Dipaksa untuk TEGUH.. cerita nyata

Di tanah yang lapang, aku dan teman sebayaku bermain bola sepak. Semua gembira, karena hari akhir pekan.

hari yang mulai sore, langit senja mejingga. bayi-bayi hujan mulai turun. Angin menderap pohon-pohon bergoyangan. Sesekali ada lidah kilat di atas awan senja.  awan menggeser menjadi ke hitaman. Para petani mulai pulang ke rumah untuk bertemu sanak keluarga. Aku dan teman sebaya jua meng akhiri  bola sepak.
Semua pulang ke rumah masing-masing. Begitupun dengan ku, kaki yang terpincang ku paksa untuk pulang kerumah, “ibu pasti akan mengobati” batinku. Maklum, aku anak terakhir bisa dibilang bontot, mutlaknya selalu di sayang.
Sampai depan rumah. Setelah di perjalanan penuh perjuangan kaki yang pincang.
Ku dorong gagang pintu kayu rumah ku. Isinya sepi. Tak ada tanda kehidupan sejauh mata mencoba memandang mengamati sampai ke seluruh ruangan.
“ ibu !!! “
“ bapak !! “
“ aku pulang “ ku menderap dengan kaki pincang.
“ tak ada jawaban ?? kemana ibu bapak ku ?? “ batinku cemas
 Lalu, Ku lihat ada beberapa lembar uang dan secarik kertas yang ber isi tulisan di kamarku.
“ anak ku tersayang. Ibu dan bapakmu akan merantau. Jaga baik-baik dirimu. ibu sudah menitipkan kamu kepada kakek dan nenek. Gunakan uang ini dengan sebaik-baiknya. Tetap ber sekolah. Jangan putus semangat. Ibu dan bapak pasti akan kembali dengan membawa kebahagian untuk mu nak ” SOFINGATUN
Klik.tubuhku serasa melayang  se enteng kapas. Hatiku begah, Serasa tak ada riak kehidupan. Tangan ku gemetaran memegang secarik jahanam ini. ku tarik nafas se penuh paru-paru, lalu ku hembuskan ke langit-langit rumah kosong ini. jaring laba-laba seperti meng kasihanku melihat tetesan air mata yang berlinang di sepasang pipi. Sakit perihnya Kaki pincangku meruak menjajah ke seluruh tubuh.

Kedua orang tua ku hanyalah seorang petani. Tapi beliau tidak mujur. Tak ada punya sawah sendiri, hanya menggarap sawah orang dan bagi hasil untuk bayarannya.
barang tentu, itu yang membuat kedua orang tua ku merantau. Aku malu. Sering, jika aku berangkat sekolah, ibu tak punya uang sangu, untuk sarapan pagi saja aku jarang. Penuh terpaksa, ibu meminjam uang ke nenek, acapkali ibu tanpa rasa malu meminjam lembaran kertas berharga itu kepada tetangganya, hanya untuk memberi sangu sekolah ku.

Itu pula yang mengkuatkan ku agar tetap ikhlas dan mencoba mandiri hidup jauh dari orang tua. Ku yakin ini rencana yang terbaik berian yang maha kuasa. walau Pilu tak dapat di pungkiri nyatanya.
                                                         ******
Beberapa hari menjadi minggu, ku coba membiasakan hidup tanpa kedua orang tua. Nenek dan kakek ku sudah sepuh. Ku tak tega jika kulit keriput dan tubuh bongkoknya untuk mengurusi ku. Mandiku, menimba air di sumur dangkal sendiri, makan ku sendiri, mencuci baju, aku sendiri, tidur aku sendiri.
Bila hujan tiba, kilat bergelayutan di atap genteng. rumah nenek yang sudah peok tak sanggup menahan deraan air runcing dari langit. Bocor dimana-mana. Jika malam, sungguh menyiksa. Malangnya cucu mu ini.

Tak bisa di obati. aku rindu perhatian ibu. Hatiku sesak jika mengingat ibu. Batinku tak bernyawa.tak ada riak kehidupan rasanya. Aku terkucilkan. Aku iri dengan teman sebayaku yang selalu di manja ibunya.
Berangkat sekolah aku berjalan kaki. Tak ada tangan yang biasa aku cium sebelum berangkat sekolah dan memberi sangu. Sering jua di perjalanan sekolah aku menangis. Sungguh menangis sadu sedan ...

sekolahku Melewati pesawahan, sungai dan jalan tak beraturan. Aku kelas 4 SD. Seharusnya aku butuh perhatian kedua orang tua selau. Tapi apa daya, ini sudah takdir.
Aku anak terakhir dari 4 bersaudara. Ketiga kakaku mmenimba ilmu di pesantren dan memondok. Sesekali kakaku datang mejenguk ku. Hanya sekedar melihat keadaan ku. Yang kurus kering keronta ini.
suatu hari, kakaku mendatangi rumah nenek tempat aku berteduh tinggal, matanya berkaca-kaca, lalu memegang pundak ku. Gemetar.
“ de, kamu harus bisa mandiri yahh” airmatanya berlinang perih.
“ iyah ka, aku akan mandiri “ aku senyum hampar, mencoba menahan linangan air mata yang mulai terjun. Akupun terbawa kesediahn kaka,
lalu dia menghadiahkan kepada ku gantungan tas berbentuk bola basket dan beberapa bungkus coklat yang ku kira didapat dari kiriman uang ibu bapak di perantauan.

lalu, tak lama. kakaku kembali ke sumber ilmunya. Aku murung kembali. apa yang harus aku lakukan. Anak se umuran denganku, sewajibnya hanya bergantung kepada orang tua.
                                              *******
Sembilan bulan kemudian. Ku jalani alur hidup ku, tanpa menyerah. Walau pada nyatanya sulit untuk di prestasikan. Ku coba tegar, ku coba berdiri dengan kaki munyil bak kijang ini. selamatkan masa depan.
 
Bulan puasa tiba, aku berpuasa sehari penuh. Itu sudah kebiasanku. Saat-saat sahur dan berbuka puasa selalu membuatku menangis’ sungguh menangis !!!. Saat sahur aku menyantap masakan nenek yang sudah sepuh, rasanya hampar jika sampai lidah. Namun, sebagai pengisi perut, untuk seharian berpuasa ....  itu bermasalah. Tapi, buah-buahan yang di punyai kakek dari kebunya itu menambah energi berpuasa jika di jadikan sahur.
Aku puasa full sebulan penuh. Akan lebih bangga jika di hari lebaran, kedua orang tua ku pulang ke kampung dan mengatahui bahwa anaknya berpuasa sebulan penuh. Aku bangga akan itu. Tak lupa jua aku mengaji, dan sholat teraweh.
Semua berjalan dengan sepenuh hati.
Sampailah di penghujung bulan ramadhan, yang di tunggu-tunggu ku kira datang. Kedua orang tuaku.

seperti halnya tetangga-tetangga yang merantau, pastiah wajib di hari lebaran pulang ke kampung halaman. Tapi sampai saat ini, belum ada tanda-tanda rencana ketibaan ibu bapak ku.
1 hari menjelang lebaran. Senja yang di tunggu tiba. Adzan maghrib bersautan di akhir puasa.
Setelah berbuka puasa, semua ramai menyinggahi jalan pedasaan KALIYASA. Ku lihat teman sebayaku, ia gembira dengan baju barunya dan amat senang bermain kembang api, di malam takbiran.
Yang ku rasa uang pembelian kembang api dari kedua orang tuanya. Berbeda denganku, aku tak punya baju baru, sandal baru, koko baru dan serba baru untuk menyambut hari idul fitri paginya.
“ sokhi, mana kembang api mu ?? “ tanya teman ku, yang kurasa sedang mengeledek
“ aku tidak punya “ aku memelas
“ bolehkah aku meminta satu milikmu ?? ” lanjutku
“ beli dewek !! punya uang kan ?? “ ketusnya di depan teman sebayaku
“ a-a-aku ndak punya uang buat beli seperti milik mu “ aku sungguh melas di depan teman sebayaku yang semua memliliki benda ajaib yang bisa terbang dan menyala-nyala lalu di iringi letusan keras. Sungguh banyak macamnya permainan itu.
“ kalo gak punya, mending gak usah main bersama kami, dari pada kamu hanya menyusahkan. Mending pulang sana!! “ sungguh perkataan BAGUS temanku menyakitkan.

*aku pergi dari keramain. Lari ku ke rumah nenek, ada kakek dan nenek sedang berjejeran bak pengantin baru.
“ kakek... nenek.... kapan Ibu bapakku pulang  ???” tanyaku rada tersendak karena ada benih tangis di teggorokan
“ kakek tidak tahu nak. Hukk hukkk “ mulut keriputnya batuk. Aku tak tega bertanya lagi. Apa lagi kepada nenek yang sudah pirang. Jakun kakek sungguh gersang keronta. Aku kasihan.

 TERKUCILKAN. Di luar sana semua orang bersuka ria. Suara takbir saling bersautan. Hatiku sungguh amat lara. Sungguh lara. Aku murung, kakek dan nenek hanya duduk di meja tamu, di depanya ada sesaji untuk para tamu, yang ku rasa kedua orang tua sepuh itu tak tau apa yang ku rasakan. Aku menangis. Suara takbir sungguh menyilet hati. Air mata bermanja bercucuran  di kaca yang ku tempelkan di jendela dengan penuh harapan ada yang datang .......
 
 aku menangis. Suara takbir terus menyilet-nyilet hati. Tangisku semakin menjadi.  

Suara takbir terbawa angin malam’
ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR LAA ILAHAILLAH HU ALLAH HU AKBAR. ALLAH HU AKBAR WALILAH HILHAM.

“ ibu ..... ayah ... kaka ..... aku rindu, di sini aku rala. Disini aku bukan apa-apa tanpa kalian “  ...... *menangis, airmataku terjun, 
Comments
0 Comments

Posting Komentar