Satu hal yang paling
berkesan di tahun 2016 lalu di dalam hidupku adalah bisa bertemu Eka Kurniawan
di Bali dalam rangkaian acara Ubud Writers and Readers Festival. Saat semua
membawa buku karya Eka untuk ditandatangani, aku malah membawa buku Etgar Keret
dan dengan pedenya bilang kepada Eka, “Aku tidak membawa buku karyamu, tapi aku
baca semua karyamu, sekarang yang aku bawa buku ini, di kata pengantarnya ada
kamu yang nulis.” Dan Eka hanya tersenyum sebagai jawaban perkataan yang telah
kupikirkan sejak mengantre panjang untuk berfoto dan mendapatkan tanda
tangannya.
Waktu itu yang kubawa adalah buku memoar karya Etgar
Keret, yang isinya lebih cenderung kepada penderitaan Keret, tapi malah buku itu ia beri judul The Seven Good Years.
Aku mengenal Keret melalui karyanya yang diterjemahkan
oleh Bernard Batubara di blognya bisikanbusuk.com. Dari situ aku semakin rajin
mencari karya-karya Keret yang lain. Tapi sayangnya, buku terjemahan Keret
kebanyakan masih dalam bahasa Inggris. Jujur saja, bahasa Inggrisku tidak
terlalu baik, dan salah satu cita-citaku adalah bisa mahir bahasa Inggris
sehingga bisa membaca karya-karya dalam bahasa Inggris yang kebanyakan
(setahuku) sering dibaca oleh penulis-penulis besar Indonesia.
Di blog bisikanbusuk.com aku membaca cerpen Keret dan
langsung jatuh cinta dengan gaya bercerita Keret. Walaupun cerpen karya Keret
kebanyakan singkat, tapi ketahuilah, cerpen karnyanya sangat dalam dan kaya,
sehingga dianggap unik oleh kebanyakan orang. Bahasa yang ia gunakan sangat renyah dan terkadang bikin aku termenung sebentar lalu tertawa. Itu membuatku merasakan santai dalam membacanya, seolah aku ngopi bareng Keret di malam hari yang tenang setelah hujan badai reda.
Dalam kata pengantarnya, Eka bilang bahwa, penulis cerpen
di kususastraan dunia tidak terlalu diperhitungkan. Sebab, kebanyakan penulis
besar terkenal dari karyanya yang berupa novel dan puisi. “Hanya penulis cerpen
istimewa yang sanggup mendobrak dominasi novel, dan Etgar Keret merupakan salah
seorang penulis seperti itu,” tulis Eka.
Sebenarnya aku sudah lama menamatkan buku ini. Dan dalam
perjalanan membacanya, aku bisa merasakan rasa humor selalu bisa ditepatkan
Keret di atas ironi yang dialaminya. Walau Keret keturunan Yahudi asal Israel,
dia sangat kritis terhadap pemerintahan negeranya. Bahkan saking gencarnya
menyampaikan pesan-pesan perdamaian, ia sampat diboikot oleh negaranya sendiri.
Oleh karena itu, ia dipuji oleh negera lain. Pandangan Keret terhadap
perdamaian melampui batas agama, bangsa, dan negara.
Keret sendiri pernah datang ke Indonesia, tepatnya dalam
acara Ubud Writers and Readers Festival, ceritanya ada dalam buku ini di
halaman 27 dengan judul Teman Tidur yang Aneh. Awalnya orangtua Keret tidak
memperbolehkannya untuk datang ke Indonesia, karena orang Indonesia terkenal
sangat anti-Israel. Keret membela diri bahwa di Bali, mayoritas masyarakatnya
beragama Hindu. Tapi pembelaan itu tidak membantu orangtuanya untuk percaya,
mereka berkata bahwa tidak perlu pilihan mayoritas untuk menembakan peluru ke
kepalamu.
Dulu, bendera Israel dibakar di depan Kedutaan Israel di
Jakarta, tetapi sejak hubungan diplomatiknya putus, bendera-bendera tersebut
dibakar di depan Kedutaan Amerika. Orang Israel yang hidup dan bernapas akan
menjadi santapan lezat bagi mereka. (Hal 31).
Membaca buku ini, adalah membaca cerita humor yang
melimpah di atas penderitaan seseorang. Dan aku sangat setuju dengan kata Eka
di pengantar buku ini bahwa penulis yang baik—dan pada dasarnya manusia-manusia
yang besar hatinya—selalu punya ruang untuk mengejek diri sendiri.