Peristiwa turunnya
mahasiswa untuk berdemo terkait penolakan RUU KUHP dan revisi UU KPK, tentu
akan menjadi suatu peristiwa bersejarah yang akan tercatat. Karena sejak 1998,
mahasiswa baru kali ini kembali turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya
dalam gelombang besar. Tentu, mereka mendapat dukungan dari lingkungan sekitar
seperti pedagang, pekerja, dan elemen lainnya. Ini menandakan bahwa masyarakat
mempercayai mahasiswa sepenuhnya sebagai wakil mereka untuk menyuarakan aspirasi di depan
kantor DPR/MPR. Mahasiswa tentu mempunyai waktu dan tenaga yang membara. Berbeda
dengan kami para pekerja dan pedagang, waktu kami terbatas, dan harapan kami
adalah mahasiswa yang lantang menyuarakan suara rakyat—ketika perwakilan kita
yang duduk di Senayan sudah tidak lagi bisa dipercaya.
Saya adalah pekerja,
dan teman-teman saya ada yang mahasiswa dan turun ke jalan untuk mewakili saya
dan masyarakat lain yang tidak bisa terjun langsung ke lapangan.
sumber gambar: twitter @piokharisma |
Khalif merupakan
mahasiswa BSI Serpong, ketika ia berangkat dari kampusnya, ia dan
teman-temannya sudah didukung oleh para pedagang yang memberi mereka makanan
dan minuman secara cuma-cuma. Perjalanan dari kampusnya ke kantor DPR/MPR
bukanlah perjalanan pendek, ia dan teman-temannya harus menempuh perjalanan
lumayan panjang untuk sampai di tempat tujuan dan panas-panasan hingga bentrok
dengan aparat kepolisian.
Mahasiswa semester 4
ini, sudah diwanti-wanti oleh orangtuanya untuk tidak ikut bentrok dan rusuh. Namun
Khalif tidak bisa untuk tinggal diam ketika ia benar-benar terjebak pada
situasi yang tidak menguntungkan.
“Bukannya mau ikut
(rusuh). Tapi ya kejebak gimana. Lari susah,” katanya.
Menurutnya terkait
penolakan RUU KUHP, bahwa di RRU tersebut banyak yang mengindikasikan adanya
pelanggaran HAM dan mengurusi privasi masyarakat (terlalu jauh) yang seharusnya
tidak perlu diatur pemerintah.
“Semua pihak dan semua elemen masyarakat
dapat memberikan kritik, tapi isi dalam RUU tersebut malah sebaliknya,” katanya.
Saya
juga menanyakan hal yang sama kepada Nandya, salah satu mahasiswi Universitas
Islam Syekh Yusuf Tangerang. Sebagai seorang mahasiswi baru yang belum genap
sebulan kuliah, ia berani turun ke jalan. Padahal kesehariannya ia akui lebih
apatis jika sudah menyinggung tentang politik. Namun untuk kali ini, tidak.
“Soalnya
ngerasa muak aja dengan segala janji pemerintah. Pas kemarin ngebaca tentang
masalah RUU, entah hati ngerasa aneh, kesel, geram ya pokonnya ngerasa kaya
sekarang tuh Indonesia engga
baik-baik aja, jadi aku memutuskan untuk turun ke jalan,” kata wanita kelahiran
2001 tersebut.
Pengalamannya
ketika berada di peristiwa tersebut memang agak membuatnya goyah. Sebab situasi
seketika chaos dan para mahasiswi
segera untuk dievakuasi menjauh dari depan gedung DPR/MPR. Walau sempat
berpencar, akhirnya ia bisa menyatu lagi dengan kelompoknya.
“Banyak
kating yang ikut, tapi maba paling ada 10 orang, mungkin,” katanya.
Sebagai
seorang wanita yang masih terbilang muda, ia sempat tidak diizinkan oleh ibunya
untuk turun ke jalan, namun sebaliknya, bapaknya mendorongnya untuk turun ke
jalan. “Kalau bukan mahasiswa yang turun, mau siapa lagi?” amanat bapaknya.
Nandya
adalah adik dari Khalif. Mereka dibesarkan di keluarga yang sama dan mempunyai
pandangan yang sama ketika melihat negara sedang tidak beres. Menurut Nandya,
Khalif adalah sosok kakak yang sangat cuek dan tidak pernah menanyakan
kabarnya. Namun pada hari itu, kakaknya seolah menjadi orang lain. Khalif terus
khawatir tentang keberadaan adiknya di tempat kejadian. Ia terus menanyakan
bagaimana keadaannya dan mewanti-wanti jangan melalui jalan tertentu karena
sedang bentrok.
“Pas
udah mulai chaos abangku memang
perhatian sih. Selalu nanyain di mana.
Keadaannya gimana. Disuruh stay di situ aja, bareng-bareng sama
anak kampus, jangan misah. Pulangnya nanti aja tunggu udah reda, terus dikasih
tau kalau mau pulang lewat mana aja biar ngga ketemu polisi,” ceritanya.
Nandya sempat terjebak di komplek GBK bersama teman yang lain hingga malam tiba. Suaranya hampir
habis, dan trauma ketika melihat orang beramai-ramai berlarian. Alhasil ia
pulang dan sampai di rumah jam setengah 12 malam.
Irzha
merupakan mahasiswa tingkat akhir Universitas Bung Karno Jakarta. Ia membagikan
pengalamannya ketika kejadian 24-25 September kemarin.
“Pertama
kali juga merasakan kena gas air mata berkali-kali dan itu sangat perih, sampai
ada mahasiswa jatuh depan saya karena matanya perih sampai tidak bisa dibuka
dan saya bantu suruh cuci mukanya dengan air, waktu itu saya ingat kena gas air
mata pas nonton persija,” ceritanya.
Sebagai
mahasiwa, ia geram ketika ada pihak yang mengatakan bahwa aksi ini ditunggangi
atau dibayar. Irzha mengatakan bahwa untuk aksi ini sendiri pun ia harus
mengeluarkan uang dari sakunya sendiri.
“Sampai
saya sendiri mengeluarkan uang, habis dalam sehari itu dari jam 9 pagi sampai jam
10 malam di hari selasa itu, sekitar 150 ribu. Demo ini atas dasar hati nurani
saya yang resah melihat negara ini dan membela bagaimana indonesia ke depannya.
Jadi saya ikhlas menghabiskan uang berapa pun untuk membela negara ini,”
pungkasnya.
Salah
satu teman saya, Ihsan, yang dekat dengan beberapa tokoh politik, memberikan
pandangannya terkait situasi saat ini. Pada suatu waktu ia pernah mendapat
kesempatan untuk mewawancarai politisi dan masuk ke gedung DPR/MPR untuk
mengikuti beberapa acara.
Ia
sangat menyayangkan ketika aksi mahasiswa tersebut dibilang oleh beberapa elit
sebagai aksi agar kepala negara mundur/turun. Padahal aksi tersebut murni dari
keresahan mahasiswa.
Terlepas
dari itu semua, di dalam perancangan UU memang tidak mudah, DPR selalu
berdebat, untuk menyatukan satu suara memang sulit. Politik itu sendiri memang
sulit.
Memang
sudah seharusnya politisi muda muncul untuk menetralisir orang-orang tua yang
membuat kebijakan dengan tidak mendengarkan rakyat.
“Berpolitik
itu bukan hanya menjadi tugas/tanggung jawab orang tua-tua saja, anak muda
seperti kita juga harus terlibat di dalamnya,” ungkap Ihsan.
****
Tulisan
ini memang tidak sebanding dengan perjuangan para mahasiswa hingga pelajar di
lapangan. Jarak tempat tinggal saya menuju kantor DPR/MPR memang tidak terlalu
jauh, tapi ada kewajiban yang harus saya kerjakan. Namun saya yakin dan
percaya, di pundak-pundak para mahasiswa asa saya berada. Saya bersama kalian,
dan suarakan suara kami dengan lantang dan sepenuh hati.
Banggalah
kalian menjadi salah satu dari sejarah negeri ini. Karena mendiamkan suatu kesalahan
adalah sebuah tindak kejahatan. Begitulah kata pemuda aktivis bernama Soe Hok Gie.***