NDAK HARUS MENJADI POLITISI UNTUK MEMBANGUN KAMPUNG HALAMAN

Setiap orang memiliki tujuan. Dan tentu kita memiliki tujuan yang berbeda. Untuk mencapai tujuan itu, menurutku, kita harus membayarnya terlebih dahulu. Naik ojek saja bayar kan? Singkatnya, ibarat kita naik motor, dari Jakarta ke Bogor. Nah, untuk naik motor itu kita menggunakan bensin. Kalau ndak beli bensin ya ndak mungkin sampai tujuan.
            Bensin itu adalah semangat, rajin, tekun, pantang menyerah dan, hal positif lainnya. Sampai ndaknya di tujuan ya tergantung bensin yang tersedia. Kalau bensinnya cuma seumprit, bisa apa? Lha wong tujuan kita nun jauh di sana. Maka, kita butuh bensin yang banyak, bukan?
            Di lain waktu, aku merasa ‘tujuan’ ikut tenggelam dengan kemuraman hati. Nah, di saat seperti inilah kita harus mengisi bensin. Mengisi bensin di tempat-tempat yang sudah disediakan. Tempat pengisian ini adalah tempat di mana kita berkarya, mencari ilmu, mengeluarkan penat, tempat yang bisa membuat semangat tujuan kita bangkit lagi. Bensin kita terisi kembali! Jika sudah terisi, tancap gas lagi!
            Ya singkatnya seperti itu pandanganku tentang tujuan. Sekarang umurku 17 tahun, baru saja lulus SMK. Kata orang, angkatanku ini cukup-agak-sial. Itu karena di angkatan kami, kami menjadi kelinci percobaan kurikulum 2013, di SMP pertama kali diterapkan ujian nasional berpaket, partama kali juga UN dengan basis komputer, ditambah lagi, di tahun kelahiran kami, kerusuhan mahadahsyat itu terjadi. Hahaha..
            Aku sendiri memiliki tujuan yang kutargetkan beberapa tahun ke depan, mungkin lima, sepuluh, lima belas tahun, di saat yang tepat, aku akan mengabdi untuk kampung halamanku.
            Untuk mencapainya aku sadar ndak semudah membalikan telapak tangan. Aku akan kuliah dengan sungguh-sunggh, aku akan bekerja sama dengan orang-orang yang satu visi dan misi.
            Omong-omong, aku ini dari kelas 4 SD sampai sekarang, tinggal di Jakarta. Aku juga sudah hafal benar betapa kerasnya hidup di kota metropolitan ini. Paling rajin, aku pulang kampung setahun sekali. Dan rasanya pulang kampung itu.. seperti menemukan oase di gurun pasir gersang! Maklum, di Jakarta aku ndak bareng orangtua.
            Di kampungku memang terkenal sebagai penyalur tenaga kerja luar negeri, alias TKI/TKW. Mereka ini mencari sesuap nasi kok ya sampai ke ujung dunia sana. Yang lain merantau ke kota-kota besar. Jadi sisanya di kampungku hanya orang-orang tua yang sudah udzur. Tenaga mudanya sudah langka, atau barangkali punah.

foto ini aku ambil ketika liburan sekolah, ketika pulang kampung. dan dalam liburanku, aku hanya menemukan orang-orang tua dan anak-anak kecil seperti mereka. pemudanya pada merantau entah ke mana...

            Ini sangat miris. Menurutku, pemuda di kampung mempunyai kewajiban untuk membangun tempat kelahirannya. Bukan malah merantau ke ujung dunia sana.
            Sepertinya ini sudah menjadi tradisi, sehingga menjadi hal yang wajar. Atau malah pemuda-pemuda ini merasa malu jika ndak merantau? Merantau adalah kewajiban bagi mereka yang sudah cukup umur! Jika ndak merantau, kamu anak durhaka!
            Menurutku, di kampung-kampung itu memiliki potensi besar yang patut untuk digali. Hanya saja kita belum menemukan ‘cangkul’ untuk menggalinya. Di kampung, sumber daya alam sangat melimpah, yang juga bisa untuk mencukupi atau memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Bahkan boleh jadi menjadi mata pencaharian yang patut diperhitungkan.
            Andai saja semua pemuda sadar: mereka memiliki kewajiban untuk membangun kampungnya. Boleh jadi kampung-kampung di Indonesia akan lebih maju. Lho kan ndak harus menjadi politisi terlebih dahulu untuk bergerak. Ndak perlu duduk di dewan sana baru mau membangun kampung. Menjadi pemuda yang bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar saja itu sudah prestasi besar!            Dan itu pula tujuan dan, impianku!
            Hal ini sudah kupikirkan jauh-jauh hari. Dan terus menggentayangi tidurku setiap malam. Aku harus menyusun strategi untuk itu. Aku akan terus mencari ilmu, hingga akhirnya menemukan konsep yang pas. Dan jika semua sudah pas, aku akan mengabdi untuk kampungku. Mengabdi kepada tanah kelahiranku! Membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar! Biar mereka ndak usah jauh-jauh mencari sesuap nasi, nilai plusnya, bisa selalu dekat dengan keluarga. Duh, kalau dibayangin kok nikmat banget ya..

            Nah, jika sudah begitu, yang kuharapkan akan terwujud: pemerataan ekonomi. Itu bisa jadi juga berbanding lurus dengan pemerataan pendidikan, inflastruktur dan seterusnya. Jadi kita ndak perlu lagi bergantung pada kota-kota besar, negara-negara tetangga, ‘emas’ itu ada di tanah kelahiran kita!*** Tulisan ini diikutsertakan dalam #WhatsYourGoalsGiveaway2016
Comments
0 Comments

Posting Komentar