Membaca Kumcer Cemara (Hamsad Rangkuti)

Seseorang pernah bilang bahwa karya sastra yang sukses adalah ia yang mampu ‘merekam’ suatu peristiwa, masa, sebagai bahan renungan yang nantinya dibaca di masa mendatang. Dan buku kumcer Cemara karya Hamsad Rangkuti, setidaknya menurutku, adalah karya sastra yang seperti itu.


Ada 15 cerpen di buku ini. Sebagian besar mengangkat tentang kehidupan sehari-hari: bagaimana seorang anak muda yang tidak bersosialisasi, wanita yang suka pamer perhiasan, para petani, hingga tender.

Ketika membaca cerpen-cerpen di dalam buku ini, aku menemukan beberapa istilah yang jarang kujumpai. Aku harus kembali membuka KBBI di sela-sela membaca buku untuk mengerti maksudnya.
Seperti ‘Menjangan’, istilah ini baru aku temui di buku ini, dan artinya adalah hewan rusa; kijang. Jika aku tidak membuka KBBI, mungkin aku akan sulit membayangkan apa itu ‘Menjangan’.

Tidak hanya satu-dua, ada beberapa istilah semacam itu yang bisa kamu temui di kumcer ini. Maklum saja, sebagian cerpen ini diberi titimangsa pada tahun 80-an!

Tidak seperti Danarto, maestro seangkatannya itu, cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti terkesan tidak menyampaikan pesan apa-apa. Maksudku pesan yang berupa sebuah seruan untuk berbuat baik dan sebagainya.

Dalam cerpen Hamsad Rangkuti, aku lebih sering menemukan ‘hiburan’, terkait pesan, agaknya itu tergantung kita para pembaca, ingin pesan itu seperti apa dan bagaimana, itu terserah pada pembacanya.

Jika dirasa secara sekilas, cerpen-cerpen Hamsad disampaikan dengan sangat sederhana. Entah bagaimana aku menjadi merasakan candu ketika membaca kalimat demi kalimatnya padahal tidak ada akrobat yang wah dari narasinya. Semuanya murni ‘cerita’, ya, Hamsad Rangkuti bisa dibilang mendongeng melalui cerpen-cerpen yang ditulisnya.

Mari kita lihat isi buku ini.

Sebenarnya aku menyelesaikan membaca buku ini pada September tahun lalu, dan sialnya aku lupa untuk membuat resensi. Jadi, dari beberapa bulan yang lalu, cerpen yang masih melekat di kepalaku adalah: Masa Muda Saya, Perhiasan, Muntah Emas, dan Jembatan.

Di dalam cerpen Masa Muda Saya, Hamsad menulis tentang anak muda yang anti-sosial yang hidup di indekos. Semua tetangga membicarakannya, tapi ia hanya cuek: sebuah sikap yang mungkin banyak melekat di anak muda antar-zaman.

Saya paling suka mengurung diri di dalam kamar begitu saya sampai di rumah indekosan saya. Saya hidupkan lampu. Saya pun membaca buku atau membaca karangan-karangan sahabat saya di majalah-majalah ataupun di koran-koran. Saya tidak suka membaca karangan dari pengarang yang tidak saya kenal. Sebetulnya itu tidak baik, tapi begitulah sifat saya. Sehingga sifat jelek itu berakibat ke dalam pergaulan saya sehari-hari. Saya tidak mau bertutur sapa dengan dengan orang yang tidak saya kenal.

Begitulah paragraf pembuka cerpen tersebut. Langsung pada intinya! Melalui cerpen ini Hamsad menyinggung sifat pemuda yang menutup diri, tidak mau bersosialisasi, yang sialnya sangat relevan padaku!

Tapi, uniknya, hal itu dibuat sangat menggelikan oleh sang maestro.

“Kumisnya jarang, seperti kumis kucing. dia kira kumis seperti itu menarik? Saya jijik melihat kumis seperti itu. Tapi angkuhnya bukan main. Dia tidak pernah mau menegur kita. Si Kucing  dungu itu.”

Saya ambil cermin. Saya lihat muka saya. Saya hitung kumis yang tumbuh di bawah hidung saya. Memanjang, seperti tonggak-tonggak.

Kemudian di dalam cerpen Muntah Emas, Hamsad membuat cerita tentang sebuah muntah di lantai (bus yang penuh) dekat salah satu bangku yang membuat orang-orang tidak mau mendudukinya. Namun tokoh ‘Aku’ tetap duduk di bangku itu tanpa memedulikan muntah tersebut dan orang di sekitarnya yang berdiri dan menunggu reaksi apa yang akan terjadi pada tokoh ‘Aku’.
Orang-orang terheran kenapa ‘Aku’ bisa tidak jijik dengan mutah itu.

Aku perhatikan muntah itu. Beberapa potongan yang masih utuh memberi tanda makanan apa yang baru dimakan orang yang memuntahkan muntah itu. Potongan mi, daun selada, potongan-potongan kecil bakso. Semuanya berwarna kuning berlendir.

Dari narasi di atas, tentu dapat kita simpulkan tidak ada pesan apa-apa yang ingin disampaikan. Ia hanya sedang membuat ‘hiburan’ yang membuat pembaca penasaran dengan tokoh ‘Aku’ yang kuat dengan muntahan itu. Dan ya, jawabannya ada kaitannya dengan judul cerpen: Muntah Emas.

Pada akhirnya, membaca cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti adalah menyelami dunia dongeng yang membuat siapa saja terhibur, dan bagi sebagian orang, membaca cerpen Hamsad adalah pergi ke masa lalu yang direkamnya untuk kita yang hidup di masa sekarang. Mari doakan beliau semoga tenang di alam sana. Aamin.
Comments
0 Comments

Posting Komentar