Setelah Membaca Bakat Menggonggong


Ini adalah salah satu buku yang bisa membuatku terguncang. Narasi dalam buku ini kadang membuatku mangguk-mangguk, terdiam tak mengerti, tapi di satu titik membuatku tertawa guling-guling. Walau bahasanya terkesan menceracau tidak jelas. Kadang kita juga perlu konsenstrasi penuh untuk membaca buku ini, meleng sedikit saja, kita bakal kehilangan jalan.

Buku ini dibuka dengan cerpen yang berjudul ‘Kemurkaan Pemuda E’. Penulis seolah tak peduli terhadap pembaca ingin suka atau tidak dengan cerpen ini, sebab cerpen pembuka di kumpulan cerpen sangat penting menurutku. Ketika aku selesai membaca cerpen pembuka ini, aku tahu ke depannya pasti akan banyak cerpen-cerpen yang lebih gila. Dan tebakanku benar.

Sebenarnya tidak jelek juga kalau kita meninggalkan Pemuda E dan mengikuti kucing itu. Mungkin saja berujung pada kejadian-kejadian yang lebih menghibur atau mengharukan ketimbang ini. Bayangkan, coba, apa yang bakal diperbuat seekor induk kucing dan anak-anaknya yang kelaparan terhadap sebungkus muntahan manusia. (hal. 5)

Cerpen-cerpen dalam buku ini sangat berkesan di kepalaku, semuanya mempunyai ‘aroma’ tersendiri, walau tentu saja, dibungkus dengan narasi yang seperti ditulis oleh orang yang sadang mabuk berat. Tapi anehnya, aku menikmati. Saking menikmatinya, aku juga sempat merasa diriku-aneh setelah selesai membaca cerpen-cerpennya. Aku seperti tersihir dan perlu beberapa menit untuk menyadarkan-diri bahwa aku masih di dunia yang normal. Dunia di buku Bakat Menggongong tidak normal.

Sebenarnya, di buku kumpulan cerpen ini, judul yang dipakai bukanlah judul salah satu dari cerpen yang ada. Aku tidak tahu apa di balik judul ini, tapi yang kutahu, ada satu judul di cerpen ini yang berjudul: ‘Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu’. Ah setidaknya masih ada menggonggong-nya. Abaikan.

Cerpen favoritku di buku ini adalah ‘Kisah Kontemporer (IX)’. Cerpen ini hanya berisi percakapan seorang penyair yang SMS mantan pacarnya namun tidak dibalas-balas. Setelah lama menunggu balasan sang mantan, si penyair terus mengirim puisi-puisi. Hingga akhirnya sang mantan menjawab SMS dan, yang paling menohok adalah ketika sang mantan meminta vote untuk bayinya yang mengikuti kontes.






Sebelum sampai ke sana, ada percakapan SMS antara penyair dan sang mantan yang membuatku ngakak, begini:

Kemarin aku cuma tiba-tiba ingat omonganmu
Yang mana
Titit bule biasa aja
Hahahahaha. Dengar dari siapa aku ngomong begitu? Yakin punyamu cukup untuk disebut ‘biasa aja’? :P
Menurut yang barusan sih mantap. Kaget dia. “Lho, Mas, kok bisa muter di dalem?” katanya. Hahaha…



Begitulah.

Omong-omong, ini adalah Buku Dea Anugrah pertama yang kubaca, kulebih sering membaca tulisannya di Tirto.id. Caranya bercerita di cerpen tentu sangat berbeda ketika dia menulis untuk Tirto.id.

Secara keseluruhan, aku sangat menyukai buku ini, bukunnya juga tidak tebal-tebal amat, bahkan bisa dikatakan tipis karena hanya 109 halaman, tapi isinya sangat berisi, dan, kuyakin,  tidak membuat siapa saja kecewa untuk membacanya. Tidak heran buku ini masuk 10 besar Kasula Sastra Khatulistiwa tahun ini.


Comments
0 Comments

Posting Komentar