Menembus Masa SD

                                            

Semasa aku masih SD. Aku mempunyai teman yang bisa kuajak bermain apa saja. Ke mana saja. Tanpa berpikir resiko yang tersedia di depan mata.

Kami satu (komplek) SD. Pagi hari kita sekolah, dan di siang harinya, kita bermain. Bersama Raul, Pikih, dan Kus-Kus[1]; terkadang pula bersama anak tukang bubur. Yang sering kita lakukan adalah bermain futsal bersama anak sekolah yang masuk siang. Walau sering beradu tak-tik dengan penjaga sekolah dan satpam agar bola kita tidak disita.  

Aku sebagai penyerang. Kami terkadang juga menang dalam pertandingan, juga sering pula kalah. Ya, terkadang-kadang saja. Yang penting happy.

Kus-Kus mempunyai orangtua yang keduanya berprofesi sebagai guru. Aku sering bermain ke rumahnya. Juga dengan Pikih, Raul. Kita juga mempunyai Benteng di atas sekolah ini. Kita buat untuk nyantai. Tampatnya strategis, ada pohon-buah blimbing. Jika kita menginginkannya, tinggal petik. Apalagi jika musimnya tiba. GURIH....


***


Di SD kelas 5, aku jumpa dengan Kus-Kus dalam upacara bendera. Dia menggunakan baju PDA-nya sebagai pemimpin upacara, sedang aku sebagai ketua kelompok. Ketika laporan masing-masing ketua kelompok kepada pemimpin upacara. Kutemui raut wajah Kus-Kus yang serius. Ini pertama kalinya aku melihat wajah yang seperti itu.

“Lapor, seluruh peserta upacara SDN Mangga Besar 05 Pagi siap melaksanakan upacara,” kataku. Lalu Kus-Kus menjawab, “Laporan diterima, kembali ke tempat!”
Aku tak kuasa menahan tawa ketika melihat wajah Kus-Kus yang seserius itu. Sampai sekarang terkadang menyeruak di lamunan.

        ***

Jika hari libur tiba. Kami berempat biasanya bermain PS bersama. Sehabis bermain PS. Kami berpetualang tak jelas. Ke mana saja. Yang terpenting melahirkan tawa. Ya, aku tidak akan melupakan masa-masa ini. Walau tak jarang pula kita saling berselisih. Tapi itu hanya bertahan beberapa hari saja. Selanjutnya. Happy.

Tapi, ketika kita lulus dari SD. Terpencarlah sudah. Entah Kus-Kus ke mana, Pikih ke mana, dan Raul ke mana; apalagi anak tukang bubur. Huh, lupakan.

Tibalah kita pada istilah miskomunikasi. Kita fokus dengan sekolah masing-masing. Tidak bisa lagi bermain bersama. Sudah tidak pernah ke Benteng yang kita buat bersama. Dan mungkin Benteng itu sudah lapuk termakan rayap. Dan kenangan yang ada di sana, akan terkenang selalu dalam hidupku. Buktinya, sampai sekarang aku masih ingat betul. Secara detail. Kutulis pada carita ini. Kau?

Setibanya masa SMA. Kita benar-benar seperti terbentang luas oleh samudera antara samudera. Aku sendiri sering bermain ke tempat SD dulu. Di sana aku bisa membuka lembaran carita-cerita yang pernah ada. Kulihat pepohonan sudah sangat besar, daunnya sudah sangat rindang. Padahal dulu, pohon itu sering kunaiki. Sering kuambil buahnya. Buah jambu air.

Dengan lembutnya daun itu berjatuhan ke lapangan. Aku terpatung melihatnya. Kututup mata ini, kurasakan kenyamanan di jiwa. Angin senja, membawaku tembus ke masa-masa itu—yang sekarang ingin kuceritakan kepada mereka. Teman SD.
Cahaya keemasan terpantul dari hotel Mercury.

***

Jika pun sekarang aku bertemu dengan mereka. Entah apa yang akan kami obrolkan. Apakah masih mengenai futsal, pohon mangga, PS, jalan-jalan ke giant, warnet, dan sebagainya?

Bila aku mengingat masa-masa itu. Sungguh, sangat mengaggumkan adanya. Kau mempunyai sahabat yang sebenarnya. Saat itu kau tidak berpikir untuk apa  berteman. Yang terpenting. Melahirkan tawa. Dan yang seperti ini lah persahabatan sesesungguhnya. Tanpa membeda-bedakan satu sama lain.

Entah-berantah. Alih-alih aku ingin mengenang masa indah persahabatan waktu SD. Aku jadi sedih mengingat..., sengsaranya aku saat itu. Menghabiskan banyak waktu di kantin sekolah. Bukan di kontrakan.

Tanpa mereka. Mungkin masa remajaku tak terukir sedemikian rupa. Tanpa mereka, remajaku hampa tanpa cerita.

Aku selalu berharap. Suatu hari nanti kita akan bertemu dalam situasi yang baik. Kau sukses aku pun sukses. Bila di antara kita ada yang kurang beruntung, akan kita bantu. Aku ingin itu.

Sampai sekarang. Kira-kira masa-masa SD-ku sudah terlewat 7 tahun.
Tenang kawan. Tenang sahabat. Aku tidak akan melupakanmu. Canda khasmu, usilmu, amarahmu, serta kerja sama kita. Masih banyaaak sekali cerita yang terukir. Tanpa sebab, telah kukenang. Tak terlupakan.

Ya, semua tersimpan dalam memory bank-ku. Afsokhi Abdullah.





[1] Kus-Kus: bukanlah binatang. Namun sebutan nama bagi seorang yang bernama asli Khalif  Rahmansyah. Mulanya, terlihat kuku di tangan serta kakinya yang pendek. Jika dipikir lagi, menyerupai Kus-Kus. Persis. Dan saat itu pulalah, kita memanggilnya Kus-Kus. Dia merespon dengan positif. Tidak marah jika dipanggil Kus-Kus. Sampai sekarang pun, kupanggil ia, Kus-Kus.

Kosan

7 November 2014

Teruntuk Sahabatku yang Pernah Kujanjikan ^_^

Jeda Hidup (Kisah Wong Kampung) Cilacap Jawa Tengah

Aku baru saja sampai di kampung. Aku dari Jakarta, sekolah di sana, tingkat SMA. Kampungku masih tertinggal, jauh dari gedung pencakar langit. Tapi..., asal kau tahu, orang-orangnya sangat ramah, berbeda dengan ibukota Jakarta.

Bayangkan. Jika pagi tiba, banyak orang yang lari pagi di jalanan, lalu mereka saling jumpa, mengobrol, saling sapa, sangat akrab.

***

Beberapa hari kemudian.

Aku main ke rumah Kakek, di sana ada cucu-cucunya yang masih kecil. Bermain. Sama sepertiku dulu. Akh..., rasanya aku sudah tua di antara mereka.

Kubuka laptopku, sudah kupersiapkan sebelumnya. Aku sudah membuat video dukumenter tentang kampung ini.

Klek. Bunyi mouse laptop. Lalu, banyak orang yang menggerumungi. Dari Kakek-Nenek, Om, Tante, semua yang ada di sini berkumpul ketika melihatku membuka laptop.

Cleng....

Video diputar. Nampak foto-foto berjalan di layar laptop. Terlihat mata yang terkesima dari cucu-cucu Kakek ini.

Banyak senyum terbit kala itu. Dengan seksama mereka menatap layar laptop.

Setelah video selesai. Semuanya kembali dengan kesibukannya masing-masing. Terkecuali cucu-cucu Kakek ini. Mereka terus saja bermain bersamaku.

Di rumah Kakek. Banyak yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mereka mempunyai kewajiban untuk menjahit hidupnya agar tak kusut.

Mereka kabanyakan mengandalkan otot untuk bekerja. Tak ayal jika anak muda terlihat lebih tua. Andai aku mempunyai banyak uang. Aku akan mengajak mereka untuk melepas penat. Melepas beban tak ada ujungnya.

Entah. Itu akan terjadi kapan. Yang terpenting. Aku sudah bertekad, dan yang lebih penting. Mereka masih hidup dan, bisa merasakan 'jeda hidup' untuk berleha barang sedetik.


Afsokhi Abdullah
Kelas XI-Ap1 SMK Negeri 11 Jakarta.

Kekasihku

Suasana kelasku menjadi beda. Yang tadinya di lantai dua, kini berpindah ke lab bahasa. Sebab, ada renovasi. Di lab bahasa Inggris ini, lengkap dengan tab, notebook, proyektor, dan alat-alat lain canggih sebagainya. Sayangnya, alat tersebut tidak diguanakan dengan semestinya. Entahlah, sekolahku ini bisa terbilang aneh. Apa muridnya yang.......... ?

Karena kelasku berpindah ke ruang lab bahasa yang banyak akan alat-alat. Ruang lingkup untuk bergerak pun menjadi sempit. Begah. Banyak yang keluar dari ruangan, memilih mejeng di depan pintu.
Kalau ada ac saja di ruangan lab ini. Pastilah akan jauh lebih baik, dari yang terlihat sekarang.

Tak ada guru yang mau masuk. Berarti juga dari awal bel pertama sampai akhir..., kami tidak belajar. Entah, aku harus senang atau sedih.

Kami berpindah ruangan selama 3 hari. Di hari pertama kami mencoba menyesuaikan. Banyak protes dan sebagainya. Hingga tibalah hari ketiga. Selama dua hari yang lalu, banyak cerita yang terjadi di ruangan lab. Karena kami lebih banyak bermain daripada belajar. Kami jadi lebih dekat satu sama lain.

Kau tahu, aku sedang dekat dengan seorang wanita. Namanya Ratna. Ia menarik perhatianku, di mana saja dan kapan saja. Dia manis, cantik, dan... masih banyak lagi keunggulan daripadanya. Aku... suka padanya.

Suatu ketika. Ada bunga mawar di atas meja paling depan. Bunga imitasi, terbuat dari plastik. Kuambil itu. Tiba-tiba Entin berkata, “Kasihkan dong sama Ratna....”

Mendengarnya aku terhenyak. Sedang Ratna tersipu di sana, bersama teman-temannya dekat pintu. Aku tertantang untuk mengasihkannya bunga ini. Aku tidak menjawab perkataan Entin tadi, cukup berkata dalam hati, “Baiklah, akan kucoba.”

Aku tahu, di hari ketiga ini adalah hari terakhir. Maka, ini kesempatan terakhir. Memberikannya bunga mawar ini.

Selama hari itu. Kupegangi terus bunga plastik mawar merah warnanya. Ada duri di tangkainya, seperti sungguhan.

Sepertinya aku belum cukup nyali untuk memberikannya bunga. Bisa jadi aku akan membisu tepat di hadapannya dengan menampakan wajah bodoh tak berdaya ketika ingin memberikannya.

Lalu. Hari terakhir berlalu begitu cepat. Bunga mawar merah itu kutaruh lagi di tempat semula. Dan kutaruh lagi harapan di dalam hati, terkubur dalam bersama angan. Tak kuusik lagi.

Wanita seperti Ratna, memang sulit ditebak. Ia bisa dikatakan sebagai wanita tomboy dan, aku suka itu.

Berjalannya waktu. Aku terus mendekatinya, entah angin dari mana yang membuatku 
terus ingin dekat padanya. Setiap ia sendiri di tempat duduknya, aku mendekat. Setiap ia sendiri di blangkon sekolah aku mendekat. Bukan hanya ketika ia sendiri. Jika ia bersama temannya pun, aku mendekat.

Berkata dengan apa yang kupunya padanya. Berkata dengan apa yang bisa terlontar, dan bisa ia balas. Walau, sering kali aku hanya dicampakan dalam hidupnya.

Aku tak mundur. Awalnya aku tidak ada niat bisa dekat dengannya. Namun, kenyataan berkata lain.

Berawal dari SMS,  dalam SMS aku perhatian dengannya. Awalnya pun ia membalas dengan singkat, tanpa emot. Lama-kelamaan, ia membalas agak panjang dan terkadang pula dengan emot.

Senang. Senang sekali bisa membaca SMS-nya.

****

Tak perlu kau tahu. Kami sudah jadian. KOK BISA?
Dan ketika lanjut jadian, kami menjadi lebih renggang. Entahlah. Rasanya aku takut mendekatinya. Aku...., canggung dengannya. Aku dan Ratna seperti berjarak lebih jauh dari sebelumnya.

Sebelumnya aku yang selalu mendekatinya ketika di tempat duduknya sendiri. Aku yang menemaninya di blangkon. Aku yang selalu ingin tahu tentangnya. Kini. Canggung karena cinta benar-benar ada. Antara aku dan Ratna.

Aku tak menyangka, sungguh tak menyangka. Ketika itu, ketika aku UAS, aku duduk bersama adik kelas yang kebetulan seorang wanita. Adik kelas ini pun dekat denganku sebab ia satu ekskul yaitu basket.

Selama UAS. Aku pun duduk bersama adik kelas itu. Jelas.

Hari pertama UAS. Nisa menghampiriku.

“Khi, Ratna cemburu,” katanya sekonyong-konyong. Sedangkan wanita di sampingku ini mendengarkannya. Aku jadi tidak enak. Lalu mengajak Nisa ke meja guru.

“Yang benar kamu, tulis di sini apa kata dia,” kataku membisik. Dan menyodorkan buku notes dan pulpen hijau.

Nisa menulis. “Tadi Ratna bilang..., ‘aduh, pagi-pagi udah panas aja’, gitu khi.”
“Akh, yang benar kamu?”

“Iya. Nggak percaya, tanya aja langsung ke orangnya.”

Lalu percakpan kami di kertas menjadi beberapa lembar. Aku percaya pada Nisa. Tapi.... apakah benar Ratna benar-benar cemburu?

****

UAS berjalan selama Seminggu lebih. Dan selama itulah aku duduk di sanding adik kelas.

Lebih mengagetkan lagi. Ratna twit seperti ini: “Pokoknya aku sayang.”

Aku langsung DM dia. “Itu buat siapa?” tanyaku.

“Ada... buat yang merasa aja.”

“Kan yang merasa banyak dong.”

Terruuus sampai panjang sekali. Sampai dia membalas.
“Ya. Itu buat kamu.”

Klik. Aku tak percaya. Sungguh tak percaya. Ternyata Ratna sayang padaku. Sebelumnya mungkin sinyal itu sudah diberikannya ketika ulangtahunku yang ke-16. Ia memberiku kado. Isinya Al-Qur’an kecil, sangat bermanfaat dalam kehidupanku. Hanya dia yang memberikan kado pada saat itu. Ratna.

****

Hubungan kita terus berjalan. 27 Desember 2014 tepatnya kita jadian. Ketika itu aku sedang di kampung, untuk liburan. Aku tidak akan berpanjang-lebar untuk memperjelaskan semuanya. Itu ada di pos-ku sebelumnya. Jadi, bacalah yang sebelumnya ya....

Ternyata. Hubungan aku dan Ratna sudah diketahui oleh beberapa anggota keluarganya. Seperti Kakaknya, Abangnya, Mamangnya, hingga pada Ibunya. Suatu ketika, Ratna bilang padaku lewat SMS.

“Khi, kata Ibuku, Ibu ingin bertemu kamu. Dan mengajak kamu jalan-jalan keluarga, ya... walau ke Ragunan saja.”
Jelas aku kaget. Baru kali ini aku menjalin hubungan kekasih sampai sejauh ini. Sampai diajak liburan keluarga bersama.
Barangkali itu bentuk keseriusan dari keluarganya.

****

Ratna masih menginginkan aku untuk menyatakan sayang langsung padanya. Ya, langsung tatap muka. Dan itu sungguh sulit.

Pada suatu hari ketika aku ingin menyatakannya. Tepatnya ketika kita piket di pulang sekolah. Sudah kuambil HP-nya, agar ia pulang agak lambat dan kita bisa berbincang di kelas tanpa ada yang menggaggu. Tapi, Lisa, selalu membuntui Ratna.

Lalu untuk menyatakan langsung sayang padanya pun tidak jadi. Akan tetapi, aku sudah membuat video yang berisi suaraku dan video mengenainya dengan lagu WESTLIFE-MY LOVE. Lagu kesukaannya.  

Dia SMS-ku. Yang isinya dia sudah melihat dan mendengar apa yang kukirim di HP-nya. Ia menangis bahagia. Dan berterima kasih beberapa kali padaku.
Ya. Aku pun bahagia. Baru kali ini aku bisa membuat wanita menangis bahagia setelah Ibu.


Ratna. Aku harap hubungan ini berbeda dengan yang sebelumnya. Kau berbeda dengan wanita yang kukenal sebelumnya. Dan aku berbeda dengan pria yang kau kenal sebelumnya. Percayalah, aku sayang kamu. Dengan caraku. Afsokhi. 


Semoga ia membacanya :')

Bapakku Pandai Naik Motor (Cerita di Kampung)

Perjalanan menuju rumah idaman terus berjalan. Duduk di bangku 6c gerbong 3 rangkain kereta Serayu. Sebentar lagi stasiun Kawunganten..., tempatku hendak turun.



Tas, sudah siap di bangku. Tinggal mengangkatnya menuju pintu keluar lalu turun.



Kereta masih melaju kencang. Namun tempat pemberhentian selanjutnya sudah diinformasikan, Kawunganten. Hatiku ria, sebentar lagi aku bertemu Ayah-Ibu..., serta kedua Adikku.



Kereta mulai memperlambat lajunya. Lambat, lambat, lambat sekali. Dan akhirnya berhenti tepat di stasiun.



Berhenti. Gerombolan tukang ojek sudah ada di pintu. Bahkan di antara mereka; sebelum kereta benar-benar berhenti, tukang ojek nekat itu loncat ke pintu. Mengerikan, bagaimana jika tadi salah jatuh, salah pegang, kepeleset. Huh, nggak kebayang.



***



Bapakku sudah menunggu di ruang tunggu. Bapak melambaikan tangan. Raut wajahnya masih sama seperti setahun lalu, ketika aku turun dari kereta..., ketika musim lebaran.



Cepat aku menjuju Bapak yang kini siap dengan sepeda motornya. Kucium tangannya lalu aku beranjak ke motor, dan kita melanjutkan perjalanan.



Hanya suara angin, karena motor dipacu cukup kencang oleh Bapak. Sekarang Bapak nampaknya sudah lihai dalam hal menaiki kuda besi ini. Keren.



Padahal setahun yang lalu, tidak ada yang percaya orang tua beruban ini akan bisa menjalankan motor. Entah Bapakku berguru di mana.



"Wah sekarang Bapak pinter ya pake motor," kataku, masih dalam perjalanan.



"Iya dong, masak motor mau dipajang di rumah nggak dipake, ntar lapuk toh."



Bapak kembali fokus ke jalan. Sekarang kami mengambah jalanan yang sangat teramat hancur. Bayangkan, ada lubang besar di mana-mana. Pun aku melihat lubang besar yang terisi penuh air di jalanan, sudah nampak seperti kolam ikan.



Jalanan cukup licin, maka Bapak memperlambat laju motornya.



Motor ini dibalok-belokan oleh Bapak ke sana-ke sini, wah, keren. Bapak bisa memilah-milih jalan yang dapat diambah.



Ya. Itulah Bapaku... :) walau sudah tua tapi semangatnya terus saja membara.





Afsokhi Abdullah

Kosan 14 Januari 2015

Sepotong Papan Kayu Harapan (Tantangan Nulis Kampus Fiksi #KaramDalamKata



Sudah jauh-jauh hari aku memikirkan ini. Setelah lulus dari pesantren, aku akan merantau di negeri orang. Sebab, di negeriku tak ada lagi lapangan pekerjaan. Sudah sangat sulit mengembangkan usaha. Ditambah lagi, birokasi yang terbelit-belit.

Aku pergi demi cita-citaku. Membahagiakan orangtua dan meminangmu, Alina.

Sore ini aku dilepas pergi. Pelukan hangat Ibu dan semua orang yang tertata di tepi jalan ikut sumbangsih dalam kesedihan. Dengan sepeda aku diantar Ayah menuju terminal yang sudah dijanjikan sebelumnya oleh penyalur TKI itu.

Ketika aku akan pergi. Kau Alina, hanya mengintip dari depan rumahmu. Aku tahu itu. Kau diam-diam mengekori kepergianku dengan tatapan lembut matamu. Lamat-lamat aku menjauh. Menjadi setitik ketidakpastian. Dan tak terlihat lagi.

Mataku nanar. Semua isi dada memantul tak jelas. Menimbulkan rasa 'nelangsa' menukik di senja sana. Cahaya keemasan memantul ke segala arah. Ke daun yang begoyangan disapa angin. Ke pohon yang rindang. Hanya cahaya keemasan yang terlihat, dan itu akan sirna menjadi cahaya bulan. Aku yakin itu.

Kukirim senja ini untukmu, sebelum hari gelap, Alina. Kupotong cakrawala di antara dua gunung itu. Kumasukan amplop yang kututup rapat-rapat lalu angin yang akan membawakan: cahaya keemasan, riuh suara burung camar, pantulan cahaya ke daun, dan semua yang pernah kau ceritakan tentang senja. Kepadamu.

Karena, Alina, aku tidak mau menambah 'berjubal' aksara di sejarah kehidupan kita ini. Kata-kata bisa saja berganti makna. Dan sebaliknya. Maka. Kukirim senja ini.

                                                               ***

Aku sudah sampai di terminal. Segera rombongan kami menuju pelabuhan. Sampainya di sana, semua orang mengantri dan memahat pandangan ke arah tempat biasa kapal feri berlabuh.

Tidak ada yang kukenal di sini. Akan tetapi keadaan yang menuntutku agar membuka banyak pembicaraan kepada orang yang senasib denganku. TKI.

Tak lama kemudian. Kapal bersandar dengan gagahnya. Lalu orang-orang dan kendaraannya masuk berebutan. Ada petugas yang menjaga. Tapi tak dihiraukan oleh penumpang lain. Inilah negeriku, tidak bisa tertib.

                                                           ***

Ini pertama kaliku menaiki kapal mengambang di air. Wajah orangtuaku tiba-tiba terlukis di langit malam. Aku terlalu mengkhawatirkannya.

Lalu, Alina. Gadis yang kusuka sejak lama, kini ikut mengusik lamunan. Ia masuk bersama angin malam dan, tepat menusuk dada.

''Biar nanti aku sukses di negeri orang. Aku akan melamarmu, Alina,'' gumamku seraya menatap langit kosong. Mendung tersemat awan hitam di sana.

Alina. Gadis berjilbab yang kukenal ketika kita masih di pesantren. Kau sekarang menjadi guru TK. Entah gajimu cukup atau tidak untuk membiayayi orangtuamu yang sudah sangat sepuh itu.

Niatku untuk meminangmu tak akan punah. Aku akan berusaha di negeri orang. Sukses di sana dan pulang dengan bergelimang harta. Sabarlah. Jaga hatimu.

                                                              ***

Kapal bergerak amat lambat. Aku khawatir. Apakah senja yang kukirimkan tadi, kau terima dengan utuh, Alina? Kuharap angin bersahabat denganku kali ini. Sehingga senja bisa kau nikmati setiap saat.

Cukup. Aku akan fokus dengan pekerjaanku nanti di negeri orang.

Di perusahaan triplek. Ya, sudah diceritakan oleh panyalur TKI-ku. Bahwa banyak korban dalam perusahaan ini. Sebab, semua dikerjakan oleh robot. Sedang aku hanya mengendalikan saja. Ada yang tangannya putus terkena mesin potong; kakinya patah, dan sebagainya.

Awalnya aku takut, Alina. Tapi demi membahagiakan orangtua; meminangmu menjadi Istriku semua itu bukan halangan. Bukan sama sekali!

                                                                  ***

Tiba-tiba kapal bergoyang. Entah apa yang terjadi. Aku panik. Semua orang pun panik. Tergambar kepanikan yang tak bisa kuungkapkan kepada siapa pun.

Apa kapal ini akan karam? Apa kapal ini akan manamatkan cita-citaku?

Apa harapanku terlalu berat sehingga kapal ini pun tak mampu menampungnya? Apa anganku di atas batas muatan kapal Feri ini?

Aku tak tahu. Yang pasti sekarang aku mengambang di lautan lepas hanya dengan sepotong papan kayu. Kapalku karam.

Aku tak tahu siapa yang akan datang. Entah ia akan menolongku atau menyantap dagingku.


Afsokhi Abdullah
Kosan, 11 Januari 2015

Lihat kapal karam di ->


m.youtube.com/watch?v=g33WMXYftFE

Tanpa Basa-Basi

Aku butuh banyak waktu untuk mempersiapkan ini. Bagi sebagian orang pun..., mungkin sama denganku.

Nembak. Ya, itu istilahnya. Penafsiranku tentang nembak adalah, menyangkut keberanian, perasaan serta rasa yang unik.

Rasa yang unik itu kini menjajah tubuhku, sudah sejak dulu. Bukan tanpa proses, namun melalui fase yang panjang karenanya.

Aku sudah menyatakan padanya via sms agar, hari ini kita bertemu di suatu tempat.

Semua sudah kupersiapkan sedemikian rupa. Berharap, ini menjadi hari yang bahagia untukku.

Tinggal menghitung menit. Menunggu perempuan itu singgah duduk di sampingku.

Aku? Aku terduduk rapi. Termenung menunggu harapan yang kuharap ada.

***

Perempuanku datang. Ia nampak manis dengan rambut yang tergerai jatuh di pundak. Wajahnya berseri-seri. Melihatku, datang, dan...,

"Apa?" katanya tanpa basa-basi.
Aku menoleh ke arahnya, "Aku mengganggumu?"

"Langsung saja, jangan bertele-tele, apa yang kamu ingini di sini?"

Nada suaranya menekan.

Selera 'menembak' pun surut seketika.

"Ingat smsku tadi?" tanyaku pelan.

"Ingat, jadi, kamu ingin menembakku, bukan? Aku tidak suka dengan bertele-teleanmu ini!"

"Ya."

"Kamu yakin. Setelah lama kita bersama, baru kali ini kamu berani menyatakan ini?"

"Ya," aku mengangguk.

"Sayang..., kamu terlambat...."

Apa, terlambat?

"Kamu terlambat, rasa sukaku dulu, sekarang telah tiada."

Apa? Dulu? Tiada?

"Apalagi yang ingin kamu bicarakan?"

Sudah. Sudah. Tidak ada lagi. Kataku dalam hati.

Beribu kata singgah di lidah. Aku tak mampu memlilahnya. Hanya getaran yang tak tentu di mulut ini. Tak mampu berbicara.

"Kalau sudah tidak ada yang mau dibicarakan lagi, aku pergi, malam ini aku ada pertemuan dengan kekasihku. Jadi..."

"Jadi dulu kamu suka sama aku?" aku menyela peryataannya.

"Ya."

Klek. Semua jiwa di raga ini serasa terlepas. Kulit-kulit yang menyelimuti tubuh melayang ke awang-awang.

Wanita. Yang kusuka. Yang kucinta. Ternyata ia pun mempunyai rasa yang sama denganku. Akan tetapi..., dulu, ya, dulu.

Benar. Cinta memang harus berani. Harus berani menyatakannya.



Afsokhi Abdullah
Kelas XI-AP1 09 Januari 2015.

 Hari, Malam Pertama Pertiwana  

                   
Ini kali pertamaku mengikuti kegiatan Pramuka Nasional. Karena itu, aku jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk ini. Berawal dari kata Pak Adi di depan gerbang ketika aku ingin masuk sekolah pada hari Rabu. 

“Sokhi, akan ada perkemanah nasional, kamu ikut, bisa? Nanti masalah dana akan saya pikirkan.”

Aku mengangguk tidak percaya. Lalu masuk ke dalam kelas memikirkan ini. Perkemahan Nasional...?

Hari berbuah menjadi minggu, pun hingga menjadi bulan. Sedikit demi sedikit perkemahan itu terlihat di depan mata.

Semua persiapan tidak berjalan semulus itu. Ada banyak gajlugan yang menghadang kita. Dari masalah peralatan masak, dana, kendaraan, dan masih banyak lagi tapi, pada akhirnya kita bisa menetralisir itu semua. Yee...

Hingga hari itu tiba. Kita berangkat menuju perkemahan (Buperta Cibubur) dengan mobil Xenia. Ada 8 Penegak dari sekolahku, jadi satu mobil di mobil Xenia yang dipaksa menampung. Aku duduk di antara Debora dan Selvi, cewek yang kukenal kerena Pramuka

Cukup sempit, tapi masih bisa untuk bernafas, itu yang penting.
Sampainya di perkemahan, tepat tenda kami. Kami turun dari mobil. Sebelumnya kami sempat berputar-putar mencari tenda kontingen DKI. Selagi mencari, kami temui tenda-tenda dari penjuru Indonesia, ada dari Papua, Aceh, Sulawesi, Kalimantan, Jawa..., akh, pokoknya dari seluruh Indonesia menjadi satu dalam perkemahan ini. Tenda mereka bagus-bagus. Bagus sekali, tidak seperti DKI yang alakadarnya ini. Biarlah.Huhuhuh.  

Kami sempatkan untuk istirahat. Lalu menuju upacara pembukaan jam setengah tiga siang.
Di upacara pembukaan ini, pembina upacaranya adalah Kak Puan Maharani. Ya, menteri baru kita dari fraksi PDIP.
Ada nyanyian Hymne Satya Darma Pramuka, Indonesia Raya, dan lain sebagainya.

Kami, kontingen DKI berbaris di reklame Brunai Darusalam dan Malaysia. Besebab peserta undangan itu tidak berbaris di lapangan malainkan bersama pada undangan yang lainnya; bersama pembina mereka di bawah tenda.

Samping kananku dari kontingen Papua, kiri, dari Semarang. Sempat kami bercanda gurau dalam barisan. Kau tahu, aku ini orang Jawa, Cilacap tepatnya, jadi, aku bisa berbicara dengan orang Semarang dengan bahasa daerah. Sedikit membuatku bernostalgia mengingat EMA.

Salah satu Kakak dari kontingen Semarang ini cukup lucu. Dia berbahasa ngapak pun ngelawak. Aku terbahak-bahak kerenanya. Lalu di kiriku nampak wajah garang terlukis jelas, aku takut menatapnya bahkan menyapanya. Upacara masih berjalan....

***

Tubuhku serasa bergetar, ubun-ubunku panas, dada serasa penuh ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bayangkan? Dari seluruh Indonesia (setidaknya logat yang berbeda-beda, bahasa daerah berbeda, menjadi satu padu) ketika menyayikan lagu Indonesia Raya. Sempat mata ini berembun dan, akan jatuh butiran airmata. Tapi. Akh, terlalu manja, aku ini kan..., Penegak Bantara.

Berakhirnya upacara ditandai laporan pemimpin upacara kepada pembina upacara bahwa upacara telah selesai.

Berlanjut dengan tari-tarian yang mengadung unsur ajakan mengajak menjaga bumi, hutan, lingkungan dan sebagainya. Keren.
Kembalilah kita ke tanda masing-masing untuk istirahat. Kita pun mendapat Kit setelah upacara. Di antaranya adalah, kau tahu, ada name tag, topi rimba, scraf plus baju (Saka Kalpataru dapat dua), pulpen, dan buku panduan.

Tepat jam setengah enam, kita memikirkan untuk makan malam. Masalah ada di kompor, sedangkan dari kontingen Jak-Bar, tidak ada yang membawa kompor. Tapi, kita ini mewakili DKI, jadi, kita bergabung dengan kontingen Jak-ut, tim, sel, pus..., (ini singkatan arah mata angin).

Akhirnya, diputuskan bahwasanya kompor akan ditaruh di tenda puteri. Jadi, jika kami, putera, ingin makan ya... ke tenda puteri. Jangan salah paham, kami tidak ngapa-ngapain di tenda.
Eh, dengan pemindahan kompor ini, kami jadi lebih akrab. Makan malam pertama pun berjalan dengan hikmat.

***

Ada pentas seni saban malam. Bagus, penyayinya suaranya keren, apalagi waktu bernyayi bersama lagu Bento, Bento... sangat kompak, semua perserta Pertiwana lantang bernyayi. Begitupun aku, dengan ditanduk di atas pundak Ricky, aku bernyayi di atasnya, bergoyang, dan menikmati malam....


Bersambung....
Tunggu episode selanjutnya ya... ^_^
Salam Pramuka...!

Afsokhi Abdulloh (Hang Tuah – 03-049)

Cilacap, 25 Desember 2014