Suatu pagi seorang bapak membeli ayam jago di pasar. Kemudian dibawanya ayam itu ke rumah yang tentu saja menjadi tempat asing bagi si jago. Dengan pedenya, bapak ini malah membiarkan ayam jagonya itu dilepas di halaman rumah. Menjelang sore, bapak ini mencari ayamnya, ternyata ayam itu ndak balik lagi. Hilang.
Sebab halaman rumah bapak ini adalah tempat yang asing bagi si jago, maka si jago pun belum tahu pasti bahwa ini tempatnya dipeliahara. Lha wong hewan kok. Seharusnya bapak ini terlebih dahulu mengurung si jago di sebuah kandang selama 3 atau 4 hari ke depan agar si jago menyesuaikan diri, kenal dengan lingkungan barunya.
Bapak ini menyesal.
Begitupun ilmu, gais, ketika kita mencari ilmu dan mendapat pencerahan setelah bertemu dengan orang yang menyampaikan ilmu itu kepada kita, dan kita malah sombong bahwa ilmu itu ndak perlu dikaji lagi, ndak perlu dihayati, ndak perlu dikandangkan di 'dada'. Jadilah ilmu itu 'blas' begitu saja. Hilang. Saya pun pernah merasakan begitu.
Percuma ilmu hanya ditaruh di kepala, dan dengan pedenya marasa bahwa saya berilmu. Taruhlah ilmu di dada, jadikan ia cahaya bagi hati. Jika hati sudah terang, tindak-tanduk kita pun memancarkan ilmu yang kita 'kandangkan' tadi.
Jangan sampai kita menyesal seperti bapak pembeli ayam jago tadi ya, gais.***
0 Comments