Gubuk Tua


Di gubuk tua ini, aku mulai merasakan rasa yang entah apa namanya. Saat itu – kau masih percaya padaku –kau menatap dalam ke arah mata ini, sampai-sampai aku bisa melihat riak air yang bermuara di mata indahmu itu.

Memang usia kita masih muda, tapi cinta soal hati. Dan, yang kudambakan saat ini adalah, teruslah percaya padaku. Walau, kau kian berubah bersama sang waktu yang selalu baru.

Di gubuk tua ini juga, aku sering beristirahat sepulangnya dari sekolah, tak  seperti biasa, aku sendiri tanpa kau temani. Semilir angin mengajakku untuk pergi ke masa lalu, raja siang pun memberiku semangat agar bisa pergi ke masa-masa itu. Masa dimana kita berdua disini, di gubuk tua ini. Icha...

                                 
                                    ****


Sekarang, aku bisa dengan jelas mengingat bagaimana saat kita saling menatap. Saat itu, di gubuk tua ini, kau duduk manis di sampingku, masih dengan seragam sekolah Putih-Biru. Kayu tua yang dipenuhi dengan jaring laba-laba, adalah saksi akan pengungkapan rasa waktu itu.

Rasa yang entah apa namanya, tapi yang kutahu itu bersumber dari hati. Dan itu yang kuungkapkan kepadamu. Aroma padi yang mulai menguning merangsang masuk melewati hidungku, lalu aroma itu menyegarkan seisi jiwa ini yang membeku saat di sampingmu.
“A-aku, ini... cinta sama kamu. Icha” kataku dengan bergetar, lalu, kau menatapku, dengan jelas aku bisa melihat wajah cantik milikmu.
“Cinta itu apa?” tanyamu. Lalu aku hanya bisa diam seribu kata.

Padi yang mulai menguning itu tetap bergoyang kesana-kemari sepertinya dia sangat menikmati hidupnya. Langit biru mulai terlapisi awan-awan putih yang terus menghitam.
“Sudah mau hujan” katamu, dan mengagetkanku yang sedang bisu.
“Ayo, pulang” ajakku. Dan kau menganggukan kepala, seraya tersipu kepadaku.
Kita berjalan menyusuri pesawahan, menikmati alam...


                                     ****


Aku mengenalmu ketika kita satu kampung, kau pindahan dari salah satu sekolah di kota, dan aku hanya orang kampung yang sedari kecil besar disini. Rumah kita memang berdekatan, tapi jauh dari sekolah SMP.

Setiap hari, kita selalu melewati pesawahan –jika pulang sekolah tiba, di siang hari. Dan benar, apa kata orang Jawa: cinta akan tumbuh jika sering bertemu. Itu terbukti dalam hidupku, bersamamu, Icha.

Tapi, sekarang rasa saling percaya itu sudah punah termakan sang waktu. Karakter terdalam kita sudah menyeruak keluar, dan terlihat jelas. Kau sangat egois seperti halnya orang kota, dan aku terlalu sabar menyikapi itu. Begitulah yang kurasa sekarang. Kurang ajar!!

Belakangan ini, aku pulang sekolah sendiri, dan selalu mampir ke gubuk tua ini, sekedar melepas lelah yang mendera. Tapi, sang padi kali ini sudah tidak kuning lagi, ia sudah  rata dengan tanah, seperti perasaanku padamu.

Sekarang, yang namanya cinta itu sudah tiada, benar apa kata orang-orang akan difinisi cinta monyet. Tapi, ini bukan, ini adalah rasa yang bersumber dari hati yang entah apa namanya. Mungkin, hanya aku yang merasakan, berbeda denganmu. Icha...
Comments
0 Comments

Posting Komentar