Membaca Kumcer Ikan-Ikan dari Laut Merah (Danarto)

Membaca cerpen-cerpen Danarto adalah menyelami dunia yang penuh dengan nilai-nilai sufistik, surealis, ketauhidan hingga asketisme. Kendati sebenarnya setiap cerita yang ditulis adalah sebuah keseharian biasa. Bahkan kamu akan sering bertemu dengan tokoh ayah, ibu, dan anak. Hubungan ayah dengan anak, sebuah keluarga dengan tetangganya, dan seputarnya.

Setelah aku selesai membaca kumpulan cerita pendek ini, aku menemukan kecenderungan dalam tiap cerpen yang ditulis Danarto. Yakni ia pasti mempunyai kejutan di akhir cerita, dengan membangun  cerita perlahan di awal, menggunakan bahasa yang sederhana, membangun tokoh, situasi, konflik dengan sabar hingga akhirnya kejutan itu muncul dengan cerdiknya.

Yang membuat berang kadang kala apa yang diceritakan di awal tidak terlalu penting untuk mencapai ending. Tapi jika tidak membacanya, kita tidak akan tahu jalan cerita. Danarto seperti sedang membuat kesan bahwa ia sedang menari-nari dengan cerpennya dengan lihai.

Selain masalah sehari-sehari, buku ini juga mengangkat sejarah yang dikemas dengan cara yang unik. Seperti 'O, Yarusalem' dan 'Alhamdulillah, Masih ada Dangdut dan Mi Instan'.

Membaca cerpen Danarto juga terasa seperti diceramahi dengan sangat lembut. Jika kita mau berpikir sejenak untuk merenungi tulisannya, kita akan menemukan nilai yang melimpah.

Ia juga mengangkat ‘kekakuan’ dalam beragama. Contohnya seperti di dalam cerpen Telaga Angsa.
“Moral dan agama ada pada keindahan kesenian itu, kalau Eyang puas atas pertunjukkan balet Rusia itu, ini artinya balet Rusia itu telah berdakwah tentang kebenaran.”
“Sekalipun mereka atheis?”
“Sekalipun mareka atheis.”

Dan melalui cerpen Si Denok, Danarto menyinggung selera seni anak muda yang sangat kaku. Di mana Sukarno mempunyai banyak koleksi patung wanita telanjang (dan nyatanya memang begitu), dan para anak muda protes karena hal itu bertentangan dengan idielogi mereka yang mengaku punya jiwa revolusioner.

“Koleksi seni rupa Bung bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran kita yang luhur dan agung,” sela seorang pemudi.

“Lukisan dan patung wanita telanjang adalah lambang keindahan. Jika nilai-nilai ketimuran kita bukan keindahan, lebih baik aku tinggalkan.”


Tidak afdol jika kita tidak membahas cerpen yang menjadi judul buku ini. Ikan-Ikan dari Laut Merah bercerita tentang bocah anak nelayan yang mempersembahkan ikan kepada Rasul.

'Hidup sezaman dengan Kanjeng Rasul Muhammad rasanya seperti hidup di lingkungan yang tertata rapi dengan sendirinya. Dalam segala hal, kami umatnya, diayomi seperti bibit tanaman kecil yang dipeluk dalam dadanya dari badai gurun.'

Ikan yang dipersembahkan itu diambil di Laut Merah, ia melompat sendiri ke parahu dan meminta untuk dipersembahkan kepada Rasul supaya ia dielus dan masuk surga.

Jika dibaca secara sekilas, memang cerpen ini terkesan sangat surealis. Tapi jika ditilik dari sudut tasawuf kita akan menemukan banyak nilai.

Seperti yang dikatakan Om Edi Mulyono di pengantar buku: ikan besar dan keledai itu simbolis patut benar untuk ditafsirkan sebagai umat Rasul. Ketika kedua makhluk itu berjuang keras supaya bisa berjumpa dengan Rasul—untuk kemudian mati—dapat diterjemahkan bahwa sikap tersebut merupakan mengikuti segala apa yang diajarkan Rasul. Dimensi syariat cukup terwakili dalam “dielus-elus” Rasul. (….) kemudian, situasi syariat itu diberanjakkan dengan narasi “Air mata ikan itu berderai dan mulutnya tak mampu berkata apa-apa” menuju kedalaman batin, dan intuisi, dan tepat pada derajat demikianlah (air mata) dimensi ontologis yang amat mendalam, puncak ittihad, memandu dan melebur pada diri. Tuhan-dan-makhluk memanungggal dalam simbolisme air mata.

Pada akhirnya, buku kumpulan cerpen Ikan-Ikan dari Laut Merah adalah sebuah buku yang dapat dinikmati dari berbagai sudut pandang, kaya nilai, dan menggugah hati karena kepasrahan yang sering muncul ke permukaan.***
Comments
0 Comments

Posting Komentar