Bagaimana
jika suatu fakta dari sebuah instansi atau organisasi dan sebagainya, diungkap
ke publik dan itu membuat instansi atau organisasi tersebut tidak terima, dan
menimbulkan suatu permasalahan?
Begitu kira-kira yang bisa saya
simpulkan terkait pertanyaan salah seorang peserta pada narasumber di kursus
jurnalistik yang diadakan 28 Januari, di Cibubur.
Sang narasumber yang juga adalah
wartawan Tempo, sebelum menjawab, ia berkata, “Ada yang bisa menjawab
pertanyaannnya?” lalu saya menunjuk diiringi oleh beberapa peserta yang lain.
Sumber gambar: twitter
Beberapa ada yang menjawab, hentikan
saja, suatu saat nanti yang batil akan terlihat dan kebenaran akan terang
benerang. Peserta yang lain bilang, lebih baik dilaporkan ke pihak berwajib.
Dan saya berkomentar, terus lanjutkan, akan sepahit apa pun nanti. Demi
kebaikan.
Kalau boleh melanjutkan, saya akan
menambahkan begini. Pada zaman dahulu pejuang memperjuangkan kemerdekaan untuk
bangsanya lebih baik. Namun setelah hidup di masa yang lebih baik, kita
terjajah oleh sebuah pembungkaman. Ini adalah penjajah yang jelas pada zaman
ini.
Mereka bersengkongkol menutupi
keburukan instansi atau organisasi-nya, agar tidak digusur oleh aparat
pemerintah. Mereka menutupi fakta-fakta di dalam instansi atau organisasinya
sendiri, agar citra baik terus terpancar.
Zaman sekarang, banyak kejahatan
karena memang banyak orang baik yang membiarkan kejahatan itu terjadi di depan
matanya. Miris sekali.
Dunia pers memang begitu penuh
tantangan. Sebuah berita belum tentu keakuratan faktanya 100 persen. Belum
tentu juga apa yang dikatakan narasumber itu benar. Menjadi wartawan itu hatus
skeptis, tidak mudah percaya. Di samping jiwa kritisnya.
Jawaban sang narasumber pada kursus
jurnalistik yang saya ikuti waktu itu adalah,
“Kita harus konfirmasi terlebih
dahulu pada pelaku, mewawancarari korban dan bla bla bla..”
Bagaimana jika pelaku tidak mengaku?
Pusing memang.
Tampaknya kita harus memberitakan
saja fakta itu, atau bukan untuk memecah keheningan.