Menjadi pemimpin upacara, sungguh pekerjaan yang berat. Kau akan
mengalami bagaimana rasanya banjir lokal di sepatumu, keringat dingin, tangan
membeku, dan wajah memucat sendirinya. Barangkali begitu diskripsi ringan jikalau
kamu menjadi pemimpin upacara.
Pemimpin
upacara tak hanya harus bersuara lantang, namun juga harus ganteng maksimal
di tengah lapangan mental yang kuat kudu dipersiapkan jauh-jauh hari.
Jangan sampai suaramu seperti kucing kejepit ketika berteriak memberikan
aba-aba. Duh, ini ndak lucu.. ngohaha…
Entah, sedari
SD, saya sering ditunjuk sebagai pemimpin upacara. Pertama memimpin upacara
ketika masa SD. Di SD, pemimpin upacara mengenakan seragam berbeda dengan yang
lainnya, pakai peci, seragam PDU, dan atribut lainnya. Gagah…
Begini nih anak SD... gambar: sdnbangkal3-bjb.sch-id.net |
Gue udah ndak
bisa ngebayangin bagaimana kali pertama menjadi pemimpin upacara. Sungguh, gue
berkonsentrasi penuh waktu itu, gue menjiwai bersama seragam yang gue kenakan,
dan gue benar-benar hanya fokus pada tujuan akhir: cepetan kek selesai
upacaranya :3
Yeah, gue
jadi pemimpin upacara di tengah lapangan, sedangkan ibu gue atau sering gue
sebut: mamake mengintip dari kejauah. Alangkah bangganya gue waktu itu dan
mamake. Pasti mamake akan bilang, “Itu anak saya, itu anak saya!”
Hahaha…
Dan, pada
Senin 18 Januari 2016, bisa dibilang itu hari terakhir gue menjadi pemimpin
upacara. Gue baru sadar ketika performa gue selaku pemimpin upacara, dinilai
sama guru.
“Tadi kamu
bagus jadi pemimpinnya, tapi sayangnya nggak dibahas oleh pembina upacara. Oh
ya, ini juga terakhir kamu menjadi pemimpin upacara lho,” kata guru itu.
Deg.
Gue baru
sadar bahwa benar apa yang dikata guru itu, gue ndak kepikiran sampe sono.
Sekarang gue udah kelas 3 SMK dan bisa dihitung berapa hari lagi akan lulus.
Hiks..
Nah, di hari
tarakhir gue menjadi pemimpin upacara, gue merasa gugup segugup-gugupnya. Tak
pernah sebelumnya gue segugup ini. Padahal sudah terbiasa.
Gue paling
akhir keluar kelas menuju lapangan, beberapa kali kembali ke kelas untuk minum
air putih dan sedikit dandan merapikan seragam. Setelah itu, gue kudu
siap, bagaimanapun.
Upacara
dimulai. Gue merasa paling gugup di antara yang lain.
“Pemimpin
upacara memasuki lapangan upacara,” kata mc.
Prak.
Bunyi sepatu
gue.
Prak
Prak
Prak
Gedubrak
Ternyata ada
yang pingsan :3 #krik
Sampai di
tengah lapangan dan bertugas memimpin upacara, seperti biasa, gue fokus. Btw,
ketika itu gue pakai gelang plus tanda masuk galeri Indonesia kaya berwarna
hijau stabilo, mencolok banget. Kenapa ndak gue copot itu tanda masuk, karena
penuh kenangan.. ea…
Nah, gue
pasang muka paling garang. Dan ketika gue berteriak memberi aba-aba, gue
lantangkan yang paling lantang yang gue punya.
Huh. Upacara
selesai, dan seperti biasa, kaki gue keram.
Setelah itu,
pulang sekolah, adik kelas (yang kebetulan menjadi paduan suara) berkomentar.
“Weh, kak,
tadi pada ngomongin yang ijo-ijo lu pake luh,” kata salah satu dari mereka,
kalau ndak salah, mereka ada empat, cewek semua.
“Oh ya?” gue
berlaga.
“Iyah, kan
tadi kelas gue di paduan suara.”
Hmm.. emang,
posisi paduan suara tuh sangat strategis untuk melihat secara detil si pemimpin
upacara.
“Oh gitu..”
“Iyah, emang
itu apa sih kak?”
“Ini tanda
masuk ke galeri Indonesia kaya.”
“Dikira teman
gue, itu kolor, ijo-ijo,” kata yang lain, polos.
Ngohaha… ndak
kepikiran sebelumnya dah..
“Ini,” kata
gue sambil menunjukan ijo-ijo itu, ada tulisan: penikmat seni, “gue pake nyuci,
mandi, cebok dan sebagainya.”
Hiiii…