Jalanan Sepi di Jakarta Masih Belum Aman

sumber gambar



Beberapa hari yang lalu, sehabis pulang ngeprint, malam hari sekitar jam 10, aku berjalan di trotoar jalan yang lumayan sepi walau masih ada satu-dua kendaraan yang lewat dalam satu arah. Aku sudah sering lewat jalan ini sebelumnya, tepatnya di samping sebuah stasiun.
            Tiba-tiba saja, ketika aku sedang asyik berjalan, datang sebuah motor matic dari belakang. Motor yang dikendarai dua orang itu berhenti tepat di depanku dan langsung menuduhku sebagai orang yang memukuli adiknya sampai nangis dan bonyok. Tentu saja aku mengelak, aku tidak tahu-menahu tentang perkara itu.
            “Mana hp lo!” bentak si Abang ini, jika kuperkirakan, mereka berumur 23-25 tahun, masih muda.
            “Ini, Bang, lobet.”
            Lalu salah satu dari mereka merebut hp itu, tapi entah dapat angin dari mana, aku langsung merebut kembali.
            Mendapat perlawanan dariku, mereka mulai kasar dan mencoba menarikku ke belakang mobil yang terparkir di samping kami, aku pun tak tinggal diam. Karena mencium aroma yang tidak mengenakan dan kupikir mereka pasti akan merampok, aku melawannya dan akhirnya tak dapat mereka membawaku ke belakang mobil—yang sudah kuduga sebelumnya, mereka pasti akan menghajarku di sana.
            “Diam. Kalo nggak, gue tusuk lo!” Bentaknya. Mendapat gertakan, aku pun mulai kacau dan mencoba menenangkan diri sambil mencari ide untuk kabur. Tapi seperti bisa membaca pikiranku, Si Abang yang satu ini bilang, “Kalo lo kabur, gue teriakan maling lo!”
            Sempat mereka merebut dompetku. Yang satu mencari duit di dompet kosongku yang hanya berisi kartu identitas dan kertas, yang lainnya mengintrogasiku seolah aku benar-benar orang yang memukuli adiknya sampai bonyok tadi.
            Tapi lama-kelamaan, karena aku bisa mengelak dari introgasi, Si Abang ini mulai emosi dan mulai dengan blak-blakan merampokku. Aku mundur perlahan, lalu lintas pun tambah ramai.
            Kedua Abang ini pun memaksaku untuk kembali ke tampat semula yang lumayan gelap di bawah pohon rindang. Aku menjaga jarak dan terus mundur perlahan. Sepertinya mereka pun takut aksinya ketahuan. Tak tahan, mereka pun pergi dengan matic-nya mengarah ke tempat aku mundur. Dan ketika motor itu berada tepat di depanku, salah satu di antara mereka mencoba menonjokku, untung saja sempat kutepis dan amanlah sudah.
             ****
Jalanan sepi memang selalu menakutkan untuk dilalui, kalau tidak perampok, kadang anjing galak ada di sana. Aku pun pernah dikejar-kejar anjing di jalan sepi. Awalnya si anjing anteng sambil tiduran di tepi jalan sana, dan aku berjalan mengarah ke si anjing—tidak ada jalan lain. Tapi setelah jarak kami sekitar 10 meter, si anjing pun berdiri dan berjalan ke arahku. Ia sempat mengendus-ngendus ketika jarak kami sudah mulai dekat. Dan detik selanjutnya, kau tahu, aku tidak bisa menahan untuk tidak lari dan si anjing pun kontan mengejarku.
            Pikiranku kacau, seolah badanku berlari tanpa dikomando. Bahkan sandal yang kukenakan lepas saking paniknya. Setelah berlari cukup jauh dan merasa si anjing sudah tidak mengejar lagi, aku mencari sandal yang lepas tadi dengan hati-hati, siapa tahu si anjing masih mengintaiku seolah aku makanan malam yang lezat baginya.
            Setelah ketemu itu sandal, aku pun melanjutkan perjalanan malam itu dengan badan panas-dingin tak karuan.

***
Lewat dua pengalamanku barusan, sepertinya jalanan sepi di Jakarta masih belum ramah bagi pejalan kaki sepertiku. Mungkin ini menjadi PR untuk gubernur yang akan datang. Selain perempokan yang digadang-gadang akan dihapuskan dari muka Jakarta, semoga itu anjing-anjing galak juga diamankan, jangan dibiarkan berkeliaran. Keduanya sama-sama suka mengejar.
            Walaupun aku bukan orang Jakarta, tapi aku orang Indonesia, ibukota Indonesia adalah Jakarta. Jadi, sebuah harapan seperti ini, menutku wajar-wajar saja, hehehe.
Comments
0 Comments

Posting Komentar