Saya
sangat menyukai ilmu ini, dan itu juga alasan kenapa saya berani membuat
keputusan mencetuskan ekskul jurnalistik di sekolah. Dengan ilmu pas-pasan
bekal dari workshop dan membaca, saya membagikan ilmu jurnalistik yang saya
ketahui pada teman-teman di sekolah yang, tentu saja, kami adalah perkumpulan siswa-siswi yang dengan minat yang sama, tapi masih bingung mau berbuat apa ke depannya.
Awalnya
saya tanya mereka--yang kebanyakan adik kelas saya--kapan terakhir mereka
membaca berita. Ada yang jawab seminggu lalu, sudah lama sampai lupa dan,
banyak lagi jawaban miring lainnya. Bahkan ada yang terakhir membaca berita
tentang tertangkapnya Santoso.
dan ini anggota baru jurnalis di tahun ajaran baru. |
Dan
itu membuat saya yakin, kalau minat baca kita memang minim. Mungkin mereka
lebih suka nonton tv ketimbang baca berita. Tapi menurut saya, ada kekurangan
ketika kita menonton berita di tv, salah satunya, apa yang sudah disampaikan
tak bisa diulang lagi. Itu karena waktu terbatas. Kalau membaca berita, kita
bisa mengulangnya dan tentu saja menjadi lebih paham.
Saya
percaya setiap kita bisa menjadi kantor berita, bahkan dunia sudah ada di
jempol kita. Saya tekankan kepada teman-teman jurnalistik di sekolah, jika kita
harus menjadi kantor berita yang baik. Yang tidak memihak, melainkan
independen, kritis dan dinamis.
Kesulitan
Kesulitan
bagi kami yang bergiat di ekskul jurnalistik di sekolah, adalah minimnya SDM yang
bisa menulis berita. Tapi saya menemukan dua orang yang punya dasar menulis.
Yang pertama suka nulis cerita di watpaad dan yang kedua suka bikin puisi.
Menurut saya ini aset yang perlu dikembangkan.
Selain
masalah teknis, saya juga berbagi ilmu tentang sejarah jurnalistik. Kini,
bahkan sedikit orang yang tahu siapa bapak pers Indonesia. Padahal beliau sudah
berjuang demi pers Indonesia, dan gugur dalam kesepian pengasingan Belanda.
Raden
Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo mendirikan surat kabar Medan Prijaji bulan
Januari 1907. Medan Prijaji adalah surat kabar pertama milik pribumi yang
dikelola pribumi dan mulai menjadikan pers sebagai alat politik dan kesadaran
berbangsa.
Tulisan
Tirto galak mengkritisi kelicikan kolonial Belanda. Karena itu Ki Hajar Dewantara
menyebutnya jurnalis modern berpena tajam. Sementara itu murid Tirto, Mas Marco
Kartodikromo menyebut tulisan Tirto kerap membuat panik pejabat kolonial.
Begitu
hebatnya bapak pers kita. Beliau begitu berani melawan ketidakadilan di tanah
air, lewat penanya yang tajam. Sudah seharunya kita menghormati, dan berterima
kasih kepada beliau karena sudah berjasa terhadap pers Indonesia.
Trilogi
Buru, karya Pram, itu adalah kisah Tirto yang diimajinasikan Pram menjadi
Minke. Walau saya belum sempat membaca buku itu, saya tahu keterkaitannya Tirto
dengan Pram, dan saya ingin sekali bisa baca buku itu.
***
Saya
menekankan pada teman-teman jurnalistik di sekolah, bahwa tanpa sadar
sebenarnya kita besar dan dimomong oleh media, oleh pers. Dan mereka yang tidak
bisa menggunakan media ke arah positif, itu sungguh rugi. Maka saya selalu
mewanti-wanti bahwasanya kita jangan asal percaya terhadap suatu berita begitu
saja, skeptisme!
Belajar
jurnalistik itu menyenangkan, apalagi ia ada di kehidupan kita. Ia yang harus
kita kendalikan supaya tidak berbuntut ke arah negatif. Akan lebih baik jika
kita sendiri menjadi pelopor agar orang lain bisa menggunakan media ke arah
positif. Dan setidaknya kita bisa menjadi lampu yang terang di antara redupnya
dunia pers.
Saya percaya bahwa sebuah berita terjadi di luar 'kantor', jadi kegiatan jurnalis pada hakikatnya berada di luar ruangan, jadi ekskul ini pada dasarnya 'barmain' di luar kelas. Dan saya membuat jadwal, kami akan berkumpul di ruang ruangan untuk berdiskusi dan langsung mempraktik apa yang telah kami diskusikan tadi. Terakhir, kami berkumpul di monas.
Saya percaya bahwa sebuah berita terjadi di luar 'kantor', jadi kegiatan jurnalis pada hakikatnya berada di luar ruangan, jadi ekskul ini pada dasarnya 'barmain' di luar kelas. Dan saya membuat jadwal, kami akan berkumpul di ruang ruangan untuk berdiskusi dan langsung mempraktik apa yang telah kami diskusikan tadi. Terakhir, kami berkumpul di monas.
Bonus:
Ini ketika saya mencoba memakai id card jurnalis dan foto, tapi diedit sama anggota menjadi begini dan, saya senang ==" |
Saya sangat mencintai ilmu dan dunia ini, dan salah satu cita-cita saya adalah mati dalam melakukan kegiatan ini, seperti, contoh, mati dalam meliput sebuah kericuhan.