Aku sampai di Jogja jam 2 pagi.
Pagi buta, suasana di terminal Giwangan lumayan mencekam. Aku tidak tahu harus
kemana, karena awalnya aku mengkonfirmasi kedatangan jam 6 sore. Jauh dari
perkiraaanku, ternyata Jakarta-Jogja memakan waktu 17 jam perjalanan dengan
bus, btw aku berangkat dari kosan jam
setengah 7 pagi. Rasanya pantatku jadi terbelah dua.
Bingung mau kemana, akhirnya kuputuskan untuk mampir ke
Alfamart terdekat. Aku duduk depan Alfa dan menelpon Mbak Ve, ndak diangkat,
kutelepon lagi, ndak diangkat, kutelepon sampai aku lupa melakukannya sampai
berapa kali. Hingga akhirnya Subuh tiba, barulah Mbak Ve mengangkat teleponku.
Itu yang kuyakani jika setiap berpapasan dengan Mbak Ve
di asrama, ia selalu merasa bersalah denganku karena menelantarkanku menunggu
jemputan. Sebenarnya itu juga salahku yang gonta-ganti jadwal kedatangan. Aku
malah jadi ndak enak sama Mbak Ve, oh
Mbak Ve..
Akhirnya mobil jemputan datang sekitar jam setengah 6.
Bayangkan, aku menunggu jam 2 pagi sampai jam setengah 6! Yang bisa kulakan
dalam penantian itu, hanya duduk dan duduk, sesekali aku merasa antara tertidur
dan tersadar. Menunggu memang pekerjaan
berat, tidak cocok untuk tipe manusia sepertiku.
menjelang subuh.. |
Mobil jemputan datang dengan 3 orang di dalamnya. Ada
satu peserta Kampus Fiksi di sana, kukira ia baru saja dijemput, eh ternyata
dia adalah peserta yang karena lama mengantre mandi akhirnya ikut menjemputku.
Namanya Abdul Aziz dari Jakarta, di asrama ia dikenal dengan Mas Ceria. Yang menarik
darinya adalah, ketika malam kedua kami, sebelum tidur, ia menonton film semi. Sebelum
ia menonton, ia berdoa kepada Allah keras-keras. “Ya Allah, aku mau nonton film
porno ya Allah.” Aku yang tidur ndak jauh darinya hanya bisa diam dan nomong
dalam hati: pantesan mukanya cepat tua, suka nonton bokep, toh. Hahaha.. Dan
anehnya, ketika waktu Subuh tiba, ia shalat dengan begitu khusyuk seolah tanpa
dosa. #semogaazizndakbacatulisankuini
Sampai di asrama KF, aku disambut banyaknya peserta yang
sedang sibuk masing-masing. Ketika aku baru saja sampai kamar dan mencoba untuk
tertidur sejenak karena selama perjalanan aku belum tidur, tiba-tiba ada Kak
Reza Nufa datang, aku spontan memanggilnya dan bersalaman dengannya. Ia bilang,
“Denger-denger tidur di terminal ya?”
Karena keterlambatanku ini, aku ndak ikutan pembukaan. Di
mana di sana masing-masing peserta memperkenalkan diri. Jadi jelas saja, dari
semua peserta, ndak ada yang kenal denganku. Mengetahui hal itu, melihat siapa
saja yang berpapasan denganku, aku segera menjulurkan tangan dan memperkenalkan
diri. Walau, jujur saja, ndak semua bisa kuingat, malah yang lebih nempel di
batok kepalaku adalah dari mana asal mereka.
****
Materi pertama adalah dari Pak
Edi Mulyono pagi itu jam 8 setelah sarapan. Hal yang paling nempel di kepalaku
adalah ketika beliau bercerita tentang bagaimana beliau bekerja keras belajar
menulis. Menurutnya, belajar menulis adalah belajar seumur hidup. Pak Edi
menceritakan bagaimana ia memberi cincin tunangan (kalau ndak salah ingat) dari
hasil honornya menulis.
Tingkatan menulis yang sudah dicapai Pak Edi adalah
serupa kesukaan orang kepada burung (kesukaan yang tidak semua orang bisa
mengerti kenapa ia suka dengan hal tersebut). Menulis sudah mendarah daging
untuknya. Itu bukan tanpa alasan. Beliau bilang, beliau bisa seperti ini bukan
karena cerdas, tapi kerja keras.
“Saya yakin di antara kalian tidak semua menjadi penulis, yang menjadi penulis adalah meraka yang lebih bekerja keras di antara kalian. Tapi saya do’akan semoga kalian semua menjadi sukses, walau bukan menjadi penulis.”
Selanjutnya materi disampaikan Kak Reza Nufa. Yang nempel
di kepalaku adalah ketika ia bilang begini:
“Yang paling penting dari kampus fiksi bukanlah ini,”
katanya sambil menunjuk proyektor yang menampilkan presentasi tekhnik menulis,
“yang penting dari kampus fiksi adalah ketika kita bertemu di warung kopi dan
mengobrol tentang bagaimana menerbitkan buku, jalur mudah agar buku kita terbit
dan sebagainya.”
Itulah yang kuyakani dari awal, bahwa Kampus Fiksi hanya membawa alumninya sampai di pintu gerbang saja. Yang menentukan apakah ia masuk ke dalam gerbang itu adalah tergantung alumni sendiri. Dari banyaknya alumni kampus fiksi, faktanya, hanya beberapa saja yang berhasil melahirkan novel.
Tentu saja ini hukum alam. Dan aku, aku tidak mungkin
menyia-nyiakan kesempatan ini, aku sudah di depan pintu gerbang sekarang.
Akhirnya aku menjadi alumni kampus fiksi, sebuah impian yang kuidam-idamkan
sejak lama akhirnya terwujud. Aku bukan tipe manusia yang suka menyia-yiakan,
kau tahu.
****
Setelah mendapat materi dari dua
narasumber di atas, kami para peserta kampus fiksi pun mendapat tantangan
menulis 3 jam dengan setting tempat keramaian favorit. Dan tempat favoritku
adalah Lawson: semacam Seven Eleven. Di tempat itulah biasa aku menghabiskan
waktu untuk sekadar internetan gratis atau bahkan menyelesaikan tulisan.
Yang ada di pikiranku saat itu, yang akan kutuliskan
adalah tentang perselingkuhan. Jadi premisnya begini: seorang lelaki yang
berselingkuh dengan perempuan kasir di minimarket itu dan pacarnya cemburu
hingga pacarnya berkorban apa saja untuknya, termasuk keperawanannya.
Dan ya, ketika sesi mentoring dan kebetulan mentorku
adalah Mbak Rina Lubis, ia menilai tulisanku begini:
“Kalau kamu serius nulis novel atau cerpen, tulisanmu akan disukai banyak pembaca. Itu karena tema yang kamu angkat sangat disukai banyak orang.”
Dan, byar! Hatiku
merasa bungah, aku ingin merayakan kata-kata Mbak Rina ini dengan menikmati Beng-Beng
dingin sekardus. Tapi itu ndak mungkin, karena aku pun sedang batuk-batuk belakangan
ini. #krik
***
Selama di asrama kampus fiksi,
aku ndak banyak bergaul. Itu mungkin sudah kebiasaan lamaku. Di mana aku hanya
berteman dengan satu dua orang saja di antara banyaknya pilihan untuk berteman.
Dan aku bertemu dengan Daruz, ia mempunyai jelajah baca yang tinggi. Setelah
kucek facebooknya, ia memang orang hebat, tulisannya bahkan pernah dimuat di
media cetak. Ketika menulis 3 jam, kebetulan dia di sampingku, anehnya ketika
menulis ia ndak bisa untuk ndak dalam satu posisi, dia kadang guling sana
guling sini hingga akhirnya tulisannya rampung.
“Maaf ya, aku kalo nulis emang begini,” katanya, dan di
ujung kakinya adalah aku dan notebook-ku yang jika ia lengah sedikit saja, bisa
kena babat.
Daruz dan gayanya menulis. |
Selain ilmu tentang kepenulisan, kami pun mendapat
siraman rohani yang begitu mencerahkan. Itu karena setiap datang waktu maghrib,
kami selalu shalat berjamaah dan dilanjutkan dzikir kemudian ceramah hingga
datang isya dan diakhiri dengan makan malam bersama.
Yang mengisi ceramah itu adalah Pak Edi sendiri. Aku
selalu sreg dengan apa yang ditulis
beliau selama ini di internet tentang agama. Tapi ketika mendengar langsung
ceramahnya, aku sedikit mencium ada hal yang beliau batasi dalam menyampaikan
ceramah. Aku ndak tahu itu apa, tapi aku merasakannya.
Sebelumnya aku memang berniat untuk bertanya kepada
beliau perihal agama ketika bertemu langsung. Tapi ketika ingin menemui beliau
untuk mengobrol, ada saja halangannya. Terutama karena beliau terlihat sibuk
dengan banyak orang. Hinga akhirnya aku pulang ke Jakarta, aku belum sempat
ngobrol dengan Pak Edi. Sedih.
***
Ohya, selain itu, kami pun
mendapat ilmu dari cerpenis kenamaan Agus Noor. Apa yang ia sampaikan ketika
itu sungguh bermanfaat. Yang nempel di kepalaku adalah ketika kamu mulai nulis,
tulis saja tiga kata yang ndak ada hubungannya kemudian rangkailah cerita
dengan tiga kata tersebut. Itu tips yang mudah.
Akhirnya, perbolehkan aku untuk ndak sabar menyelesaikan postingan
ini, kesimpulan dari apa yang disampaikan Mas Agus Noor adalah begini: