Hilang Begitu Saja

Naskah atau tulisan yang udah ditulis dengan susah payah, penuh perasaan, penuh lika-liku akhirnya hilang begitu saja. Saat itu gue berasa dibanting ke lantai yang berduri. Kalau gue burung, bulu-bulu akan rontok, kalau gue batu, gue akan hancur lulu-lantah seperti tepung yang biasa dipake Abang gue bikin serabi.

Sekarang, gue lagi murung di perpus sekolah. Beberapa buku yang udah gue pilih; baru aja gue baca setengahnya, mereka pun bisu di depan mata. Melihat gue menulis penuh perasaan di hape. Buku itu seperti menarik gue untuk gaib dari masalah ini.

Di perpus suasananya nggak terlalu ramai juga nggak terlalu sepi. Hanya ada penjaga dan anak PKL yang sedang ria bercanda gurau. Suara mereka seperti mencibir gue yang terus murung.

Gue masih diam tanpa pikiran. Merenung dan, entah apa yang akan terjadi detik selanjutnya. Hampa, kosong, letih, sejuta rasa bersemayam di dada. Sebab, tak ada yang di samping gue saat ini. Berharap ada yang datang lalu menepuk pundak gue dan berkata,

''Sabar, lu pasti bisa mengulangi lagi.''

Ya itu hanya harapan. Nyatanya hanya dingin ac yang menyeruak ke sekujur tubuh. Perpus adalah pelampiasan terakhir gue. Sebab di sini, gue bisa lebih dekat dengan cita-cita gue. Gue bisa lebih (agak) semangat melihat kumpulan buku di rak. Di rak, pasti ada karya yang lahir dari tangan para penulis hebat. Dan itu, jelas, cita-cita gue.

BUKU KBBI, BUKU KUMPULAN CERPEN, BUKU TERJEMAHAN TENTANG KREATIVITAS. Mereka hanya bisu, diam tampak murung tak ubah seperti gue sendiri. Aroma buku membuat gue terpacu untuk menyapu kesedihan di batok kepala. Memang, rasanya sudah tak terperikan lagi. Bayangkan, gue sudah menulis saban hari, saban malam, hilang lenyap begitu saja.

Naskah untuk seleksi @kampusfiksi, naskah yang sudah siap diterbitkan di @nulisbuku.com lenyap. Awalnya gue hanya ingin membuat cover buku dari photoshop. Waktu itu gue instal tuh aplikasi photoshop dari temen gue di notebook gue. Awalnya meyakinkan. Namun, gue masih inget betul, ketika ada yang nyabut kabel dari notebook gue dan terus klep mati gitu aja, dari situlah akhir dari kehidupan notebook gue kala itu. Padahal proses instal sedang berlangsung. Ah, yasudahlah.

***

Hal itu sudah 2 hari yang lalu, tepatnya hari Jum'at tanggal 13 Februari 2015. Sungguh, hari itu menjadi hari titik balik gue buat nulis dari awal. Di sisi lain, itu membuat gue belajar. Di mana gue harus lebih detail lagi dalam menyimpan data. Besok-besok gue bakal beli flashdisk untuk nyimpen tuh naskah. Tapi duit tak kunjung juga kumpul.

Sudah jelas naskah gue yang udah gue tulis nggak bakal balik lagi. Sebab, gue simpan di data C semua. Kan kita tahu, bahwa kalo notebook dan sebagainya kalo diinstal ulang, pasti akan hilang data C-nya. Ya..., gue bisa kok mengambil hikmahnya, seperti kata Winda kala itu, ''Ambil hikmahnya aja....''

Di perpus ini gue bisa tenang bernapas. Bisa mengingat kala-kala di mana gue remuk. Jum'at itu gue duduk di bangku biasa, diam, lalu entah kenapa mulai merasa 'nelangsa' dan akhirnya menangis sedu-sadan. Tak sanggup gue manahan isak. Gue menulis apa yang gue rasa waktu itu ke kertas putih. Gue tulis semuanya penuh perasaan, sampai-sampai gue kira nggak ada ujungnya.

Gue berhenti ketika, Ratna, dateng menghampiri gue, mencolek bahu gue lalu berujar,

''Kenapa Khi? Gara-gara gue yah...?'' tanyanya dengan suara yang sudah gue hafal betul.

Gue diam sejenak, lalu membalas,

''Nggak kok. Itu data yang ada di notebook gue ilang semua, ilang.''

Entah, Ratna mendengar atau tidak. Soalnya gue masih dalam keadaan menangis. Lama ada hening. Ratna masih berdiri di samping gue, sebab nggak ada bangku. Erika pun mengambil inisiatif untuk mengambilkan bangku untuk Ratna. Ratna pun duduk di samping gue. Gue mulai merobek-robek apa yang udah gue tulis di kertas tadi. Ratna hanya diam-diam melirik ke kertas itu, dan dia masih bermain handphone-nya yang lebih besar daripada genggam tangannya.

Kecil-kecil robekan itu sampai tak bisa dirobek lagi. Setelah gue kira tulisan di dalam kertas itu hancur. Segera gue remas sekuat tenaga dengan menahan isak yang menggebu di dada.

Tiba-tiba Ratna berdiri lagi lalu berkata,

''Ven, lu bisa kali Ven!'' suaranya menguasi kelas. Gue sontak seperti anak kecil yang tak dibelikan mainan oleh Ibunya.

''Percuma, na,'' sela Bagus, ''itu mah ilang datanya...!''

Ratna kembali hening. Gue menarik tas sampai ke pipi lalu disenderkan sampai gue seperti tertidur dan tas menjadi bantalnya. Seengganya gue menjadi lebih tenang ketika ada Ratna di samping gue. Dia wanita yang perhatian banget sama gue. Dari sebelum jadian sampai jadian saat ini. Cuma saja, dia nggak suka ngomong. Dia lebih ke perbuatan yang mengandung unsur perhatiannya. Dia wanita tulus, beberapa sahabatnya pun sayang sama dia. Gue tahu itu dan, itu nyata.

Lama Ratna masih bertahan di samping gue. Dan masih memainkan handphone hitam lebar sampai memamakan jari-jemarinya yang kecil.

Gue hela napas keluar-masuk untuk menenangkan dan melapangkan dada. Isi dada gue sudah lumayan nggak nelangsa lagi. Tapi, ketika membayangkan orangtua gue, gue manjadi sedih lagi. Gue sudah menulis target bahwa, dalam waktu dekat ini gue akan menerbitkan buku dan royaltinya gue serahkan ke orangtua gue semua. Dan gue pun sudah bertekad untuk nggak pulang kampung sebelum membawa tulisan gue yang sudah menjadi sosok buku. Ini target, dan sekarang target itu harus gue ulang lagi dari awal.

Tekad dan target itu adalah salah satu penyemangat gue untuk menulis tiap malam, Ratna pun ikut andil di dalamnya. Dan semangat juga harus gue ulang lagi, di mana gue harus memupuk lagi semangat itu dari 'nol', gue nggak mau larut dalam kesedihan ini terlalu lama. Baiklah, gue bakal mulai dari awal sambil menunggu notebook diinstal ulang yang kabarnya masih sulit dilaksanakan. Sabar, ya, sabar. Orang sabar selalu bersama Allah, kata Ratna.

Beberapa orang pun ikut nyemangatin gue. Oh,... Terima kasih. Dalam tiap sujud pun gue berdo'a, agar selalu berkarya yang lebih baik.

Perpus lamat-lamat ramai. Gue pun nggak konsen lagi buat nulis. Maka, gue akhiri tulisan ini.

Pelajaran amat banyak gue lahap dalam masalah ini. Ya, ambil hikmahnya lalu bersabarlah.***

Afsokhi Abdullah
16 Februari 2015, Perpus SMK N 11 Jakarta.

Jawaban Bagi yang Nanyain Madingnya11

Kenapa mading sepi? Kenapa edisinya nggak ganti-ganti? Apakah udah pada bubar redaksi mading di sekolah?

Pertanyaan ini bukan saja timbul di benak Anda. Sama, saya juga.

Untuk menjawab pertanyaan di atas. Mari kita simak tulisan di bawah ini, baca sampai habis yah..., biar jelas :)

1. Masalah yang paling terlihat jelas adalah mengenai dana. Awalnya, pembina kami, Bu Venty, menyatakan bahwa akan ada dana sebesar 12 Juta. Untuk pendanaan Mading dan jurnalistik.

Namun, pada kenyataannya, itu hanya isap jempol belaka. Terakhir saya diberitahu oleh beliau bahwa dana diperbulat, lebih tepatnya diperkecil menjadi 3 juta. Dan dana turun pada bulan Maret ini. Saya tidak bisa menggugat tentunya.

2. Anggota. Anggota mading hanya berisikan beberapa orang saja. Bisa dihitung jari. Sedangkan Mading di sekolah kita banyak. Awalnya kita 'ingin' mengadakan 'patungan'. Namun sulit. Jika pun dijalankan, uang yang terkumpul tidaklah cukup. Lagi pula sudah ada yang menjanjikan akan ada yang mendanani, bukan?

Bahkan pada pertemuan pertama Mading. Pembina menawarkan akan adanya komsumsi dan lain sebagainya untuk ekskul ini.

3. Tempat dan waktu. Mengerjakan mading di rumah masing-masing. Oh, ini tidak mengasyikan. Seharusnya mengerjakan mading itu bersama-sama. Dengan mengerjakan mading masing-masing, hasil tempelnya akan tidak menarik. Ada kesan tidak kompak di sana.

Nah, maka dari itu, kami ingin menjadwalkan mengerjakan mading di hari-hari di mana bisa berkumpul bersama dan mengerjakan semua. Ekskul sekalin silaturahim.

Sebenarnya tidak hanya mading yang dijanjikan dana. Ekskul jernalis pelajar pun jua. Untuk ekskul jurnalis ini, kami akan aktif memburu informasi di sekolah serta luar sekolah. Ini menimbulkan siswa menjadi peka terhadap lingkungan sekitar (setidaknya). Selain itu, ekskul jurnalis ini juga akan berperan serta/berguna bagi sekolah dalam hal penyebaran informasi pun promosi sekolah.

Wah, terbayang bukan? SMK 11 mempunyai jurnalis pelajar...!

Semua ini jelas tidak mudah untuk diwujudkan, tidak hanya semalaman. Kalo kita nanem tumbuhan aja harus menunggu bertahun-tahun, bukan? Habis itu baru bisa dinikmati buahnya. Ya sama dengan project jurnalis ini.

Nah, siapa nih yang mau jadi bagian jurnalis pelajar SMK 11!? Moga aja banyak yah. Selain di dunia nyata, kami juga aktif di maya; di twitter, blog lho....

Akhirnya, itu jawaban untuk kalian yang nanyain di mana mading. Intinya ya kita harus sabar yah, di balik kesabaran itu, semoga, ada hal yang lebih baik daripada terburu-buru.***

Afsokhi Abdullah
Kosan, 15 Februari 2015

Menyikapi Valentine (Catatan Seorang Remaja)

Empat belas Februari datang. Kabarnya, hari Valentine pun tiba. Di sebuah negeri yang kuambah ini ada banyak yang menolak secara keras dan merayakan senang-senang. Darimana saja terberitan bahwa hal itu menjadi topik menarik tiap orang. Dan baru-baru ini, berbeda dengan tahun sebelumnya, kian banyak yang menolak hari Velentine atau hari kasih-sayang itu.



Ada pula yang mengsulkan empat belas Februari menjadi hari perdamaian tawuran pelajar, dan lain sebagainya yang berbau kasih-sayang. Di media sosial, ada yang berfoto bersama secarik kertas dan tertulis di sana tentang penolakan Valentine. Yaa entah, mereka itu menolak atau hanya ikut arus belaka. Ada pula yang ditanya apa itu Valentine, mereka tidak tahu, padahal merayakan. Negeriku banyak orang yang mengikuti arus saja dan tenggelam di hulunya.



Lebih heboh lagi, ada yang terjaring razia di hotel-hotel atau di tempat biasa pasangan pra nikah bercokol. Hasilnya fantastic, di sebuah berita di katakan, ada ratusan pasangan yang terjaring razia itu bahkan, ada yang membawa narkoba. Mungkin itu pelampiasan dari hari kasih-sayang?



Negeriku mempunyai banyak agama. Orangnya banyak yang berbeda-bada. Bayangkan, negari yang luasnya sampai jauh sana, berjajar ribuan pulau, ya tentu susah untuk menyatukan kepala mereka.



Ada yang saking kerasnya menolak. Mereka berdalih bahwa hari kasih-sayang adalah setiap hari, setiap saat. Namun, mungkin, dengan cara yang salah menjadi ada masalah.



Alangkah baik. Kita saling bertoleransi dan, mengahargai tiap pendapat orang walau sulit, namun meningat hidup di negeri yang beragam ini, yo mari kita pecahkan masalah dengan kepala dingin.

KAN: +.+ = - (baca: plus kali plus sama dengan min).***





Afsokhi Abdullah

Di kelas tanpa guru, 17 Februari 2015

''Sepasang Kekasih Seharusnya....'' (Catatan Seorang Remaja)

Sepasang kekasih tidak serta-merta saling kasih dan betul-betul mengasihi dari segala aspek kehidupan terlebih lagi, akhirat. Apalagi yang sudah bukan dalam hal berkata, akan tetapi perbuatan yang tidak senonoh; dan tidak senada dengan ajaran agama. Banyak pula sepasang kekasih mengasingkan ajaran agama ketika berdua: buta hatinya. Saling menatap mata, berpegang tangan atau bahkan sampai ke tingkat yang berbahaya. Sehingga terbitlah penyesalan yang tak terperikan di akhirnya.

Seharusnya kita sadari bahwa, semua apa yang kita lakukan itu mempunyai akibat. Sepasang kakasih kebanyakan buta beralasan cinta. Anda mempunyai kekasih?

Sepasang kekasih seharusnya saling kasih. Seiya-sekata dalam perbuatan baik. Banyak pasangan kekasih yang seiya-sekata namun tidak berbuat baik. Terlebih di ranah remaja; darah muda, usia tanggung. Katanya cinta, namun ya hanya ucapan kata saja. Agama? Tak usah dipikirkan ketika dimabuk (hanya) oleh kata-kata cinta yang kosong isinya.

Memang, yang namanya cinta sekonyong-konyong datang mengetuk dada lalu kita terima begitu saja dengan lapang. Apalagi jika 'dia' sedap dipandang mata, bergetarlah tubuh ini.

Paling riskan penafsiran cinta yang tidak senada dengan agama adalah remaja. Sudah tampak di mata, bagaimana remaja bercinta. Saling adu kasih-sayang setiap waktu dan setiap saat dengan cara apa pun. Bisa dengan mem-posting segala kegiatannya bersama kekasih di sosmed yang tidak senonoh. Hal ini sepertinya sudah wajar-wajar saja. Mengikuti budaya barat padahal kita berbudaya timur.

Semua agama mengajarkan kebaikan. Mengatur semua ranah kehidupan, dari kita membuka mata di pagi hari sampai menutup mata di malam kelam bahkan sampai akhir hayat, semua diatur. Terlebih lagi mengenai cinta lewan-jenis. Sepasang kekasih banyak yang tidak tahu ini, hingga akhirnya (bisa saja) menyesal jika hari itu tiba. Berasalan cinta, namun berujung dosa.

Sabda Nabi Muhamad SAW: ''Sekiranya kepala salah seorang daripada kamu
ditusuk dengan jarum besi, itu adalah lebih baik bagi
kamu daripada kamu menyentuh wanita yang tidak
halal bagi kamu.'' (Hadis Riwayat ath-Thabrani. Dinilai
sahih oleh al-Mundziri, al-Haitsami, dan al-Albani).

***

Berpegangan tangan, berciuman, berpelukan sepertinya sudah menjadi rahasia umum lagi bagi remaja yang mempunyai kekasih. Bisa dikata itu adalah pelampiasan dari rasa kasih-sayangnya, pelampiasan dari rasa rindu yang menggebu. Kebanyakan, rasa rindu ini menjadi sisi yang mudah untuk dimasuki 'setan'. Di mana ketika rindu kita akan mengungkapkan rasa yang menggunung di dada. Rasa yang bergejolak dan ingin melampiaskan jika bertemu. Terkadang kata yang terucap ketika merasakan rindu mengandung unsur yang tidak etis lagi. Sampai-sampai ada yang berhubungan fisik lebih jauh sebab rindu. Bagi mereka yang bersuami-istri jelas tak masalah. Jika terjadi di ranah remaja, apa bukan masalah lagi? Tentu ini PR besar bagi kita semua.

Remaja yang seharusnya berada di masa emasnya, masa jayanya, bisa-bisa hancur karena hal itu. Sebaiknya rasa di dada ketika melihat lawan jenis itu harus dibarengi dengan agama. Alangkah baiknya kita saling mendo'akan orang yang kita cinta, suka, sayangi. Alangkah indahnya jika kita menjaga kesucian orang yang kita sayangi. Yang paling indah adalah: saling rindu di tempat yang berbada dan, saling mendo'akan dalam sujudnya.

Rasa cinta sah-sah saja berada di lubuk hati setiap orang. Toh, tanpa cinta kita tidak bisa hidup. Allah cinta sama kita, maka, kita pun harus cinta kepada Allah dengan menjalankan ajarannya dan menjauhi larangannya.

Seharusnya sepasang kekasih sadar. Untuk tidak melanggar agama Allah yang sangat mencintainya. Alasan cinta kepada lawan jenis, tak mesti pula (bisa sampai) melanggar ajaran agama dan, berbuah dosa.

Melihat sekarang ini. Susah untuk ditelaah dan diuraikan satu-persatu untuk menjelaskan bahwa sepasang kekasih harus diselipkan agama di dalamnya. Sepasang kekasih adalah orang yang saling suka, sayang, kasih, dan berbagi satu sama lain. Tak mesti juga karena itu, sekali lagi, melenceng dari agama.

Kuatkan hati. Sertakan agama di setiap kehidupan kita, setiap detik, setiap napas.***


Kosan
Minggu, 14 Februari 2015

Renungan Anak SMK Kelompok Manajemen Bisnis



Pelajaran di kelas dimulai. Kali ini pelajaran ekonomi, dan menyangkut pembangunan ekonomi. Jika berbicara mengenai ekonomi, anak SMK kelompok manajemen bisnis nggak pernah bosen pastinya. Mau nggak mau ya harus nelen kan? Iya emang.

Nah, kali ini guru saya menjelaskan panjang lebar mengenai pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi itu berbeda. Lebih tepatnya, kalau yang pertama untuk negara berkembang dan yang ke dua untuk negara maju. Kalo masih nggak mudeng baca ulang paragraf dua deh yah.

Namun hari ini kita akan membahas mengenai pembangunan ekonomi. Ya, sesuai negara kita ini, Indonesia yang sedang berkembang dan entah sampe kapan terus berkembang.

Saya bertanya kepada guru saya ketika beliau menjabarkan apa-apa yang akan dipelajari di kelas hari itu. Setelah dijabarkan, saya tidak menemukan adanya masalah-masalah di pertumbuhan ekonomi (negara maju), yang ada hanya masalah perkembangan ekonomi. Sontak membuat saya bertanya,

''Bu,'' nama guru saya Ibu Besty, ''apakah di negara maju yang tumbuh ekonominya nggak ada masalah!?''

Sepersekian detik bu Besty tarik napas dan angkat bicara,

''Tentunya ada, Sokhi. Di mana kita mempelajari ekonomi sesuai keadaan negara kita. Kalau di negera maju sana, pasti mereka belajar ekonomi pertumbuhan. Jadi mereka berpikir harus bagaimana untuk mempertahankan ekonomi terus tumbuh, dan sebagainya. Bukan tanpa masalah. Hanya saja pembelajaran kita berbeda, mereka petumbuhan dan kita perkembangan. Intinya, belajar ekonomi sesuai keadaan negara.''

Saya pun paham. Ternyata begitu....

Guru ekonomi yang satu ini memang dan emang mempunyai jiwa kewirausahaan yang tinggi. Beliau mempunyai usaha di rumahnya (online shop) dan menjadi second line di perusahaan asuransi mobil. Pekerjaannya hanya di depan laptop, itu saja sudah bisa menerbangkan beliau beserta anak dan suaminya ke luar negeri.

''Sekarang, seharusnya anak SMK juga harus mempunyai jiwa kewirausahaan,'' ujar Bu Bes panggilan akrabnya, ''tanya kepada guru kewirausahaan kalian: bagaimana menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Nih ya, Ibu nggak modal banyak buat usaha di rumah. Cukup laptop, hape, dan pulsa. Kalian juga bisa seperti ibu. Tapi yaa..., tidak online shop juga, ngga harus asuransi juga.''

''Kalian ini lulus SMK pasti mau bekerja, kan?'' tanya Bu Bes kepada seluruh muridnya yang kini diam mendengarkan penjelasan tadi. Semua pun mengangguk jawban 'iya' untuk lulus dari SMK mau bekerja.

''Nak,'' papar Bu Bes, ''negara kita ini butuh wirausaha-wirausaha muda. Coba, ada tidak di antara kalian menjawab untuk lulus dari SMK bakal menjadi pengusaha dan membuat lapangan usaha lalu memperkejakan orang banyak?''

Kelas sunyi, tampaknya semua sedang merenung. Bu Bes kembali melanjutkan,

''Nggak ada yang jawab, kan? Di luar sana banyak orang butuh lapangan pekerjaan, nak. Oke lah kalian unggul di TIK, orang yang jadi kuli panggul mana bisa TIK. Nanti kalian 'kalo' kerja bakal dikasih komputer dan ruangan sendiri. Tapi, sekali lagi, kalian harus mempunyai jiwa kewirausahaan!''

Ya, benar juga apa kata Bu Bes. Kita lulus dari SMK pasti ingin bekerja bukan membuka lapangan pekerjaan. Tapi, kenapa sekolah mempersiapkan tenaga ahli untuk bekerja bukan untuk mempersiapkan pengusaha ahli untuk membuat lapangan usaha. Entah.

Andai saja begitu, lulus anak SMK semua membuka lapangan usaha dan memperkejakan orang banyak. Wah, kerennya negeri ini. Bisa-bisa mengalahkan Jepang kali yah.

Tapi apakah ada anak SMK yang berpikiran sama seperti saya untuk kali ini. Jadi, anak SMK nanti khususnya jurusan manajemen bisnis lulus akan membuka usaha dan memperkejakan orang banyak. Wah..., keren.

Saya juga masih bertanya-tanya, bagaimana untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan.

Selama saya belajar mata pelajaran Kewirausahaan dari kelas satu sampai kelas dua ini. Kebanyakan adalah teori, dan membuat kerajinan tangan, itu saja. Sama sekali tidak mengeluarkan jiwa kewirausahaan menurut saya. Apalagi pelajaran yang baru-baru ini mengenai budi daya ikan. Dalam pada itu, siswa hanya dibuat berkelompok, mencari materi mengenai budi daya ikan, mempresentasikan dan lalu sudah. Itu saja. Entah guru Kewirausahaan yang tidak sesuai prosedur atau apalah, entah.

Menurut saya belajar seperti itu sama sekali tidak mengembangkan jiwa kewirausahaan.

Nilai rapot saya di mapel kewirausahaan adalah A+, A, dan SB. Ya, ini nilai yang sangat memuaskan bagi saya. Namun hanya nilai, itu saja tidak lebih dari cukup. Jadi nggak jadi memuaskan deh.

Saya tidak tahu bagaimana mengembangkan kewirausahaan. Kalau saja hanya membaca, tidak shahih rasanya. Saya butuh penjelasan langsung dari guru. Secara lisan dan jelas.

Dan saya tidak akan lupa untuk bertanya kepada guru kewirausahaan saya, ''Bagaimana cara mengembangkan jiwa kewirausahaan!?'' begitu.

Tampaknya sudah selayaknya sekarang anak SMK khususnya bisnis manajemen bisa turut andil di pembangunan ekonomi. Sebentar lagi AFTA akan menukik di Indonesia dan orang Indonesia meluas di Asia Tenggara yang katanya bebas. Jadi, yo Mari kita bersaing dengan negara asing. Memupuk tekad penuh kesadaran menapak masa depan untuk Indonesia Raya yang lebih cerah. Demikianlah renungan anak SMK kelompok Bisnis Manajemen, mungkin masih banyak lagi di luar sana. Dan mungkin belum berani menuliskannya atau..., hanya pasrah akan keadaan pendidikan di Indonesa.***


Afsokhi Abdullah
Kosan kecil, 11 Februari 2015.

#JakartaBajir Brohh. Apa yang lu lakuin!?

Sebenernya gue nggak betul-betul ngarti sih ya. Bagaimana banjir bisa terjadi dan menjelaskan dengan ilmiahnya, karena gue nggak pernah belajar itu dan mungkin nggak akan pernah. Yang pernah gue pelajari cuma proses hujan yang pada dasarya air laut kembali ke air laut. Tapi kok ini kaga yah, malah air betah berlama-lama di penghunian dan mungkin dia caper. Soalnya di mana-mana mengabarkan kalo air sudah tinggi dan itu tandanya banjir broh...., dia jadi tranding topic pula.

Oh iya. Kan waktu gue belajar dulu..., itu ada yang namanya penyerapan. Ya jadi itu semacam pohon lah katakanlah, pohon itu bisa menyerap air dan bisa menjadi cadangan air di dalam tanah. Tuh, hujan bersahabat bukan sama kita? Udah dikasih subur tumbuhan, dikasih cadangan air pula. Buat mandi dan BAB broh..., kalo nggak ada air lu mana bisa mandi, dan lu pasti jelek kalo nggak mandi, kan?

Tapi kenapa banjir ini terjadi karena banyak banget pilihannya. Ada yang bilang drainase yang tidak berfungsi, pompa yang tidak berfungsi karena mati listrik dan lain sebagainya. Kenapa ya broh?

Ironisnya, banjir sudah menjadi langganan di Jakarta. Pada hari jauh sebelum banjir datang, gue melihat kali dikerukin, rumah digusurin, dengan dalih mencegah banjir nantinya. Namun apa semua itu kita rasakan? Apa manfaatnya? Banjir ya tetap saja banjir. ''Kalo nggak mau kebanjiran ya jangan di jakarta luh.'' begitulah kata yang menjadi tren kalau banjir datang. Setidaknya kata itu menerbitkan gelak tawa. Ya, gelak tawa, bukannya mikir gini, ''Aduh, kota gue kebanjiran tiap tahun. Apa yang telah gue lakukan. Apa salah gue, salah ade gue, ibu, kakak, abang, ayah, dan semuanyaaa!?'' lalu merenung dan mendapatkan inovasi. Andai ada seribu orang aja yang merenungi, paling nggak banjir nggak parah-parah amatlah. Soalnya mereka sadar kalau banjir juga disebabkan oleh mereka juga. Bener kan broh? Lu coba deh ya.

Kebanyakan orang akan angkat bicara mengenai banjir ketika banjir saja. Sebelumnya mana mereka sadar. Buang sampah sembarangan, mau sampah plastik ato sampah apa aja digabung jadi satu sampai tong sampah kekenyangan dan tidak bisa menampung dan luber menjadi pemandangan di setiap sudut kota. Ini kota lu broh, masak sampah di mana-mana?

Terlebih lagi, ada yang buang sampah di kali. Kabarnya karena tong sampah yang jauh dari jangkauannya. Kali menjadi alternatifnya. Apa salahnya? Wong kali yang paling deket dan di kali juga udah seperti sampah. Hitam legam, bau, dan mengalir tersendat-sendat seperti orang tua lagi bengek. Mungkin kayak orang yang kecanduan ngerokok lah gitu? Lu nggak kan broh? Kalo gue sih enggak.

Entah, sudah beberapa pemimpin yang sudah memimpin negeri ini, khususnya Ibu Kota yang langganan banjir ini. Kalo Jakarta bisa ngomong, apa yah yang dia omongin, mungkin gini, ''Hai orang-orang yang udah nempatin gue. Rawat nih gue. Gue tempat di mana lu berpijak, tempat lu cari duit, e, lu malah nggak ngurusin gue. Lu kira gue apaan, hah!? Gue juga butuh kasih sayang..., jangan sampe gue marah nih. Kalo gue marah, gue bakal minta kirimin air yang lebih banyak dari ini dari Bogor! Jadi, rawat gue geh. Gue udah bosen jadi kota yang kebanjiran tiap tahunnye. Aduh, gue juga malu. Kemaren masak gue dicap jadi kota termacet dan tertidak aman di dunia. Gue malu, gue malu woy!'' lalu Jakarta menangis sedu sedan.

***

Mungkin bagi beberapa orang banjir sudah menjadi takdir, terima apa adanya saja, toh pas udah nggak banjir nggak diomongin lagi, kan? Begitulah. Ganti tema..., bisa aja tentang korupsi dan narkoba kalo udah kering nih Jakarta. Semoga lu kagak yah broh.

Pembuang sampah sembarangan baru-baru ini dihakimi di pengadilan dan didenda. Beberapa di antara mereka banyak yang sudah kapok. Baru-baru ini pula cctv akan disebar di seluruh pelosok Jakarta untuk memantau warganya yang bertangan nakal, maunya buang sampah sembarangan. Ya, baru-baru ini saja, setelah banjir sudah ancang-ancang tak jauh dari mata memandang dan siap menerjang. Moga lu kaga kena terjang yah broh.

Orang beruang bisa saja bercokol di atas rumahnya atau kantornya yang mencakar langit. Berbeda dengan orang tak beruang, menyatu dengan air yang menyatu pula dengan kotoran manusia dan lain sebagainya yang kabarnya bisa menimbulkan banyak penyakit. Orang tak beruang tak memikirkan penyakit, mereka malah berenang ria di genangan air. Sehabis itu? Baru ada yang sakit, bahkan meregang nyawa diseret arus.***


Afsokhi Abdullah
Terkepung Banjir, Jakarta 11 Februari 2015

Air Mata dari Sebuah Rumah Berbilik Bambu

          

Di sebuah kampung yang sunyi. Mentari telah menyingsing di ufuk timur,  embun baru saja diusir oleh mentari. Sekarang reremputan agak terlihat gagah, dan pohon bergoyang sedikit-sedikit ke kanan-ke kiri dengan lihai. Menikmati alam yang asri.

          Tapi lain dengan sebuah rumah dengan bilik bambu sebagai dindingnya, kayu tua menjadi tiang, dan tak berlantai. Hanya sahaja tanah hitam menjadi pijakan kaki. Tampak seseorang sedang memperjuangkan hidup-matinya. Di kampung ini, rumah sakit amat jauh jaraknya. Belum lagi melewati jalanan yang banyak lubang besar dan tak beraturan. Terlalu bahaya untuk seorang Ibu yang akan melahirkan dilarikan ke sana dan di atas sana.
          Sebab itu, dukun bayilah yang sangat dipercaya untuk persalinan.
  
        Seorang Ibu masih menahan sakit yang teramat sakit, menyayat perutnya, tubuhnya menggelinjang, keringat beranak sungai di dahinya. Dalam perjuangan hidup-matinya..., akhirnya bunyi-bunyian tangis dari cabang bayinya merekah. Tampaklah seorang bayi lelaki lahir, mengisi bumi yang siap mendekapnya.

                                                          ***

Beberapa hari setelah kelahiran itu. Banyaklah orang berdatangan untuk muyen1. Padahal rumah ini sudah tidak muat lagi jika dipaksa untuk menampung banyaknya orang yang berdatangan membawa parem, selimut, dan barang-barang bayi.

          Bayi itu telah mandapatkan nama akhirnya: Arbi Choirul Umam. Kini ia masih tertidur pulas dalam dekapan Ibunya. Terbuai ia, dan hanya melihatkan tatapan kosong.

          Waktu terus berjalan walau tak punya kaki. Hari berbuah minggu, minggu melahirkan bulan bahkan detik pun bisa mengubah tahun. Arbi kecil tumbuh. Seperti bayi biasa, hanya saja Arbi tampak kepalanya lebih besar dibanding bayi pada umumnya.

          Banyak yang mengira bahwa itu kelainan, penyakit, dan lain sebagainya. Namun, jika memang itu penyakit, pastilah akan memberikan tanda-tanda gajil. Hingga sampai saat ini, tanda itu tak tampak adanya.

          Tatkala Arbi diselimuti kain batik cokelat dan ada warna emas di antaranya, ia terselimuti sampai tenggelam dan hanya menyisakan kepalanya sahaja. Agar mudah bernapas tentunya. Dalam pada itu ketiga kakaknya mencoba menghiburnya dengan memperlihatkan ekspresi muka yang berubah-ubah.

          “Cilup, bah....”

          “Nang-ning-nang-nang-ning-nung....”

          “Cilup, bah....”

          Tak luput pula neneknya ikut ambil andil menimang-nimangnya. Banyak juga bibir telah terjun di kedua pipinya. Gemas adalah alasan yang sering terlontar. Tapi tak sampai hati jika mencubitnya.

                                                              ***

          Kampung yang damai itu seperti biasa menyapa setiap penghuninya dengan ramah dan deru angin mesra. Embun tampaknya enggan untuk diusir mentari, ia masih bercokol di dedauan, rumput dan atap rumah.

          Rasanya ada yang ganjil untuk hari ini. Miks mushola dinyalakan, kabar sudah menyebar. Semua mushola mengabarkan bahwa ada seorang wanita meninggal dunia, pagi hari tadi.

          “Innalilahi...., Innalilahi...” beberapa orang tak kuasa mendenger kelanjutannya.

          Airmata terjun dari berpasang-pasang pelupuk mata. Terlebih lagi airmata dari sebuah rumah yang berbilik bambu, bertiang kayu tua dan tak berlantai itu. Ibu Arbi telah meninggal. Bersebab terserang penyakit. Akh. Wajah orang yang meniggal itu tersenyum, rasanya dia masih dalam keadaan tertidur dan bermimpi manis.

          Tak lama kemudian. Orang berjubal datang ke rumah itu. Sosok mayit telah terbujur kaku tak berdaya. Pemandian sedang berlangsung, beberapa orang menangis sedu-sedan dan beberapa lagi menahan isaknya.

          Arbi kecil hanya diam seribu kata. Tak mungkin ia mengerti akan hal ini? Kalau memang dia mengerti, kanapa ia tak menangis mengikuti ketiga kakaknya sanak keluarganya?

          Kain kafan telah siap, dibungkuslah mayit itu. Dan setelah rapi, disholatinya dengan jamaah yang luar biasa banyaknya. Membeludak sampai ujung sana.

           Keranda menunggu untuk diangkut. Jauh dari sini, kuburan sedang digali. Setelah siap, keranda pun diangkat membawa mayit. Empat orang memikulnya dengan gagah, berjalan dengan cepat sampai kuburan yang jauh tempatnya.
         
       Sampailah di pamakanan. Saat mayit mulai dimasukan ke liang lahat, tangis tak terbendung lagi, banjir airmata. Akh. Tenang, semua orang mengalami hal ini. Yaa..., entah, waktu yang akan menjawab atas izin Allah.
          
          Usahlah menangisi kematian.  
          
                                                 ***

Beberapa tahun setelah sepeninggalnya Ibunya, Arbi kecil mulai tumbuh menjadi anak yang riang dan suka bermain. Dia muali kritis pada semua keadaan. Pada suatu hari, ia bertanya pada kakak perempuannya yang masih kelas 2 SMP.

          “Ibu di mana, kak?” tanya Arbi dengan entangnya.

        Perempuan di hadapannya bergeming. Tak menjawab segera. Malah, matanya mulai panas, berembun, lalu tumpahlah airmata.
          
          “Kakak kenapa?” tanya Arbi lagi.

          Tanya Arbi hanya mendapatkan jawaban tak bersuara. Di hati kakaknya mungkin tersayat hebat. Tak terasa Arbi telah tumbuh besar, dan..., jauh dari kasih sayang Ibu.

          Tapi, banyak yang peduli kepada Arbi. Ketika ia mulai sekolah MI (setingkat SD), banyaklah orang yang ingin membantunya. Dan jika lebaran tiba, ia bisa mendapatkan banyak sekali baju baru, uang, bahkan petasan.

          Ayah Arbi terus bekerja sedemikian rupa. Tak lelah memanjat batang pohon kelapa yang kasar, berjuang mendapatkan badeg2 lalu dijadikanya gula Jawa yang manis. Walau pada akhirnya dia terjangkit penyakit usus buntu. Sebab itu, dioprasinya sampai menghabiskan banyak uang.

          Dan ketika Ayah Arbi sembuh dari penyakitnya, ia hanya menderesi3 pohon kiwel. Hasilnya tak seberapa, namun cukup untuk membiyayi anaknya sekolah dan makan saban hari.

Anaknya yang pertama, Maskur, pun tak hanya berpangkutangan. Ia sadar menjadi anak yang paling besar. Tidaklah mereka mengandalkan uluran tangan orang lain.

Tapi, tetap saja mereka tak justru berkembang dan keluar dari keadaan yang itu-itu saja. Rumahnya terus dibiarkan berbilik bambu, jika malam hari tiba, angin akan amat terasa sampai menyellinap ke tulang. Atap rumah banyak yang bocor. Pondasi rumah makin hari makin terkikis air bah. Tiangnya menjadi santapan rayap.

                                                ***

Arbi kini kelas 4 MI. Kabarnya, Arbi bisa mengoprasikan handphone, yaa..., walau pada akhirnya handphone itu rusak olehnya. Ya, Arbi kecil sangat kritis dan selalu mencoba hal baru yang menarik baginya.

          Tatkala Ayah Arbi dikenalkan kepada seorang janda, kini hidupnya agak terlihat lebih ceriah. Dia menjadi akrab dengan handpone, sering pula menelepon dan ditelepon oleh kenalannya itu. Banyak pula yang prihatin padanya sebab menjadi duda.

       Setelah anak perempuannya lulus dari pesantren setingkat SMA. Tak lama kemudian ia dilamar oleh seorang pria yang siap menanggung hidup perempuannya. Hingga pada hari yang berbahagia, anaknya itu menikah. Agaknya beban hidupnya tertutupi. Tidak lagi membayar bulanan sekolah. Sekarang anaknya hidup bersama pria yang bertanggung jawab, gagah, dan dewasa.

          Sebab itu, Ayah Arbi yang masih dalam proses perkenalan kini agaknya tampak tanda-tanda ke arah serius. Dan benar saja, tak lama setelah pernikahan anaknya, ia pun menikah dengan seorang janda beranak satu itu; kenalannya.

          Tidak terlalu jauh jarak rumahnya dengan istrinya yang kini. Kadang ia ke rumah istrinya membawa serta anaknya, dan kadang pula istrinya datang ke rumahnya. Begitulah.

          Kini Arbi pun tak terlantar lagi. Ia telah mempunyai Ibu baru yang perhatian padanya. Ia juga tak kering keronta lagi akan kasih sayang Ibu; ia lebih terurus dari sebelum-sebelumnya.

                                                          ***

          Ayah Arbi tak sembarang memperisitri anak orang. Istrinya kini mempunyai usaha, dan anak dari istrinya itu bekerja di negeri jiran Malaysia. Saban bulan mengirimkan uang. Bekerjanya pun bukan menjadi pembantu rumah tangga, namun bekerja di kantoran. Pernah suatu saat Ayah Arbi ditawari dibelikannya motor. Namun ia menolak, agaknya motor lusang miliknya itu masih bisa menepaki jalan yang tak beraturan dan banyak lubang di sana-sini di kampung ini.

          Senja kini menjadi saksi keluarga baru yang berbahagia. Deru anginnya menyejukan tenggorokan yang kering, awannya memberikan perlindungan, cahanya sepuh, setelah seharian berpijar di angkasa. Pohon bergoyang dengan ikhlas. Lambat laun, malam tiba, pijar matahari sudah berpindah dari tempat ke tempat tak kenal lelah. Dalam kegelapan, pasti ada yang takut, dan ada yang berakhir.***


[1] muyen: kunjungan orang ke rumah orang yang baru saja melahirkan bayi. Biasanya mereka yang datang memberikan peralatan bayi, doa’a serta ucapan selamat.

[2] badeg: adalah getah dari pohon kelapa, adanya di atas pohon, tapat di bunga yang baru merekah.

[3] menderesi: kegiatan untuk mengambil getah itu sendiri. Pekerjaanya disebut dengan penderes.
[4] kiwel: bukan kiwil. Kiwel adalah buah berwarna cokelat. Pohonnya tumbuh di tanah yang berair asin tak terlalu dalam. Tumbuh di tepian sungai, kali.

NB: CERPEN INI TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA.

Afsokhi Abdullah
Tengah Malam di Kosan, 02 Februari 2015


Maskur


       

   Daun Kiwel

 Arbi.

 
JALAN YANG BERLUBANG DAN BERLIKA-LIKU.