pencabutNYAWA

Afsokhi abdullah. Aku ingat, nama itu tertulis di buku hitamku, buku target manusia yang akan ku cabut nyawanya. Ya, aku bukan manusia biasa, dari job description-ku saja sudah jelas, apa tugasku dan siapa aku.

         
 Aku sudah lama berpetualang di alam yang fana ini, banyak kujumpai kisah-kisah manusia yang tragis dan sadis. Aku melihat seorang lelaki dengan seragam sekolah, umurnya kira-kira 15 tahun, tak sengaja ku lihat badge nama yang ada di seragam SMKnya ‘AFSOKHI ABDULLAH’

         
 Deraan air hujan yang runcing di sore hari mengkuyupkan seluruh tubuh anak itu dan bersama air matanya yang ikut terjun, ku rasa ia sedang patah hati, di putuskan pacarnya, selayaknya remaja labil.

Tapi tidak!, ku dengar lamat-lamat gumamnya 
“Tuhan, aku ingin bertemu ibu bapakku, sedari kecil aku jauh dari perhatiannya, aku terasa bukan siapa-siapa !!!! ku lihat anak-anak di sekitarku ter-urus orang tua nya. Aku lelah dengan takdirMU, CABUT SAJA NYAWAKU !!!!! ”

         
 Tebakan ku salah, ku kira ia ingin mempercepat waktu untuk bunuh diri. Ia hanya pasrah dengan hidupnya. Aku mendekatinya, ingin ku cabut nyawanya sekarang, tapi ....
Ahh, aku kasihan dengan anak itu. Wajahnya putih pucat formalin, tangannya kasar seperti kuli pasar.

         
 Melihat anak itu yang takdirnya jauh dari orang tua, aku malu mengingat masa hidupku, matiku tak terpuji. Saat itu aku ikut-ikutan tawuran, batu menghujan tepat ke arahku, aku terjatuh, sebilah parang menyasat tepat di perutku, darah segar bercucuran, isi jeroanku berhamburan di jalanan. Dan aku tak terselamtkan, nafas terakhirku berhembus ....

         
 Ibu bapakku sangat baik kepadaku, setiap harinya ku tak luput dari perhatiannya. Sekarang aku menyesal, sungguh amat menyesal, tapi tak ada guna untuk sekarang. Andai aku dulu seperti ini, seperti itu, seperti ini itu. Ahhh.. penyesalan selalu di saja akhir.
                                      ***
Sebelumnya aku sering bertemu anak itu, yang kini kuyup di terjang hujan. Pernah suatu hari, aku melihatnya di kontrakan yang kecil, tidurnya-pun bergaya seperti pistol. Makan, belajar, tidur, memasak, apapun itu di lakukan di kontrakan kecilnya. Hanya gubuk ber-atap seng karatan dan dinding-dinding terlapis koran bekas dan juga spanduk bekas yang di dapatnya dari para caleg.

Aku melihat ia makan disana, “kriuk-kriuk-kriuk“ suara krupuk renyah terdengar nyaring dari sela-sela mulutnya yang penuh dengan nasi putih dan hanya di temanai krupuk untuk lauknya. Dan itu sering kulihat setiap hari. Sungguh tragis hidupnya.

Sekarang, ia masih berdiri menadang hujan. Hari mulai gelap, saut-saut suara adzan bergema. GUBBRAK’ anak itu terjatuh pingsan, mujurnya ada Bapak kumis tetangga kontrakannya yang melihat tak lama anak itu terjatuh, kira-kira 15 menit.

Di gotong oleh Bapak kumis itu ke tempat kontrakan. Sampai di depan pintu kontrakan anak itu, tak ada sama sekali yang peduli dengan anak itu. Ia mulai terbujur kaku di degapan si Bapak kumis. Bapak kumis meminta tetangganya untuk membawa anak itu ke puskesmas.

“ hayy ... panggil Bajaj, kasihan ini anak. Sudah mau mati !!! “ Teriak bapak kumis ke salah satu temannya.

Hujan masih terjun bebas, awan mulai gelap. Di bajaj, si Bapak kumis menggerutu “ aduhhh.. kasihan amat anak ini, orang tuanya jauh, semua kakanya sibuk dengan kerjaannya, Ane gak bisa ngebayangin kalo ini anak Ane “

Sampai di puskesmas, terpaksa ia juga ikut mengantri. Si Bapak kumis tidak sabar.
“ haaayy.. kamu gak liat ini anak ???? udah mau mati ini !!! cepatan bawa kami ke tempat perawatan !!! “ semua pasien menolehkan matanya ke Si Bapak kumis yang suaranya nyaring di tempat antri yang tadinya tenang suara.
          “ maaf pak, ini sudah Birokasinya seperti ini, semua pasien harus ngantri “ dengan tenang si anak muda di resepsionis mengatakannya
“ agghhhtt ... gila kau ini !! lihat anak ini !!! “ si Bapak kumis naik fital. Ku lihat anak muda resepsionis merasa iba seraya takut kepada si Bapak kumis yang perawakannya seperti TNI gadungan.
           “ hmm.. yasudah pak, nanti saya akan usahakan kepada dokter untuk pasien bapak ini “
 
           “ huih “ si Bapak Kumis menghela nafas lega
                               ***
Setelah mendapat ruang perawatan. Anak itu masih kaku, ia pingsan. Baju basah seragamnya masih belum di ganti. Si Bapak kumis di sampingnya anak itu amat cemas melihat keadaannya. 
“ agghht ... kemana ini dokternya !!! lama banget !!! “ si Bapak Kumis kesal dan keluar dari kamar anak itu mencari dokter.

Anak itu bernafas satu-satu, matanya masih tertutup rapat-rapat dan detak jantungnya semakin tak beraturan.

“kau luar biasa, kau anak yang mandiri, ulet, rajin,  cerdas, pintar. Namun ini sudah takdirmu“ aku membisikan kepadanya, walaupun ku tau dia tak akan mendegarkanku. Hujan masih deras, ruangan ini sepi, gegap nafas anak itu mengisi senyapnya ruangan.

Tapi, sebelum ia menutup mata dan meninggalkan raganya untuk kuantar ke pengadilan terakhir (akhirat), ia menggumamkan satu kalimat yang ku dengar dengan teramat jelas “ ibu bapak, Sokhi kangen “ ku lihat ia berlinang air mata.


Anak itu menghembuskan nafas terakhirnya ........................
Comments
0 Comments

Posting Komentar