Reza Nufa, dalam menulis buku ini, setidaknya menurutku, menargetkan pembaca yang suka galau, bermasalah dengan kekasih, keluarga, dan masalah-masalah khas remaja umur 19-an. Dan, sialnya, itu sangat dekat denganku.
Tulisan Reza Nufa memang tidak terlalu banyak kita temukan di media massa. Namun, ia aktif di media sosial dan mungkin dari sana, ia memupuk pembacanya. Dan buku ini, adalah buku yang sudah ia persiapkan untuk itu.
Penggunakan ‘pacar’ pada judul menurutku sudah ketara mau ke arah mana buku ini. Mungkin akan lain jika ‘pacar’ di sini diubah menjadi ‘kekasih’ atau semacamnya.
Sebagai cerpen pembuka, ‘Cara Terbaik Menjadi Anjing’, menurutku agak terlalu berat. Tapi selanjutnya, pembaca seolah dibuat lega karena cerpen-cerpen selanjutnya tarasa lebih ringan dan bersahabat, dalam artian cerpen tersebut tidak terlalu njelimet dan tidak membutuhkan konsentrasi penuh.
Cerpen ‘Suropati Menuju Sore’, terasa sangat dekat dengaku, sebab aku sendiri sering main ke taman yang satu ini. Pemandangan umum yang terjadi di taman suropati: merpati, anak kecil, orang tua, pasangan kekasih, ia gambarkan begini:
Merpati pintar bertingkah seola-olah mereka hampir takluk, bisa digenggam, tapi di saat-saat terakhir mereka dengan licik melompat, bahkan menghilang di rumbun daun-daun(…). Dulu dia pernah ada cinta dengan seekor merpati. Sampai saat ini masih membuatnya sakit meski sama sekali tidak disesali. ( 25-26)
Ternyata tidak hanya masalah pacar dan keluarga yang diangkat di buku ini. Agama pun turut menjadi cerita yang menggelitik. Sebut saja di cerpen ‘Dua Pemabuk Mengazani Mayat’. Diawali dengan dua laki-laki yang menemukan mayat, dan mereka merasa perlu untuk mengurusi mayat tersebut walau mereka sedang mabuk. Ada pertimbangan-pertimbangan yang lucu sekaligus menyedihkan yang dipikirkan dua laki-laki ini.
“Tetep aja nggak ada untungnya nolongin orang mati(…)”
“Tapi siapa tahu dia itu orang alim yang dibunuh. Nanti gantian, di akhirat kita ditolong sama dia, Yud. Bisa aja ‘kan?”
“Pede banget bakal masuk neraka.”
“Firasatku bilang begitu.” (hal. 31)
Tidak hanya itu, bahkan di buku ini, ia dengan entengnya menghujat tuhan, walau aku tidak tahu pasti tuhan mana yang ia maksud. Eh sebentar, emang ada tuhan selain tuhan?
Apa besaran dosa dan bagaimana cara menghitungnya? Hanya tuhan yang tahu. Dan kalaupun tuhan curang, kita tidak akan pernah tahu. Lama-lama tuhan ini tai juga, jelas kau setuju.
Banyak narasi-narasi nyeleneh tentang tuhan di buku ini dan, itu lucu buatku. Mungkin bagi mereka yang berurat tegang, pasti akan melempar buku ini sesegera mungkin. Tapi di sinilah titik keseruannya, ia membuat dunianya sendiri dan membuat tokoh yang menyedihkan, kesepian, tak tahu apa-apa, merasa bersalah, putus asa, seolah tidak ada yang bisa menolongnya dari semua itu, tuhan sekalipun.
Cerpen-cerpen di buku ini memang tidak terlalu panjang, sehingga aku menemukan cerita begitu singkat dan kurang kokoh. Beberapa kali ada kalimat ‘jangan tanya aku begini/begitu….” untuk alternatif membangun sebuah sebab-akibat-cerita.
Memang banyak cerita yang tidak panjang di buku ini, namun aku tidak katakan bahwa tidak ada cerita yang panjang. Bacalah ‘Sani Belum Kembali’, di sana tokoh ‘aku’ tampak begitu bawel dan seperti orang linglung. Ia membahas banyak orang, mulai dari yang tidak penting hingga yang tidak penting amat, mulai dari gereja hingga susu perempuan.
Penulis muda seperti Reza Nufa, Asef Saiful Anwar, Eko Triono, Dea Anugrah, Sabda Armandio, menurutku adalah penulis dengan generasi yang ogah mematuhi aturan. Mereka jengah dengan hal yang sudah ada sejak dulu dan mencoba membuat hal baru. Dan sepertinya kita sedang menuju dunia itu: menulis tanpa aturan yang mengikat.
Secara keseluruhan, aku menikmati buku ini, covernya pun keren, suka. Kisah hidup penulis yang berliku tampaknya menjadi tabungan rasa dalam mengeksekusi tiap cerpen. Melalui buku ini, setidaknya menurutku, penulis sedang menunjukan bahwa ia serius dalam menulis sastra, ini baru permulaan, ke depannya kuyakin ia menulis lebih banyak dan lebih baik dari ini.