ini mestinya Khalif mengaji ke mushola dekat kontrakan, Khalif berangkat lalu berpamitan pada Bapaknya setelah dijemput oleh teman-temannya dengan sepada.
            Khalif tak melengos barang sejenak ke belakang pun ke arah Bapaknya. Ia dengan senyum-penuhnya menuju mushola tempat mengaji seperti biasa dengan mengontel sepeda besar milik Bapaknya.
            Esoknya, suasana petang kembali menyelimuti hati Seno. Kali ini ia baru saja pulang dari kerja, ia adalah seorang montir di bengkel yang tidak besar-besar amat. Isinya hanya beberapa montir saja, dalam sehari, hanya beberapa kendaraan bisa dihitung jari singgah di bengkel itu.
            Khalif berpamitan untuk mengaji. Seperti biasa, dengan senyum-penuhnya dan tanpa ada niat melengos ke belakang ia meninggalkan Bapaknya sendiri di kontrakan.
            “Khalif, kemarin kamu kemana? Tidak mengaji kan?!” teriak Bapaknya pada Khalif, matanya melotot, merah padam. Khalif ketakutan, merinding.
            “Ngaji, Pak,” jawab Khalif sarau.
            “Kata siapa? Tadi ada temanmu datang ke sini, katanya kamu tidak mengaji setiap ingin berangkat mengaji, kamu hanya bermain-main saja di lapangan. Dasar anak tak tau diuntung!”
            Seno semakin murka. Dibukanya pengikat pinggang di celana levis kotor miliknya. Disabetlah anaknya sekuat tenaga sampai memar dengan ikat pinggang itu yang kepalanya sebesar kepalan orang dewasa, Khalif menangis meraung-raung, sedang Seno masih teguh pendiriannya menyabet Khalif terus-menerus.
            Khalif tidak boleh lagi diizinkan untuk mengaji di mushola itu. Ia dikurung oleh Bapaknya di kontrakan yang sempit itu. Tak ada teman selian televisi, tak ada pandangan selain tembok-tembok kontrakan yang kokoh, bagi Khalif.
            Seno terkenal sebagai pria yang amat pendiam bagi teman-temannya sesama montir, dan terpandang sebagai pria yang tidak banyak berbicara. Jarang menyapa, dan hanya tersenyum kecil ketika berpapasan dengan orang di jalan yang dia kenal.
            Namun, sifatnya itu akan berbalik drastis jika sudah marah kepada anakya. Bukan hanya kali ini saja ia murka dengan anaknya, namun sering. Masalah kecil seperti anaknya yang belum mandi menjelang malam, tidak mau menyuci piring, handuk tidak ditempatkan pada tempatnya dan masalah-masalah kecil lainnya, Seno pasti marah. Tak hanya Khalif, istrinya pun begitu, selalu mendapat semprot dari Seno jika ada hal kecil menyulut emosinya.
            Bapak yang hanya berani pada anaknya, Bapak yang hanya berani pada istrinya itu, kini sedang tercenung di pojokan kontrakannya. Ia diam dalam sepi, dingin tubuhnya, dan siap sebilah pisau di tangan kanannya. Ditancapnya perut itu dengan brutal, keluarlah semua isinya. Bak kesetanan, Seno meninggal dalam pada itu. Di suatu petang yang menyulut emosinya sendiri, dan menyusup hatinya yang tidak beraturan.***
Gambir, 1 September 2015  



Comments
0 Comments

Posting Komentar