Sekiranya ada waktu luang, Mukesh
akan selalu melakukannya. Ia merasa sudah ketagihan, dan sepertinya ia tak
mungkin bisa lepas dari itu. Seperti sekarang, lihatlah, ia sedang melakukannya
sesuai dengan apa yang telah ia pelajari. Dan ia langsung mempraktikan setelah
ia mengerti bagaimana cara terbaik melakukannya. Ia masih mengenakan seragam
putih abu-abu (baru saja ia pulang sekolah), dan celananya jadi agak
berantakan. Ia terkapar dengan posisi ternyaman di ranjangnya. Seragam putihnya
lecek, lihatlah, ia menggelinjang, sudah sampai klimaks, matanya terpejam,
mulutnya terbuka membentuk huruf ‘o’ besar, dadanya bergemuruh, dan, detik
selanjutnya ia merasakan rileks yang luar biasa. Kemudian tongkatnya yang tadi
berdiri tegak, kini tidur perlahan. Lelah.
“Aku
seperti terlahir kembali,” gumamnya sambil melihat langit-langit kamarnya, lalu
menghela napas panjang dan membuangnya dengan tenang. “Hidup jadi terasa mudah di
tanganku.”
Mukesh
ketagihan masturbasi karena ia pernah ditanya temannya, teman sekelasnya ihwal
apakah ia pernah melakukan masturbasi? Waktu itu ia tidak tahu-menahu tentang
hal itu, apalagi cara melakukannya, menyentuh kemaluannya pun enggan, kecuali
ketika ia kencing, itu pun terkesan malu-malu. Tapi memang remaja itu penuh
dengan penasaran, isi kepalanya penuh tanda tanya. Dan ketika ia ditanya sudah
melakukan masturbasi apa belum dan Mukesh menjawab belum, ia ditertawakan
teman-temannya. Tentu saja waktu itu di kelas tidak ada murid selain pria, itu
waktu sesaat setelah pelajaran olahraga; setelah membicarakan teman wanita
sekelasnya yang jadi makin montok karena memakai seragam olahraga.
“Lakukanlah,
ingin kuajari sampai benar? Hahahaha…”
“Kenapa
aku harus melakukan?”
“
Semua lelaki melakukannya, tolol!”
“Tolol?”
“Iya,
kau tolol!”
“Aku
tidak bisa membayangkan wajah lonjongmu ketika melakukan itu, mungkin seperti
itulah gambaran orang tolol, hahaha.”
Bogem
mentah pun mengenai pipinya. Mukesh merintih. Tidak melawan.
Setelah
kejadian itu, Mukesh terus berpikir. Apakah aku harus mencoba melakukannya? Apakah
semua lelaki melakukannya? Jika iya, aku berarti bukan lelaki, dong? Pikirnya. Maka sepulang sekolah
sehabis ia ditanya hal itu, ia mencobanya. Tapi ia tak sanggup, ada yang
mengganjal di hati. Ditambah pipinya masih nyeri, sakit, seperti ada semut kecil
ganas menggerogoti.
Kenapa aku harus melakukannya? Bukankah
lelaki hanya melakukan seks dengan istri atau gundiknya? Kenapa aku harus
memperkosa tangan sendiri?
Hal
itu terus menghantui batok kepala Mukesh yang penuh tanda tanya, dan lama-lama
ia penasaran juga dan berpikir, bagaimana jika mencoba sekali? Itu bukan ide
yang buruk. Maka saat itulah ia benar-benar melakukannya sampai klimaks,
dibantu pacarnya yang kebetulan main di rumahnya dengan alasan mengerjakan
tugas sekolah bersama. Alasan klise, sebenarnya mereka ingin bercumbu saja,
melampiaskan rindu selama ini.
“Apa
kamu tahu apa itu masturbasi, Sayang?” tanya Mukesh pada si wanita
sekonyong-konyong, ketika itu tidak ada bahan perbincangan di antara mereka. Ia
bertanya begitu polos, datar, tenang, dan si wanita rona wajahnya jadi begitu
merah mendengar pertanyaan bodoh itu.
“Kenapa
kamu begitu berani bertanya tentang hal jorok itu padaku?”
“E,
maaf, aku tidak bermaksud—“
“Bukankah
semua lelaki melakukannya? Dan tentu saja kau juga melakukannya, Mukesh!”
“Tidak,
aku belum pernah.”
“Yang
benar?”
“Benar.”
“Biar
kubantu kau untuk melakukannya. Buka celanamu! Sekarang! Jangan biarkan wanita
ini tidak sabar!”
Mukesh
hanya diam, pasrah, telantang. Ini tidak terlalu buruk, pikir Mukesh. Wanita
itu melakukannya dengan agresif dan Mukesh merasakan nikmat yang luar biasa.
Rasanya seperti terbang entah ke mana, seperti terlahir kembali. Sedangkan
setan-setan di pojok-pojok ruangan itu tertawa terbahak-bahak, termasuk di pojok
hati mereka yang gelap.
“Aku
bisa melakukan lebih dari ini.”
“Ehm..
tidak, ini jauh dari cukup. Kau mengajariku banyak hal hari ini.”
Lalu
mereka berciuman, lama, lengket, dan berapi-api.
Hari-hari
selanjutnya, Mukesh semakin keranjingan masturbasi. Sebenarnya pacarnya itu
menawari jika Mukesh mau melakukan, ia siap membantunya. Tapi Mukesh tidak
secereboh itu, ia takut keblablasan dan bisa saja membuatnya bunting. Seumur
mereka, mereka juga sudah bisa bikin anak, jika mau.
***
Sepulang sekolah, tengah malam
ketika tidak bisa tidur, pagi hari, di wc sekolah, jika ada waktu luang, Mukesh
akan selalu melakukannya. Makin hari ia makin mahir saja untuk melakukan itu.
Dan hingga pada satu titik ia berpikir, apa aku tidak terlalu berlebihan? Di tambah
pikirannya terbebani oleh sang pacar yang mengaku bahwa ia pernah membantu
mantan pacarnya untuk melakukan itu. Jelas Mukesh kecewa pada sang pacar, dan
itu semakin membuat pikirannya kacau. “Semua wanita sama saja, lebih baik aku
menikah dengan tanganku,” racau Mukesh ketika ia melakukan itu di tengah malam
ketika ia tidak bisa tidur.
Semua
lelaki melakukan itu, dan hanya lelaki sejati yang melakukannya dengan sang
istri. Dan iya, aku bukan lelaki sejati, pikir Mukesh, tapi tidak apa, dari
pada aku meniduri wanita yang belum jadi istriku. Kemudian tongkatnya yang tadi
berdiri tegak, kini tidur perlahan. Lelah.