Aku mulai mengikuti jurnal Eka Kurniawan di tahun 2016. Saat itu aku jatuh cinta pada salah satu karyanya: Cantik Itu Luka. Novel itu membuatku yang ketika itu kelas 3 SMK, begadang untuk membaca, dan entah bagaimana, sejauh masa itu aku tidak pernah mengalami kenikmatan membaca sebelum bertemu novel itu.
Mulai sejak itu aku membaca jurnal Eka dan kesan pertama yang ada di benakku ketika pertama kali membacanya adalah, Eka menulis tiap jurnalnya dengan 1 paragraf saja! Jadi tulisan yang kurang lebih 500 kata tersebut ia tulis dalam 1 paragraf. Jika dlihat sekilas memang agak menyebalkan, siapa yang mau membaca paragraf sepanjang itu!
Tapi, ketika kita mulai membaca, tulisan itu begitu mengalir dengan jernih. Semua saling sambung-menyambung dengan cantik. Ketika ada salah satu pembaca berkomentar tentang kebiasaan Eka ini, ia mendapat jawaban yang kurang lebih begini:
“Ya, saya memang sengaja membuat tulisan seperti itu, agar saya belajar menulis dalam 1 tarikan napas.”
DALAM SATU TARIKAN NAPAS!
Aku jadi membayangkan bagaimana cara Eka menulis jurnalnya itu, ia tidak berhenti mengetik, terus saja mengalir sampai selesai. Tidak seperti kita yang, ketika 1 paragraf selesai, kita akan sedikit menghela napas dan kembali berpikir: mau nulis apa lagi ya…
Dan, sebagain besar karya Eka Kurniawan sudah aku baca. Ketika mendengar jurnalnya akan diterbitkan, aku adalah salah satu orang yang menanti-nanti. Apalagi itu jurnal dalam periode 2012-2014, periode yang barang tentu banyak aku lewatkan.
Ketika aku ingin membeli buku ini, aku bertanya kepada penjual: “Apakah dalam buku ini, tulisan Eka masih dalam 1 paragraf?” dan penjual itu menjawab, “Iya, mas, tapi tenang saja, sudah melewati tahap edit kok.” “Oke saya mau satu.”
Senyap yang Lebih Nyaring merupakan judul salah satu artikel (atau esai?) Eka di buku ini. Ia berbicara tentang apa tugas penulis? Tugas penulis adalah bersuara melalui tulisannya, namun sejarah mencatat ada penulis yang memilih untuk bisu, bahkan hingga akhir hidupnya: Albert Camus.
Kebisuan Camus dipicu oleh dua hal: perang Alzajair (tempatnya lahir) dan dukungan sahabatnya sendiri: Sarte, terhadap Uni Soviet.
Ada tulisan Sarte yang mengharukan mengena kebisuan Camus, yang ditulisnya sebagai obituary setelah Camus meninggal dalam kecelakaan mobil. “Enam bulan lalu, atau bahkan kemarin, kami bertanya-tanya, ‘Apa yang akan ia laukan?’ tulis Sartre (…..) tapi, itu tidak menghalangi Sartre untuk terus bertanya-tanya, buku apa yang sedang dibaca Camus. Jika ia membaca koran, ia bertanya kepada diri sendiri, apa komentar Camus mengenai topik ini? (Hal.330).
Ada tulisan Sarte yang mengharukan mengena kebisuan Camus, yang ditulisnya sebagai obituary setelah Camus meninggal dalam kecelakaan mobil. “Enam bulan lalu, atau bahkan kemarin, kami bertanya-tanya, ‘Apa yang akan ia laukan?’ tulis Sartre (…..) tapi, itu tidak menghalangi Sartre untuk terus bertanya-tanya, buku apa yang sedang dibaca Camus. Jika ia membaca koran, ia bertanya kepada diri sendiri, apa komentar Camus mengenai topik ini? (Hal.330).
Di bab yang lain, Eka juga tak luput untuk mengkritik tentang budaya literasi di Indonesia. Menurutnya, ada yang salah dalam pendidikan dasar kita. Kita diajarkan menulis dengan mengenal huruf-huruf, merangkai kata-kata, dan seterusnya. Namun itu tidak membuat kita belajar untuk berpikir. Menulis adalah tentang bagaimana belajar berpikir sistematis dan mengemukakan pendapat dalam bentuk tulisan.
Kita diajarkan bagaimana mengenali huruf, mengenal kata, menyusun kata menjadi kalimat. Tapi, itu tak membuat kita bisa menulis. itu hanya membuat kita menjadi tukang menyalin huruf, atau lebih canggih, hanya menjadikan kita tukang ketik. (243)
Sekali lagi, perkara menulis adalah tentang disiplin berpikir, seharusnya pendidikan kita sudah sampai pada titik itu.
Sebenarnya dalam buku ini Eka sedang berbicara tentang banyak hal, namun semuanya pasti mengerucut pada satu hal: Sastra. Namun, dalam bukunya ini dalam bab Apa yang Saya Katakan Ketika Saya Bicara Tentang Sastra ia mengatakan: “Di dunia ini hanya dua jenis karya. Satu, karya yang saya sukai; dua, karya yang tidak saya sukai.”
Sesederhana itu..
Dan tentu saja buku-buku yang Eka ulas dengan gayanya sendiri itu, adalah karya yang ia sukai. Dengan membaca jurnal ini, aku setidaknya bisa tahu selera penulis besar seperti Eka.
Belum lama ini Eka juga berkecimpung dalam dunia penerbitan: ia mempunyai penerbit sendiri! Novel pertama yang diterbitkan berjudul Angsa Liar. Tentu saja buku-buku yang akan terbit mempunyai idealisme yang erat dengan Eka. Dan aku yakin, penerbit ini akan tumbuh dengan memenuhi kebutuhan pembaca di ceruk yang lain. Kita lihat saja.