Pengalaman Pertama Kali ke Museum Kebangkitan Nasional (Muskitnas)



Museum Kebangkitan Nasional (Muskitnas) memang tidak sepopuler Museum Fatahila, Museum Gajah, atau Museum Bank Indonesia. Dalam sebuah wawancara di chanel youtube lihatjakarta official, Sujiman, kepala seksi palayanan dan penyajianMukitnas mengakui bahwa faktor letak museum sangat berpengaruh dalam hal ini.

Bahkan, aku sempat mengadakan survei kecil-kecilan di Instagram dengan pertanyaan: Apakah kamu pernah ke Museum Kebangkitan Nasional?. Hasilnya, 19 orang memilih opsi ‘dimana tuh’, dan 3 orang mengaku pernah ke Mukitnas.




Lihat Museum Fatahila yang berada di tempat karamaian, dekat dengan stasiun Kota dan permukiman. Jalan menuju ke sana pun mudah diakses dengan transportasi umum. Berbeda dengan Murkitnas, kau harus melewati perumahan untuk sampai kesana.

Minggu kemarin, aku ke Muskitnas, naik busway turun di Senen. Dan setelah itu berjalan cukup panjang untuk sampai di museum. Kami melewati gang-gang, dari sini aku bisa berkesimpulan bahwa benar, tempat museum yang satu ini kurang strategis.

Melewati perumahan

Padahal, museum yang dibangun pada 1908 ini memiliki koleksi yang cukup lengkap tentang dunia kedokteran, pers, dan keorganisasian. Aku tertarik  ke museum ini pun karena di internet aku melihat ada patung bapak Pers Indonesia, Tirto.

Tirto adalah pahwalan idolaku, ia menjadi orang Indonesia pertama yang mampu menggunakan media untuk propaganda dan mengkritik Belanda pada waktu itu.

Aku tidak bisa membayangkan apa yang beliau rasakan ketika itu. Yang pasti, bertemu dengan patungnya sudah membuatku bahagia.

***

Biaya masuk ke museum yang dulunya sebagai tempat menimba ilmu Ki Hadjar Dewantara ini  bisa dibilang murah, hanya Rp. 2000 sudah mendapatkan buku panduan yang cukup lengkap. Dan tentu saja kita disajikan dengan koleksi museum yang juga lengkap.

tiket
isi data diri untuk mendapat buku panduan

Saat aku datang ke museum itu, suasana sangat sepi, hanya terlihat beberapa orang yang sedang berfoto dan melihat koleksi. Namun, ketika aku bertanya dengan ibu kantin di museum, dia bilang begini:

“Kalo Minggu memang sepi, Mas, rame itu kalau Sabtu, ada pertunjukan gemelan di aula. Ohya, kalau pagi di sini juga rame kok.”

kantin

Aku datang ke museum sekitar jam 12 siang, dan memang yang kudapatkan suasana yang sepi.
Tidak hanya sepi, kadang juga ada kesan horor ketika kau masuk ke ruangan yang berisi patung-patung. Selain itu, tempat yang paling berkesan di museum ini menurutku adalah ketika kau masuk ke ruang asrama.

Ruang asrama ini dulunya digunakan oleh para pelajar (dulunya gedung ini adalah gedung sekolah). Di asrama itu memang terkesan begitu menegangkan, ada kasur yang serba putih, dan ruangan yang besar dan kokoh menambah kesan magis ketika melewatinya.

merinding

***

Kantin di museum ini pun nyaman, ada wifi gratis juga, passwordnya muskitnas1908. Kau bisa membeli popmie dan sebagainya. Ibu kantinnya pun ramah, ohya, penjaganya juga ramah. Menambah kesan bahwa museum ini tempat yang nyaman bagi siapa saja.

Dari Mukitnas, kau bisa main ke Atrium yang jaraknya tidak terlalu jauh. Di sana kamu bisa jalan-jalan ke toko buku atau bioskop atau makan-makan—setelah puas menikmati koleksi  museum.
Jadi, begitulah cerita singkatku di Museum Kebangkitan Nasional. Yuk lestarikan budaya kita dan jangan lupakan sejarah!

Lebih lanjut tentang Muskitnas, silakan klik di sini 
Kunjungi websitenya di sini

foto-foto:









Kenapa Membaca Cerpen Eko Triono Membuatku Tidak Bisa Tenang?



Hatiku sudah lama berencana jadi lemari es. Biar suhu kecewa dan sedih bisa diatur.
(Hal. 149)

Mungkin aku sudah bisa dikatakan terlambat karena baru mengenal cerpen-cerpen Eko Triono belakangan ini. Sebelum membaca buku kumpulan cerpennya berjudul Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-Pohon, sebelumnya aku hanya sempat membaca satu cerpennya yang berjudul sama dengan judul buku kumpulan cerpen tersebut.

Membaca cerpen Eko Triono menurutku sangat asyik dan seolah membawaku bertamasya ke dunia tanpa batas. Satu hal yang kukhawatrikan ketika membaca buku kumpulan cerpen adalah ketika satu cerpen dengan cerpen selanjutnya mempunyai rasa yang sama. Dan itu sangat menyebalkan.

Namun, di buku kumpulan cerpen ini, Eko Triono seperti sudah menyiasati itu semua. Di setiap cerpennya mempunyai rasa sendiri-sendiri. Dan menurutku, penyisipan fiksimini di sela-sela cerpen yang panjang sangat bagus untuk membuat pembaca tidak bosan. Melalui fiksimini tersebut pembaca seolah dibawa beristirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan yang jauh, yang penuh warna dan, penuh tanda tanya.

Seperti yang dikatakan Tia Stiadi, kritikus sastra, di pengantar buku ini, bahwa Eko menghadirkan tamasya antah-berantah, suasana yang lahir dari keajaiaban fantasi dan penerbangan khayal edan-edanan. Dan aku setuju.

Menurutku, bahasa yang digunakan Eko dalam cerpen-cerpennya sangat sederhana namun berisi, lebih cenderung ke penghematan kata, kata-kata yang ia gunakan mempunyai kekuatan. Di tiap pembuka cerpennya, pun ia secara lugas langsung masuk ke inti cerita tanpa embel-embel deskripsi yang ‘disengaja’. Deskripsi itu, dalam cerpen-cerpennya, hadir dan terbayang di kepala pembaca dengan sendirinya ketika cerita terus berjalan.

Terkait pembuka cerpen, aku suka dengan cerpen yang berjudul Fantasmagoria Oligo:
Kita terhentak! Kereta Lumbrica berhenti mendadak. Padahal, baru saja melewati terowangan Pegunungan Rubella. Ada apa? (hal. 199)

Dalam buku kumpulan cerpen ini, Eko mengangkat cerita tentang cinta, kesepian, pembunuhan, politik, keluarga, bahkan kegilaan. Semuanya terkemas sangat apik menjadi cerita yang menggelitik dan kadang membuat pembaca tersentak.

Dengan tekhnik berceritanya, kadang pembaca dibawa bertanya-tanya sejak awal cerita hingga akhirnya semua terjelaskan di akhir cerita. Dan tekhnik ini sungguh membuat pembaca tanpa sadar ingin terus membuka halaman demi halaman karena penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya.

Seperti dalam cerpen Turi-Turi Tobong, berkisah tentang seorang bocah yang pergi ke dukun, kemudian ia melalui perjalanan panjang dengan truk besar. Sampai di suatu tempat, ia duduk di tepi jala gawang, dan ternyata ia (hanya) sedang menonton pertandingan sepak bola antar desa. Ketika pertandingan akan dimulai, ia keluarkan air kencingnya yang sudah ia wadahkan di plastik dari sang dukun itu dan kemudian menumpahkannya di tiang gawang. Dan itu menjadi sebab kanapa tim sepak bola desanya menang.

Ceritanya sangat sederhana, namun dikemas sangat apik oleh Eko dan membuat pembaca terus memperhatikan gerak-geraik apa yang akan dilakukan tokoh selanjutnya.

Favorit 

Cerpen favoritku di buku kumpulan cerpen ini berjudul Bunga Luar Angkasa. Bercerita tentang sepasang suami istri. Suami ini bekerja sebaga pebisnis dan pada pagi itu ia akan bertemu dengan alien. Sedang istrinya bekerja di sebuah toko bunga.

Dari awal cerita, ketika si suami berkata ingin bertemu dengan alien, aku sudah curiga, apa yang salah? Keganjilan apa ini?




Tulisan Eko seolah mendobrak pakem yang sudah ada di wajah umum, ia berkeliaran tak terkontrol, dan kita hanya perlu membuka kepala lebih luas lagi untuk bisa menikmati. Tanpa itu, kau tidak bisa menikmati cerpen-cerpennya, setidaknya menurutku.

Cerpen-cerpen Eko membuat pembaca ikut membangun cerita itu bersama. Seperti gunung es, penulis hanya menghadirkan permukaan kisahnya saja kepada pembaca dan seraya demikian memyembunyikan sebagian besar kisahnya. Begitulah yang dikatakan Tia Stiadi di pengantar.

Cerpen Eko di buku ini membuat kita terus bertanya-tanya dan tidak membuat kita tenang. Ia membawa kita bertamasya di dunia antah-berantah. Dengan gaya bahasa dan tekhik berceritanya, kita seolah tersihir dan ingin terus melanjutkan membaca sampai habis. Itulah yang kuyakini kenapa aku tidak perlu banyak waktu untuk menghabiskan buku ini.

Ini adalah salah satu buku favoritku yang kubaca di tahun 2017. Terima kasih, Mas Eko, sudah menulis cerpen-cerpen yang menakjubkan!

Membaca Alkudus: Membaca Kitab Suci Fiksi




Tuhan terlalu kesepian bila mengurusi hal-hal kecil yang manusia sendiri tahu apa yang baik baginya dan apa yang tidak. (hal. 260)

Diceritakan Alkudus merupakan kitab suci bagi agama Kaib dengan Erelah Sang Utusan sebagai rasul terakhir. Seperti halnya kitab suci, isinya adalah tentang kisah para nabi dan seruan agar belajar dari orang-orang terdahulu. Juga anjuran-anjuran untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan.

Sebelumnya aku tak pernah menyangka ada orang berpikiran untuk menulis novel seperti ini, novel yang ‘mengadopsi’ firman Tuhan di kitab suci kita. Penulis sukses membuat seolah Alkudus merupakan firman Tuhan dengan menggunakan bahasa langit.

Sejauh ini, buku semacam ini yang pernah kubaca adalah Seruan Zahatustra. Bercerita tentang utusan yang menyeru kepada kaumnya. Tapi buku itu tak kunjung usai kubaca, karena (1) berat, (2) berupa ebook. Btw, kubaru sadar bahwa apa yang dimaksud ‘Tuhan sudah mati’ dalam buku itu adalah membunuh gambaran-gambaran Tuhan yang ada di kepala manusia.

Novel ini, Alkudus, dibuka dengan kisah Dama dan Waha, manusia pertama di bumi yang diturunkan dari surga. Kemudian kisah para nabi dengan berbagai macam mukjizat. Namun Erelah, rasul agama Kaib sendiri tidak mempunyai mukjizat, menurut pengikutnya, kehadiran Erelah sendiri sudah sebuah mukjizat.

“Maka Tuhan memilih cerita sebagai jalan bagi firman. Di sisi-sisinya Tuhan sertakan perintah dan larangan sebagai petunjuk agar jalanmu menjadi lurus dan lempang…. Sebaik-baiknya kebahagiaan adalah yang dibagi, termasuk dengan bercerita.” (hal. 16-17)

Erelah sendri merupakan seorang perempuan, dan banyak dari kaumnya yang meragukannya menjadi Rasul.


Membaca novel ini layaknya membaca kitab suci sungguhan, penulis dengan lihainya merangkai cerita para nabi. Di sana dijelaskan ada malaikat, iblis, manusia, dan segela unsur yang juga disebutkan dalam kitab suci kita.

Dan ini membuatku yakin bahwa jika kita melihat ‘kitab suci’ hanya sebatas kisah-kisah masa lalu, sungguhlah amat kerdil. Kitab suci adalah yang bisa membuat diri kita berbuat baik dari waktu ke waktu. Kitab suci tidak hanya dibaca melalui lisan, namun juga diimplementasikan dalam kehidupan.

Terlepas dari itu semua, aku sepertinya yakin bahwa penulis novel ini agaknya terpengaruhi terhadap kisah-kisah di Al-qur’an, sebab ada beberapa kisah yang mirip. Namun bedanya di novel ini penulis menjelaskan dengan gamblang dengan kata-kata yang lebih lugas dan jelas.

Pola dalam setiap bab di novel ini hampir sama satu dengan yang lain, yakni: cerita tentang para nabi dan mukjizatnya kemudian imbauan untuk berbuat baik di akhir babnya.

Ada kisah yang menarik di novel ini yang menurutku agak menggelitik. Yakni kisah tentang Kaum Kawut yang menipu usia. Kaum ini merasa perlu untuk membuat dirinya selalu muda agar bisa terus beribadah kepada Tuhan. Orang yang beruban akan disemir, orang yang sudah keriput kulitnya maka mereka akan berusaha agar mengencangkannya, bagaimanapun mereka akan berusaha agar terlihat muda.

Diurapi kulit mereka dengan beragam ramuan agar tiada berkerut dan senantiasa kencang. Tidak perempuan tidak lelaki semuanya rutin mengurapi kulit sekujur tubuh mereka. Menutupinya dari cahaya matahari yang Kami sinarkan. Sungguh mereka itu adalah kaum yang menduskatan nikmat-Ku sebab telah kami beri anugerah di setiap percik cahaya matahari. Bukankah pohon-pohon tumbuh demikian subur karena matahari yang Kami pancarkan? Dan tanah yang darinya manusia Kami ciptakan selalu butuh cahaya matahari. Seperti juga titik kecil seluruh kulit mereka tampak keringat mengucur. (Hal. 130)

Karena kaum ini semakin sesat, maka diutuslah Sikwa untuk menegur dan mengingatkan mereka bahwa apa yang telah mereka perbuat adalah penipuan atas diri sendiri.

Namun mereka menjawab, “Dan sesungguhnya kami menginginkan kemudahan agar senantiasa dapat beribadat kepada Tuhan. Bagaimanakah nasib Tuhan apabila tidak ada lagi manusia yang menyembahnya? Maka kami ingin hidup meskipun Tuhan tidak mengizinkannya.”

***

Setelah membaca seluruh novel ini, aku menemukan satu titik bahwa kisah-kisah dalam Alkudus membicarakan tentang ketentuan Tuhan yang tidak disadari oleh manusia. Dan ketentuan-ketentuan itu akan tampak bagi mereka yang berpikir. Manusia diberi akal untuk melihat kebesaran Tuhan, namun dari sekian banyak kaum yang dikisahkan dalam Alkudus, banyak dari mereka yang bebal. Secara halus penulis seperti menyinggung cara beragama kita belakangan ini.

Mereka yang mengingkari ketentuan itu, masih dalam novel ini, akan diberi azab, sedang mereka yang beriman, akan diberi ujian, demikianlah ketentuan Tuhan.

Tuhan terlalu kesepian bila mengurusi hal-hal kecil yang manusia sendiri tahu apa yang baik baginya dan apa yang tidak. (hal. 260.)

Ada banyak pesan yang bisa kita ambil dari novel ini, penulis juga sangat pandai memasukan kata-kata yang seperti sebuah syair di antara cerita-cerita. Membuat pembaca tidak bosan untuk melanjutkan membaca dari halaman ke halaman.

Sebagai kitab suci agama Kaib, aku mengimani kitab ini dalam artian aku setuju dengan imbauan yang ada dalam kitab ini walau ia hanya fiksi. Aku merupakan orang yang tidak terlalu mudah mengingat ayat-ayat kitab suci, namun di Alkudus ini, masih saja ada firman yang menghantui kepalaku. Bahwa sesungguhnya ujian keimanan paling berat adalah ketika kau dalam keadaan sendirian.

Dalam membaca novel ini, aku hampir lupa bahwa seluruh dalam buku ini adalah fiksi, mungkin bisa jadi maksud dari penulis, Tuhan di buku ini juga fiksi belaka.

Ibu Rumah Tangga dan Literasi Kita

Adalah Mbak Umi—ibu rumah tangga yang memiliki dua anak yang lucu-lucu—lebih memilih membeli buku ketimbang baju baru. Waktu aku pulang kampung, aku main ke rumahnya untuk meminjam buku. Awal pertemuan kami adalah ketika ada event kepenulisan Kampus Fiksi di Jogja. Di akhir acara, aku bertemu Mbak Umi yang ternyata satu kampung denganku. Singkat waktu, kami saling kenal dan akhirnya pada edisi pulang kampung akhir tahun kemarin, aku datang ke rumahnya dan meminjam buku. Begitu.




Beliau mempunyai koleksi buku yang lumayan banyak. Mulai dari Tere Liye hingga Hamsad Rangkuti, dari pop hingga sastra. Selain mengoleksi buku bacaan, Mbak Umi di sisi luang waktunya sebagai ibu rumah tangga juga menyempatkan untuk membuka lapak baca buku gratis di sekolah anaknya.

“Jadi ya yang dibaca di sekolah itu ya buku nonfiksi,” katanya, “orang sini kan tidak suka buku beginian.” Ia mengambil salah satu buku sastra dan menaruhnya kembali. Sebagian besar koleksi buku nonfiksinya didapat dari event Kampus Fiksi.

Kini beliau dikaruniai dua anak: Isna dan Alif. Isna masih PAUD, dan Alif sekolah dasar. Mbak Umi mengakui bahwa jam untuk membaca buku sangat sulit untuk dibagi dengan pekerjaan sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga. Untuk baca aja susah, apalagi menulis, kurang lebih begitu ungkapnya.

Maka berikutnya kami membahas Pia Devina. Penulis produktif yang superduper sibuk. Ia adalah ibu rumah tangga, juga bekerja. Tapi ia bisa membagi waktu untuk menulis dan hasilnya ia bisa membuat beberapa novel. Salud memang dengan mbak Pia Devina, kadang aku yang punya banyak waktu ini suka minder. (Baca: 30 Questions with Pia Devina; Saya Menulis Setelah Anak Saya Tidur)

“Ya itu kan Pia Devina,” kata Mbak Umi yang tersinggung, “dia mah nggak ada bandingannya. Hahaha.”

Sejauh ini, di kampungku aku mengenal Mbak Umi sebagai penggiat baca di sekitarnya. Tentu saja tujuannya untuk membuat melek baca masyarakat sekitar.

Faktanya, kampungku memang jauh dari toko buku, kita harus pergi jauh ke kota dengan memakan waktu berjam-jam untuk bertemu toko buku.



Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku lebih banyak menghabiskan waktu di kampung. Tidak ada toko buku, bioskop, sinyal, ah itu sangat membuatku mati kebosanan.

Dua hal tersebut: toko buku dan bioskop menurutku adalah dua kebutuhan pokok selain makan dan minum. Sebab dengan dua hal tersebut kita bisa mengisi kehidupan ini dengan hal-hal yang baru. Dengan membaca buku kita bisa mendapat hal baru, begitu pula nonton film di bioskop.

Kembali lagi ke Mbak Umi yang kupinjam bukunya beberapa. Aku tidak tahu ada berapa ‘Mbak Umi’ di luar sana, yang pasti ibu rumah tangga seperti Mbak Umi sangat perlu dicontoh oleh ibu rumah tangga lain. (Juga kamu para calon ibu rumah tangga, hehe)

Dengan melek baca, tentu saja ibu rumah tangga akan terbuka pikirannya, menerima banyak ilmu dan jauh dari kesan kuno. Dampaknya adalah bagi anak-anaknya kelak. Jika ibunya saja hobi membaca, pasti kemungkinan besar anaknya tak jauh dari hobi tersebut. Sehingga nantinya akan timbul pemikiran-pemikiran maju tanpa halangan apapun di kepala si anak, didukung dengan ibunya yang melek pengetahuan berkat buku.

Jadi, ada berapa koleksi bukumu di rumah?


dari kiri: Mas Daru, Mbak Umi, Pangeran Bersarung
                        

Risiko Mencintai Gadis yang Dicintai Banyak Orang


Sabarlah sedikit, Sayang. Aku dicintai banyak orang. – Olly Agneta

Masa-masa sekolah, apalagi SMA, adalah masa yang sulit dilupakan. Karena ketika itu kita berada di posisi dalam pencarian jati diri. Di saat itu pula kita berpikir tentang masa depan, sedangkan umur kita masih dibilang remaja—masa depan hanya untuk orang dewasa.

Olly Agneta merupakan gadis yang sulit ditebak, ia malakukan apa saja yang ia suka, dan menjadi pusat perhatian di asrama Cocordia. Ia juga mengedarkan rokok dan minuman fermentasi. Namun, sejauh itu ia tidak pernah tertangkap oleh pihak asrama karena pelanggarannya tersebut, ia sangat cerdik dan lihai.

Begitulah kira-kira gambaran tokoh sentral di novel It’s a Could With Legs, karya Reza Reinaldo. Bercerita tentang kehidupan di asrama sekolah SMA. Penulis menyoroti bagaimana kenakalan remaja dan percintaan yang, tentu saja, semua itu sama-sama kita lakukan ketika di masa SMA.

Dalam novel ini, penulis membuat tokoh yang edan-edanan bernama Olly Agneta. Olly digambarkan sangat berantakan namun ia selalu dinaungi nasib beruntung. Olly merupakan gadis yang mempesona dan membuat siapa saja jatuh cinta, termasuk Enzi Fadel si anak baru nan lugu.

Olly suka menulis dan bermain gitar, kebiasaannya yang lain adalah bermain di dalam kardus, masuk ke sana dan berkhayal.

“Kita akan menembus atmosfer tanpa pakaian astronot dan tabung oksigen. Joseph memiliki penis yang lebih panjang daripada kesabarannya, maksudku, jangan sampai dia menyabotasi pakaian astronotmu dan membuatmu mati konyol di luar bumi. Oh, ampun, mati di dalam bumi saja perlu perjuangan. Nah, sekarang, planet mana yang akan kita datangi?” ( hal. 92)

Begitulah kata Olly ketika mengajak Enzi si anak baru nan lugu itu bermain di dalam kardus. Adegan seperti ini mengingatkanku pada kartun sepongebob, haha..



Novel ini merupakan salah satu novel populer di storial.co, beberapa kali menjadi buku pilihan editor dan sudah dibaca oleh ribuan pembaca. Aku mengenal penulisnya, Reza Reinaldo, dan kutahu dia mempunyai jelajah baca yang tinggi. Bahkan aku pernah mendengarnya langsung bercerita tentang novel ini.

Di novel ini, kita akan menemukan percakapan-percakapan yang tidak biasa. Apalagi ketika membaca dialog Olly, dia sangat cerdas dan banyak bicara. Itu mungkin dilatarbelakangi karena ia penulis dan membaca banyak buku. Dan Enzi, si anak baru dan lugu itu, bisa beradaptasi dengan cepat cara berpikir Olly hingga akhirnya kedekatan mereka terjadi, dan pada akhirnya Enzi jatuh cinta kepada Olly.

Namun, jatuh cinta kepada Olly bukanlah hal mudah. Enzi seperti dipermainkan dan dia bahkan tidak mempunyai alasan untuk marah kepadanya ketika Olly melakukan hal yang tidak seharusnya. Mereka tidak mempunyai ikatan apa-apa, walau mereka sudah pernah berciuman.

Jika kau menganggap hubungan istemewa itu seperti halnya bersentuhan dan berciuman. Itu sama halnya seperti kulit yang menua. (aku lupa halaman berapa, tapi aku ingat kata-kata ini)

Olly dicintai banyak orang, dan sudah membuat banyak lelaki patah hati karena ditolaknya. Dia melakukan hal yang ia suka, bebas sebebas-bebasnya, tanpa ikatan apa-apa.

Awan dengan Kaki

Novel ini bercerita tentang Olly yang ingin menulis novel ketiganya berjudul Awan dengan Kaki (masih di asrama Cocordia)  namun ia tidak tahu arti dari metamorfisis tersebut. Maka ia meminta bantuan kepada Enzi untuk membantu mencari arti tersebut. Karena itu, kadang mereka berdua saling memandang langit bersama, meneliti, ketika siang maupun malam. Dari sinilah kedakatan mereka dimulai.

Namun, hingga akhirnya Olly menghilang, Enzi belum memberitahu arti dari Awan dengan Kaki yang telah ia temukan. Ia menulis arti metamorfisis itu ketika Olly sudah tidak ada di sampingnya.
Novel ini sangat menarik dan membuat pembaca terus tertarik untuk membuka dari bab satu ke bab selanjutnya. Tokoh sentral di sini adalah Olly, dia digambarkan sangat gila namun di sisi lain ia sangat menarik. Apa yang dilakukan tokoh ini selalu membuat penasaran pembaca.

Akhir dari novel ini cukup menohok, dan sukses membuatku membanting novel ini keras-keras ke lantai (ini benar terjadi). Kurangajar! Aku seperti dipermainkan oleh Olly Agneta!

Pada akhirnya, kukatakan ini adalah novel yang emosional.
Good job, Ka Reza! Ditunggu karya-karya selanjutnya!

Bagaimana Cara Mengingat Masa Depan?

Setahun terakhir atau lebih, ada seorang wanita yang dekat denganku, dan itu berbeda dari sebelum-sebelumnya. Kami melakukan banyak hal bersama, apa saja, dan mungkin jika kuceritakan di sini, pasti kau akan berkata, “Mustahil, tidak mungkin! Kalian tidak mungkin melakukan itu!”

Tapi selama itu pula, kami tidak mempunyai status yang jelas. Aku sendiri bingung kenapa bisa. Dan puncaknya adalah, ketika kami sudah jarang berhubungan lagi, dia dekat dengan laki-laki lain dan berkata, “Aku nyaman dengannya.”

Semua berjalan begitu saja, namanya juga tanpa status yang jelas, kami tentu saja tidak berhak untuk melarang-larang dekat dengan sesiapa, bukan? Kecuali jika memang kau mempunyai status dan mempunyai komitmen yang jelas.

Dan akhirnya, kami yang dekat setahun terakhir, yang telah menghabiskan banyak waktu bersama, mengukir kenangan-kenangan, berpisah begitu saja. Begitu saja.

Tentu saja, sekali lagi, kami tidak punya hak untuk menolak hal ini. Lagi pula dari awal pertemuan ini juga tak direncakan, dan begitu pula perpisahannya kan?

Ya, tentu saja kenangan itu akan terus menghantuimu, apalagi hal itu adalah hal ‘pertama yang kaulakukan selama hidupmu’. Tapi tidak apa, kenangan hanya lahir untuk dikenang saja. Kehidupan adalah hari ini, detik ini juga, bukan masa depan, bukan masa lalu.

Dan kita semua hidup di detik yang sama, sekali lagi, bukan untuk masa depan maupun masa lalu.
Seorang teman pernah bertanya padaku, “Bagaimana cara mengingat masa depan?”

Aku tidak langsung menjawabnya. Tapi yang kupikirkan ketika mendengar pertanyaan itu adalah begini, “Caranya adalah kau harus pergi ke masa depan.”

Baiklah, kita tidak tau masa depan itu kapan dan masa lalu itu kapan, mereka tidak jelas, absurd, dan tidak perlu untuk dipikirkan. Sekali lagi, kita hidup di detik ini, bukan untuk masa depan maupun masa lalu.

Tapi tetap saja, manusia mempunyai ingatan untuk kebutuhan masa lalunya, dan rencana untuk masa depannya. Tapi kita kadang lupa, hal itu tetaplah sia-sia. Akan lebih baik kau menikmati harimu, detik ini juga, ketimbang terus mengingat dan merencanakan hal-hal yang tidak pasti.

Balik lagi pada wanita setahun lalu. Baiklah, dia sudah mempunyai lelaki yang bisa membuatnya nyaman, kuterima itu, dan dia menghabiskan waktu bersamanya. Mungkin dia akan melakukan hal yang sama ketika dia bersamaku dengan lelaki barunya. Dan membayangkannya, kadang terasa sakit juga di dada. Tapi itu adalah risikonya, kau bukan siapa-siapa, kau tidak punya hubungan apa-apa, apa hakmu?

Dan sialnya, ketika dekat dengannya, aku selalu melihatnya sebagai poros kehidupanku. Di kehidupanku, jujur saja, aku tidak punya banyak teman, dan dia adalah orang satu-satunya yang bisa saling berbagi dan sebagainya tanpa batas, menghabiskan waktu dan sebagainya tanpa batas. Tapi kini sudah tidak lagi, aku kehilangan teman (atau lebih dari itu?).

Dan hari-hariku pasti akan pincang, tapi itu tentu saja hanya sementara, semua akan baik-baik saja ketika kau kembali kepada kehidupanmu sebelum bertemu dengannya. Dan semua pasti akan baik-baik saja, pasti.

***

Kita semua tau bahwa kehilangan itu pasti sangat menyedihkan. Bisa membuatmu despresi dan ingin mengambil kepalamu untuk dibenturkan ke bebatuan. Inilah risiko jika kau terlalu dekat dengan seseorang yang tidak pasti akan terus bersamamu.

Tapi hanya orang bodoh yang tidak belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya. Mari kita membuka bab baru dalam cerita kehidupan ini, tulis namamu saja dulu, jika kau menemukan nama baru di halaman seterusnya, jangan buru-buru kau catat, biarkan saja dia di sana, dan biarkan dia menjadi sesuatu yang fana. Sembuhkan dulu hatimu, jangan buru-buru membuat kisah baru dengan nama baru, jika akhirnya akan sama dengan bab sebelumnya, buat apa? Belajarlah.  

Perempuan Seperti Marlina di Film Marlina si Pembunuh dalam 4 Babak adalah Tipe Perempuan Idaman Lelaki Zaman Sekarang

   
sumber gambar: youtube.com
Film ini dibuka dengan aksi perampokan di sebuah rumah yang jauh dari keramaian. Tinggal di rumah itu seorang janda bernama Marlina. Ia sebenarnya hidup berdua dengan suaminya yang sudah berupa mumi yang ditaruhnya di ruangan tengah. Sosok mumi ini di kelanjutan cerita sangat greget, apalagi posisinya yang duduk di sudut ruangan. Mungkin jika mumi itu dihilangkan, cerita Marlina akan hambar.

Markus, si bos perampok itu datang lebih awal daripada 6 anak buahnya yang lain.

“Mau apa kau ke sini?” tanya Marlina tenang (atau ia mencoba untuk tenang?)
“Mau ambil uangmu, jika masih ada waktu, tidur denganku, kita bertujuh.”

Dari sini saja sudah terbayang apa-apa yang akan terjadi selanjutnya pasti menegangkan. Akhirnya 6 anak buah Markus datang tepat di hari mulai gelap. Marlina menyiapkan makanan untuk mereka: sup ayam. Yang kemudian ia beri racun dan membunuh 4 anak buah Markus, Markus sendiri tidak memakan sup ayam itu, ia tidur di ranjang.

Setelah anak buah itu mati, Marlina mencoba memberi sup ayam yang sudah diberinya racun kepada Markus yang sedang tertidur. Namun sialnya sup ayam itu jatuh berantakan. Akhirnya di ranjang tampat Markus tertidur, Marlina dipaksa untuk melayaninya.

Marlina mencoba memberontak, tapi ia terlalu lemah, dengan cerdiknya ketika ia diperkosa, ia mengambil parang milik Markus dan menebas kepalanya.


itu yang di pojokan, si mumi. sumber gambar: youtube.com



Jujur saja, adegan pemerkosaan di sini menurutku cukup ‘berani’. Dan itu malah membuatku yakin film ini sungguh totalitas.

Cerita selanjutnya Marlina mencari keadilan terhadap apa yang telah ia alami sambil membawa kepala Markus yang ia penggal. Dan sialnya, Markus yang sudah mati (tentu saja tanpa kepala), kini berupa hantu, terus menguntit Marlina kemanapun ia pergi sambil memainkan alat musik dengan alunan yang magis. Hal itu semakin membuat penonton merasa ‘hiiii’ ngeri dalam menikmati film.
Perjalanan Marlina dalam mencari keadilan cukup seru, mungkin bisa dikatakan ini adalah satire yang sangat mengena terhadap keadilan di negara ini. Apalagi ketika ia sudah sampai di kantor polisi, di sana ia sama sekali tidak dilayani dengan baik.

Ah pokoknya tonton filmnya biar lebih jelas.

Setelah film ini rilis bertepatan dengan ulang tahunku: 16 November 2017, aku langsung tertarik. Aku membaca di beberapa media online, ternyata film ini sudah sering mengikuti festival internasional.


Film ini menurutku sederhana, tidak muluk-muluk, pengambilan gambarnya pun ‘kalem’, ia lebih mementingkan pergerakan tokoh ketimbang pergerakan kamera. Bahkan lebih sering yang kulihat kamera terus pada satu sudut saja dalam jangka waktu yang cukup lama. Tapi itu tidak membosankan, tokoh-tokoh yang ada di sana terus bergarak dengan apik.

Semua itu ditunjang dengan pemandangan Sumba yang luar biasa. Bahkan aku tidak mengira bahwa ada tempat seperti ini di Indonesia. Dan itu sukses membuatku ingin ke sana, melihat secara langsung. Di samping itu juga tidak kalah menarik: musik pengiring dalam film ini.

Dialog di film ini menggunakan bahasa Sumba dengan logat yang kental. Beberapa membuatku  kesulitan untuk mengartikan, walau ada subtitle Inggris di sana. Kendati demikian, itu bukanlah penghalang menurutku, tapi itu adalah sebuah totalitas sebuah film.

wajib nonton pokoknya. sumber gambar: detak.co

Kisah Novi, teman Marlina yang sedang hamil dan berusaha untuk bertemu suaminya, juga sangat menarik untuk diikuti. Novi digambarkan menjadi perempuan yang sangat cerewet, sangat berbanding terbalik dengan Marlina. Novi menurutku adalah salah satu elemen penting dalam kehidupan alur cerita.



Perempuan seperti Marlina di dalam film ini digambarkan begitu kuat dan tenang dalam mengatasi masalah. Ia terlihat sangat tegar dan tak kenal lelah. Ia pergi jauh untuk mencari keadilan, dan mempunyai tekad yang kuat untuk itu.

Perempuan seperti Marlina adalah tipe idaman lelaki zaman sekarang. Ia mampu membela dirinya, mempunyai tekad yang kuat, tenang, dan sangat menawan. Andai memang ada perempuan seperti itu, tolong berikan satu untukku, Tuhan. Jikapun nanti kami menikah dan aku meninggal duluan, pasti arwahku bakal baik-baik saja, karena aku meninggalkan wanita yang kuat, dan aku akan tenang di dunia sana.**