Malam tiba membawa gelapnya, hujan mulai rintik, rerumputan menghalangi jalan pemuda itu, bajunya sudah tidak lagi memberikan perlindungan dari dingin, celananya compang-camping, dia menggigil. Sendirian.
Dilewatinya persawahan, jalanan setapak dipaksa mengantarkan ke sebuah perkampungan yang dilihatnya dari kejauhan. Sekarang dia mempunyai tujuan.
Sampainya di komplek perkampungan, ia melihat satu rumah yang di terangi damar[1] di sudut depan rumah, hanya rumah itu yang masih terlihat berpenghuni dari beberapa rumah gubuk lainya.
Di dekatinya rumah itu, sandal sempat terjebak di lumpur masih digunakannya walau penuh dengan tanah yang mengering.
‘tok, tok, tok‘
“Permisi... ada orang??“ ‘kreeaaak’ pintu itu terbuka.
“Iyah? Siapa?“
“Nanti saja saya jelaskan, sekarang ijinkan saya untuk masuk, saya mohon“
Hening tiba, “siapa pemuda ini, pakaianya tak pantas, wajahnya, tapi... seperti orang kota, hmmm... kasihan, mungkin dia tersesat“ batin Nenek tua pemilik rumah gubuk itu.
“Nek, saya mohon, untuk malam ini... saja “
“Baiklah Nak, masuklah, masuk “
“Terimakasih, Nek“
Pemuda itu memasuki rumah gubuk nenek tua. ‘tap, tap, tap’
“Duduklah Nak, tunggu, Nenek akan ambilkan air “
“Iyah Nek, terimakasih“
Pemuda itu duduk di bangku tua yang leot, berdebu, terbuat dari bambu yang sudah kering coklat. Setelah Nenek tua itu datang dengan membawa segelas air hangat, dia duduk lebih dekat dengan pemuda itu.
“Sekarang, ceritakan darimana asalmu?“ tanya Nenek itu.
“Begini Nek, saya datang dari kota, saya kabur dari kejaran polisi“
“Hah!? Apa yang telah kamu perbuat?“ Nenek tua itu kaget dan penasaran. Wajahnya semakin sangar.
“S-sa-saya membunuh Istri saya, Nek “
“Apahh!?“ keget Nenek keriput itu.
Semilir angin menumbus dinding rumah yang terbuat dari bilik bambu, pepohonan riuh bersuara, menambah suasana mencekam diantara mereka.
“Lalu, tujuanmu apa ke kampung ini?“ tanya Nenek tua yang sudah kriput dan bongkok.
“Saya ingin mencari kehidupan baru yang bahagia, jauh dari masa lalu yang kelam“ pemuda itu memelas, suranya seperti merintih.
“Hm... “
“Ngomong-ngomong, Nenek tinggal sendirian disini?“ pemuda itu memecah suasana agar segera mencair.
“Tidak, tapi berdua dengan Kakek “
“Lalu, dimana Kakek?“
“Tepat di sampingmu“ Nenek tua itu menunjuk tepat ke bangku sebelah pemuda yang kebingungan itu.
“apa Nenek ini hidup bersama suaminya yang sudah tak bernyawa? Atau... dia itu gila? Ah...“
****
Semilir angin terus menumbus dinding rumah, pepohonan juga tak henti bergemuruh.
“Sekarang, pergilah“ usir Nenek itu.
“Tidak bisa Nek, saya juga tidak tau dimana saya sekarang, saya mohon, ijinkan saya bermalam disini“
“Baiklah, tapi... ada syaratnya“
“Apa syaratnya? Pasti akan saya penuhi“ pemuda itu merengkuh tangan Nenek tua dengan penuh harapan bisa bermalam di gubuknya.
“Begini, sudah setangah tahun desa ini tidak turun hujan, biasanya ada ritual yang dilakukan dengan memberikan sesajen, tanpa itu, hujan tidak akan turun“
“lalu, Nek ? “
“Sesajen itu adalah kepala kerbau, tapi, semua kerbau disini sudah mati kekeringan“
“Lalu, Nek?“ pemuda itu mulai gentar.
“Maukah kamu dijadikan sesajen itu, pasti hidupmu akan damai disana, kamu akan selalu dikenang di desa ini“
Pemuda itu sontak kaget bukan kepalang, heningpun kembali mendominasi, angin-angin dingin masih bergelud dengan pemuda itu, perutnya juga lapar.
“Hmm... baiklah Nek, tapi, beri aku makanan dulu“ kata pemuda itu.
“Terimakasih Nak“
“Iya, sama-sama Nek, inilah tujuanku, aku ingin mendapatkan hidup baru yang jauh dari masa lalu yang kelam“ pemuda itu meyakinkan Nenek tua yang mudah saja mempercayainya.
“Baiklah, tunggu, akan Nenek ambilkan makanan “
“Iya, Nek “
Nenek tua bongkok itu menuju dapurnya, diambilnya buah-buahan untuk pemuda kelaparan yang akan bermalam di gubuknya.
****
Setelah makan, mereka masih duduk di tempat yang sama tadi.
“Nak, kamu sudah mengentuk?“ tanya Nenek tua itu.“Iya, Nek, dimana saya bisa tidur?“
“Kamu bisa tidur disini nak “ Nenek itu menunjuk amben[2] yang tak jauh dari bangku yang meraka duduki.
“Baiklah, Nek “
Nenek bongkok itu pun menuju kamarnya, diambilkannya sehelai selimut untuk pemuda itu.
Malam yang sunyi mengantarkan kecemasan bagi si pemuda, hatinya tak tenang, tapi, ia sudah menyiasati akan semua ini.
“Mana mungkin aku mau begitu saja kepalaku di jadikan sesajen, aku hanya ingin bermalam di gubuk ini, bukan untuk mati. Untung saja pemilik gubuk ini adalah Nenek tua. Hm... Baiklah, pagi buta aku akan pergi dari sini, sekarang, nikmati saja semuanya “ batin pemuda itu.
`
Terlelaplah ia dalam tidur pulas, ia nampak nyaman di amben, nafasnya satu-satu berdesakan keluar dari lubang hidungnya, dengan sepi ia bermalam di gubuk Nenek tua, dan ia tak tau apa yang akan terjadi esoknya.
.
****
Malam terlewatkan sangat singkat, pemuda itu masih pulas bersama tidurnya, sampai fajar tiba ia masih tidur, pagi buta sudah meninggalkannya.
Nenek tua itu sudah terbangun dari tidurnya, ia nampak sudah siap dengan parang di tangan kriputnya, ia akan mengiringi nasib pemuda itu yang hidup tanpa arah dan beberapa detik lagi akan bercerai dari jiwa dan raga kepunyaanya. ‘clek!!’Putuslah kepala dan badan dari pemuda itu, tapi, ia masih bisa bangun dari tidurnya tanpa kepala dan lalu diambilnya parang dari tangan Nenek tua itu yang ternyata adalah Penyihir. Lalu, di tebasnya oleh si Pemuda tepat di leher penyihir itu. Gubuk tua menjadi saksi pertikaian mereka yang mengakibatkan banjir darah yang terus bercucuran disana-sini....
[1] sejenis lentera/lilin.
[2] sejenis kasur yang terbuat dari bilik bambu.