Kenapa Membaca Cerpen Eko Triono Membuatku Tidak Bisa Tenang?
Hatiku sudah lama berencana jadi lemari es. Biar suhu kecewa dan sedih bisa diatur. (Hal. 149)
Mungkin aku sudah bisa dikatakan terlambat karena baru mengenal cerpen-cerpen Eko Triono belakangan ini. Sebelum membaca buku kumpulan cerpennya berjudul Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-Pohon, sebelumnya aku hanya sempat membaca satu cerpennya yang berjudul sama dengan judul buku kumpulan cerpen tersebut.
Membaca cerpen Eko Triono menurutku sangat asyik dan seolah membawaku bertamasya ke dunia tanpa batas. Satu hal yang kukhawatrikan ketika membaca buku kumpulan cerpen adalah ketika satu cerpen dengan cerpen selanjutnya mempunyai rasa yang sama. Dan itu sangat menyebalkan.
Namun, di buku kumpulan cerpen ini, Eko Triono seperti sudah menyiasati itu semua. Di setiap cerpennya mempunyai rasa sendiri-sendiri. Dan menurutku, penyisipan fiksimini di sela-sela cerpen yang panjang sangat bagus untuk membuat pembaca tidak bosan. Melalui fiksimini tersebut pembaca seolah dibawa beristirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan yang jauh, yang penuh warna dan, penuh tanda tanya.
Seperti yang dikatakan Tia Stiadi, kritikus sastra, di pengantar buku ini, bahwa Eko menghadirkan tamasya antah-berantah, suasana yang lahir dari keajaiaban fantasi dan penerbangan khayal edan-edanan. Dan aku setuju.
Menurutku, bahasa yang digunakan Eko dalam cerpen-cerpennya sangat sederhana namun berisi, lebih cenderung ke penghematan kata, kata-kata yang ia gunakan mempunyai kekuatan. Di tiap pembuka cerpennya, pun ia secara lugas langsung masuk ke inti cerita tanpa embel-embel deskripsi yang ‘disengaja’. Deskripsi itu, dalam cerpen-cerpennya, hadir dan terbayang di kepala pembaca dengan sendirinya ketika cerita terus berjalan.
Terkait pembuka cerpen, aku suka dengan cerpen yang berjudul Fantasmagoria Oligo:
Kita terhentak! Kereta Lumbrica berhenti mendadak. Padahal, baru saja melewati terowangan Pegunungan Rubella. Ada apa? (hal. 199)
Dalam buku kumpulan cerpen ini, Eko mengangkat cerita tentang cinta, kesepian, pembunuhan, politik, keluarga, bahkan kegilaan. Semuanya terkemas sangat apik menjadi cerita yang menggelitik dan kadang membuat pembaca tersentak.
Dengan tekhnik berceritanya, kadang pembaca dibawa bertanya-tanya sejak awal cerita hingga akhirnya semua terjelaskan di akhir cerita. Dan tekhnik ini sungguh membuat pembaca tanpa sadar ingin terus membuka halaman demi halaman karena penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya.
Seperti dalam cerpen Turi-Turi Tobong, berkisah tentang seorang bocah yang pergi ke dukun, kemudian ia melalui perjalanan panjang dengan truk besar. Sampai di suatu tempat, ia duduk di tepi jala gawang, dan ternyata ia (hanya) sedang menonton pertandingan sepak bola antar desa. Ketika pertandingan akan dimulai, ia keluarkan air kencingnya yang sudah ia wadahkan di plastik dari sang dukun itu dan kemudian menumpahkannya di tiang gawang. Dan itu menjadi sebab kanapa tim sepak bola desanya menang.
Ceritanya sangat sederhana, namun dikemas sangat apik oleh Eko dan membuat pembaca terus memperhatikan gerak-geraik apa yang akan dilakukan tokoh selanjutnya.
Favorit
Cerpen favoritku di buku kumpulan cerpen ini berjudul Bunga Luar Angkasa. Bercerita tentang sepasang suami istri. Suami ini bekerja sebaga pebisnis dan pada pagi itu ia akan bertemu dengan alien. Sedang istrinya bekerja di sebuah toko bunga.
Dari awal cerita, ketika si suami berkata ingin bertemu dengan alien, aku sudah curiga, apa yang salah? Keganjilan apa ini?
Tulisan Eko seolah mendobrak pakem yang sudah ada di wajah umum, ia berkeliaran tak terkontrol, dan kita hanya perlu membuka kepala lebih luas lagi untuk bisa menikmati. Tanpa itu, kau tidak bisa menikmati cerpen-cerpennya, setidaknya menurutku.
Cerpen-cerpen Eko membuat pembaca ikut membangun cerita itu bersama. Seperti gunung es, penulis hanya menghadirkan permukaan kisahnya saja kepada pembaca dan seraya demikian memyembunyikan sebagian besar kisahnya. Begitulah yang dikatakan Tia Stiadi di pengantar.
Cerpen Eko di buku ini membuat kita terus bertanya-tanya dan tidak membuat kita tenang. Ia membawa kita bertamasya di dunia antah-berantah. Dengan gaya bahasa dan tekhik berceritanya, kita seolah tersihir dan ingin terus melanjutkan membaca sampai habis. Itulah yang kuyakini kenapa aku tidak perlu banyak waktu untuk menghabiskan buku ini.
Ini adalah salah satu buku favoritku yang kubaca di tahun 2017. Terima kasih, Mas Eko, sudah menulis cerpen-cerpen yang menakjubkan!
0 Comments