Relawan



Ketika kamu merasa hidupmu berhenti dan di sekitarmu dunia terus berjalan, sepertinya kamu perlu untuk melihat lebih lebar lagi tentang hidup ini. Aku sering merasa bahwa hidup sangat membosankan dan tidak ada artinya. Ya tentu saja, jika kita terus mencari arti dari hidup, kita tidak pernah menemukannya.

Melihat bagaimana orang-orang yang hidup di sebuah lingkungan padat penduduk; melihat anak-anak kecil yang terlihat tidak terurus, tatapan butuh belas kasihan, dan orang-orang yang putus asa. Pandangan itu aku dapatkan ketika aku memutuskan untuk menjadi relawan di sebuah komunitas yang membuat acara di sebuah taman belajar (hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya).

Acara itu tepatnya berada di Kebon Bayam, Tanjung Priok, dekat dengan taman BMW (taman belajar ini sangat dekat dengan proyek pembangunan stadion dan kemungkinan akan terkena imbasnya). Di sana aku menjadi orang yang bertugas mendokumentasikan acara. Tentu saja aku tidak bisa menjadi kaka pendamping, karena ya, jujur saja, aku sangat sulit bersahabat dengan anak-anak.

Komunitas itu bernama Main ke Museum, umurnya sudah 3 tahun dan bisa dibilang sejauh ini  konsisten mengajak anak-anak untuk bermain dan belajar ke museum. Karena ini momen Ramadan, jadi main ke musem itu berganti menjadi belajar dan berbuka puasa bersama. Tapi, hei, bukannya setiap kita adalah museum yang penuh peninggalan-peninggalan purba? Contohnya seperti peninggalan ‘rasa’ dari seseorang yang kamu temui dan kemudian sekarang hanya menyisakan kenangan yang remang-remang. Ah abaikan!

Singkatnya, kami para relawan yang terdiri dari kurang lebih 12 anak muda, saling bantu membantu untuk menghibur dan belajar bersama anak-anak taman belajar ini yang berjumlah sekitar 60 anak (mungkin?) dari jam 3 sore sampai waktu berbuka tiba. Mulai dari pembacaan dongeng, bermain angklung, mewarnai, dan membuat karya seni.

Sebagai bagian dokumentasi, aku pikir aku tidak hanya merekam momen demi momen acara ini dengan kamera. Aku merasa harus lebih dekat dengan pengurus taman belajar ini, anak-anak, dan orang tua mereka. Dan ya, ketika aku mengobrol dengan mereka, aku merasa sudah mendapat dokumentasi yang lebih lengkap: simpati, empati, dan pelajaran di sisi lain.

Pak Paul adalah pendiri dari taman belajar Kebon Bayam ini, orangnya sangat ramah, ketika aku berjalan dengannya di gang yang padat penduduk itu, ia menyapa setiap orang yang ia temui, dan anak-anak akan memanggil namanya lalu melakukan tos yang khas. Hal semacam ini menurutku hanya dimiliki oleh orang seperti Pak Paul: memiliki jiwa yang besar, memberi sumbangsih kepada sekitar, dan tidak sombong tentu saja.

potret pak paul ketika aku 'wawancarai', sepertinya aku harus menulis khusus tentangnya

Aku tidak habis pikir apa yang sedang Pak Paul lakukan selama ini. Beliau berkata padaku bahwa ia sudah 8 tahun bergiat di taman belajar ini. Tentu saja bukan waktu yang singkat, operasionalnya sendiri datang dari pribadi dan sukarela warga sekitar. Ia mengajari anak-anak yang sekolah dan atau putus sekolah. Baginya anak-anak ini sangat berperan bagi masa depan bangsa, dan mereka butuh perhatian kita. Beliau mengatakan itu begitu tulus, seolah semua anak-anak yang tidak beruntung di dunia adalah tanggung jawabnya.


Proyek pembangunan stadion di taman BMW memberi resiko terhadap keberadaan taman belajar ini. Entah kemana Pak Paul akan memindahkan taman belajar yang baginya sudah menjadi bagian hidupnya itu. Beliau mengatakan sangat berharap ada tangan-tangan lain dari orang-orang yang peduli dan, tentu saja berharap pemerintah ‘melihatnya’. Karena apa yang beliau lakukan adalah untuk kebaikan anak negeri: hal positif yang seharusnya mendapat banyak sokongan!

Kembali ke acara komunitas ini. Aku bertemu dengan anak-anak muda yang bersemangat (tentu saja aku tidak pernah bertemu mereka sebelumnya). Mereka rela membagikan waktu dan tenaga untuk berbagi dengan anak-anak yang tidak mereka kenal (namanya juga rela-wan. wk). Satu hal tentang keajaiban cinta adalah ia bisa diberikan kepada siapa saja yang tidak kita kenal, walau hanya bertemu 1 hari, 1 menit, bahkan 1 detik saja.

aku bahkan tidak ingat semua nama-nama mereka. wk

Masih teringat jelas bagaimana wajah anak-anak taman belajar Kebon Bayam itu di kepalaku, wajah-wajah polos itu tentu saja tidak paham jika suatu waktu rumah mereka akan rata dengan tanah. Mereka masih asyik bermain ke sana-kemari, sedang orangtua mereka susah-payah memutar otak untuk hari-hari yang lebih baik.

Sore itu aku duduk di sebuah batu di lapangan dan melihat anak-anak bermain dan berlarian. Angin berembus membawa tanah yang kering dan gersang ke wajahku yang berminyak. Beberapa kali aku mengarahkan kamera ke arah mereka. Tapi pada satu titik, aku merasa perlu untuk merasakan situasi seperti ini. Situasi yang membuatmu merenung dan berpikir tentang hidup ini sebenarnya tentang apa dan bagaimana.

melihat mereka bermain

Aku jadi teringat buku Ketika Lampu Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti. Gambaran orang-orang pinggiran yang Hamsad katakan di bukunya kini terlihat jelas di depan mataku. Dan membuatku sadar, ketika aku merasa dunia terus berjalan dan aku tetap diam, ternyata itu hanya bayang ketakutan akan kematian tanpa pernah berbuat kebaikan. Mungkin begitu.

Dan aku juga teringat bagaimana Mark Manson berkata di buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodoh Amat ia bilang begini: kita semua akan mati, semuanya. Alasan itu saja seharusnya membuat kita saling mencintai, tetapi tidak. Kita diteror dan digilas oleh hal-hal yang remeh dalam hidup, ditelan oleh kehampaan.

Sekian. 

Comments
0 Comments

Posting Komentar