Pernah
aku berpikir, jika suatu saat nanti penulis Indonesia yang namanya sudah besar
saat ini, pada suatu saat nanti
meninggal dunia, siapa yang menggantikan posisi mereka? Apakah ada seseorang
pada saat ini yang mempunyai kriteria yang setidaknya mendekati bagaimana penulis
besar tersebut berkarya? Apakah nama-nama itu akan terus ajeg di sana dan tak
tergantikan?
Tentu
saja ini masalah karya, karya penulis besar di atas tentu saja tidak akan mati.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah di masa depan nanti ada karya yang bisa
menggeser itu dari karya penulis masa
sekarang?
Belakangan
ini aku kenal dan membaca karya-karya teman yang masih berusia muda. Mereka
menulis dan berdedikasi tinggi akan itu. Dan aku kembali bertanya, apakah suatu
saat nama mereka akan besar dan menggeser nama yang sudah ada?
Aku
baru saja membaca sebuah buku kumpulan cerpen seorang teman. Kami satu
almamater di Kampus Fiksi walau berbeda angkatan. Namanya Aris. Dilihat dari
akun media sosialnya dapat kita simpulkan bahwa orang ini agak nyeleneh. Ia menulis
kontol, peju, meracap, dan sebagainya sebagai sebuah puisi. Tapi di sisi lain,
karyanya juga sering dimuat di media online ataupun koran.
Dan
beberapa karyanya itu dikumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul ‘Riwayat
Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive’. Judul tersebut diambil dari
salah satu cerpen yang mungkin menjadi kebanggan si penulis.
Tulisan
Aris di buku ini tentu saja sangat berbeda dengan tulisannya di akun media
sosialnya. Di sini ia tampak serius dan dengan lihai merangkai cerita. Beberapa
kali kamu akan menemukan sebuah kota fiksi, raja fiksi, dan segala hal fiksi
lainnya. Ia agaknya ogah menulis karya fiksi yang mengambil latar belakang dari
tempat yang nyata. Fiksi pokoknya harus fiksi!
Ia
menulis tentang Pangeran Airlangga yang bukan Pangeran Airlangga. Ia mengarang
sendiri tentang Pangeran tersebut, di mana sebuah Kerajaan Mengkudu Sepet
akhirnya disebut, Ratu Sri Bhuwana Tunggal Tangga Mlaku, Pati Gajah Mungkur. Nama-nama
itu dibuatnya menjadi sebuah fiksi yang, tentu saja kita tahu diambil dari
kisah serius namun di sini ia selewengkan menjadi sebuah lelucon. Mengawinkan dua
hal tersebut memang bukan hal mudah.
Cerpen
yang menjad favoritku di sini adalah ‘Pada Malam Hari, Hal-Hal Ini Terjadi.’ Ia
bercerita tentang pemuda yang bangun dari tidur karena mendangar sebuah alarm. Kata
si narator, jika hal itu terjadi (bunyi alarm itu), maka ada dua kemungkinan. Kemudian
kedua kemungkinan itu dijabarkan narator sehingga kita lupa bahwa itu hanya ‘kemungkinan’,
bukan apa-apa. Padahal pembaca sudah dibawa kepada suasana seakan itu cerita
yang berjalan. Dengan entangnya penulis menulis begini di akhir cerpen: Dan
memang pada kenyataannya itu hanyalah sebuah alarm dan bukan yang lain-lain. Kurang ajar!
Cara
bercerita seperti ini, yang membuat pembaca tersentak merupakan hal yang dicari
kenapa kita membaca sebuah buku. Selain untuk menghibur diri, hal-hal yang
tidak pernah kita temukan sebelumnya seperti tekhnik bercerita, cerita itu
sendiri, dan pengolahan emosi merupakan sisi lain dari alasan kenapa kita mau
meluangkan waktu untuk membaca.
Aris
melalui buku ini tentu saja bisa dibilang mampu membuat napsu membacaku
terpenuhi. Bobot tulisannya juga perlu diperhitungkan dan disejajarkan dengan
penulis lain. Karena ketika aku membaca tulisannya, aku seperti belum mengenal
orang ini. Benar kata orang, karya dan sosok penulisnya adalah dua hal yang
berbeda. Jika kita menyukai karyanya, belum tentu kita menyukasi penulisnya,
begitu juga sebaliknya. Dan memang, sebelum membaca sebuah buku, alangkah
baiknya kita tak perlu mengenal lebih dekat dengan si penulis. Biarkan karya
tersebut berdiri sendiri.***