Racun dari Bintang

Hatiku berasa DICAMBUK dan dicabik-cabik jika melihat mereka bersama. Tidak hanya sekali cambukan itu berlaku, namun berkali-kali adanya, perih.

Aku adalah laki-laki pendiam, tidak seperti Bara yang supel, dengan siapa saja dia cepat akrab, termasuk dengan Bulan, perempuan yang kutaksir sejak awal semester kuliah.
Sesuai namanya, Bulan, dia perempuan anggun, ayu, manis, dan tentram hati ini jika mata menangkap sosoknya. Selain itu, dia juga tampak cerdas jika diukur dari penglihatan, intuisi dan, asumsiku. Belum terlalu dekat aku dengannya.

Sebagai sahabat, menurutku Bara berlaku amat keji, hatinya CULAS! Bagaimana tidak? Aku sudah beritahu dia bahwa aku suka dengan Bulan, dan katanya Bara akan mencomblangkanku dengan Bulan. Halah, itu hanya omong kosong, sekarang aku tahu watakmu Bara! Bedebah kau, Bara!

Sekarang aku berdiri di koordinat yang kurasa paling tepat. Dari sini aku bisa melihat Bara dan Bulan sedang makan malam, ini yang kesekian kalinya aku melihat mereka berdua, mesra. Dengan cara apa saja, aku berusaha agar tak terlihat oleh mereka, dan untung-untung aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi kurasa tidak, cafe ini sedang ramai pengunjung hilir mudik yang, kebanyakan berpasangan.

Bara dengan jaket hitam, topi cokelat dan celana jeans panjangnya tampak asyik mengobrol dengan Bulan, juara memang si Bara ini kalau diadu basa-basi. Sedangkan Bulan, rok mininya, baju seksinya, rambut yang bergelombangnya, dengan serius dan antusias menanggapi Bara. Kadang Bulan sesekali membenarkan kacamatanya yang agak tebal.

Kembali cambukan perih menyayat hatiku. Amat perih. Jantungku berdekup cepat, dan rasanya ingin jatuh dari tempatnya dan menggelinding di lantai cafe yang kecokelatan, mengkilap.

***

Bara adalah sahabatku, sahabat dekatku. Apa saja kuberitahu dia, sedari SMP kami selalu bersama, sampai-sampai dicap sebagai homo oleh mereka yang melihat kedekatan kami. Bagiku itu tidak masalah, Bara-lah yang mengerti hatiku, dia juga yang memberiku banyak nasehat hidup.

Tapi masalah perempuan, aku tidak terima jika dibeginikan. Bara sekarang terkuak watak aslinya. Dia busuk, dan bacin. Mulai detik ini, persahabatan kita putus, Bara.

Dengan cara apa pun, akan kuakusisi Bulan dari tanganmu!

Melihat mereka yang semakin mesra di cafe ini, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke kos. Sebelum itu, akan kubuatkan Bara racun, yeah, biar mati dia nanti! Hahahah!

***

''Bintang, kamu belum tidur?'' Sok basa-basi Bara yang baru pulang kencan dengan Bulan, menyapaku. Dia kira aku tak tahu dari mana saja dia semalaman?

Aku menggeleng.

Bara duduk di sampingku, di sofa yang sudah lawas tidak diganti-ganti. Anehnya anak muda seperti Bara sangat suka dengan batu CINCIN. Entahlah. Apa mungkin itu adalah jimatnya agar bisa dekat dengan semua orang? Ah, tak percaya aku sama begituan.

Tivi di depan kami menjadi tontonan yang utama. Sekarang sudah tengah malam, jarum pendek jam dinding bergelantung di angka 1 dan yang panjang tidak jauh dari situ.

Acara tivi kali ini adalah film action yang banyak adegan anunya, seru aku menonton.

''Bintang, saya tidur dulu yah.'' Bara menguap lebar sekali.

''Ya, tapi kamu sudah aku siapkan minuman. Ambil saja itu di kulkas,'' kataku tanpa nada ragu. Kulkas sedang kosong, jadi hanya ada minuman yang kubeli tadi, minuman itu digdaya menguasai kulkas.

''Oh ya? Baiklah. Terima kasih, 'man.''' Bara menepuk pahaku kamudian berlalu ke tempat di mana kulkas itu berada sendirian, tidak ada lagi selain kulkas perabotan yang lain di sini. Cukup tivi, kasur, lemari, kipas, dan kulkas. Begitulah fasilitas di kosan ini.

''Besok pagi akan saya ceritakan padamu tentang Bulan,'' kata Bara sambil memegang sebotol air yang sudah kuracik sebelumnya. Racun.

''Oh ya?'' gelagatku sok kaget.

Bara mengangguk yakin. Sejurus kemudian dia tepar di kasur.

Aku masih seru menonton tivi, sambil berharap racun itu akan bereaksi cepat, secepat-cepatnya, biar dia mati! Dan Bulan akan jadi miliku! Hahaha!

***

Mentari menengok dari jendela kos. Kualihkan mataku ke arah Bara yang tidur di sampingku. Kugoyang-goyangkan badanya, tak bergerak juga, tak ada tanda-tanda dia bangun. Mati? Oh yeah! Berhasil!

Lalu setelah ini. Apa?

Bulan! Yeah, Bulan, akan kuakusisi dari tangan Bara si busuk itu! Cuih!

***

Bara sudah tiada, dia sudah manunggal dengan tanah. Keluarganya berdatangan, dan kukabarkan pada mereka, selaku sahabat dekat, pasti aku yang pertama dan paling utama berkaitan dengan Bara.

Gampang, aku jawab saja si Bara itu over dosis. Dia pulang larut malam dan terlalu banyak menenggak minuman keras oplosan. Yeah! Beres.

Bara tidak bisa menyaingi Bintang!

***

Penguburan baru saja selesai pagi ini. Bulan menangis di atas kuburan Bara, aku dekati dia. Pakaiannya serba hitam, mengenakan krudung sekenanya, buah dadanya keliahatan jelas menyumbul. Percuma dia pakai krudung jika seperti itu, gumamku.

''Bulan, sudah, Bara sudah tidak ada. Sekarang ada aku. Aku bisa menggantikan Bara, oke?'' Kataku lancar. Sebab, sudah kurencanakan ini semua, sebelumnya. Komplek kuburan sudah sepi, hanya ada pohon-pohon, dan angin-angin yang magis.

Kemudian, tak kusangka-sangka, Bintang memeluku erat. Kurasakan kehangatan bercampur kenyaman. Lama Bulan memeluku, air matanya banjir di bahuku. Kurasakan badanya mengalir kesedihan. Namun aku merasa tidak sedih sama sekali. Ini adalah kemenangan, ya, kemenangan!

''Padahal, Bara itu orangnya baik,'' kata Bulan sedu-sedan masih di pelukanku.

''Iya, aku juga tahu, Bulan.'' Kuusap rambut gelombangnya, berharap dia merasakan kenyamanan yang kualirkan lewat jemariku.

Dia lepas pelukan ini. Matanya menatapku, lekat, lengket sekali. Aku tak bisa bergerak, terpaku.

''Padahal malam itu adalah malam aku bertemu dengannya. Ketika itu dia asyik membicarakanmu, Bintang, dia bilang, kamu suka denganku. Bara berusaha mencomblangkanku denganmu.'' Bibir tipis Bulan amat menggoda. Suaranya renyah, aroma tubuhnya aduhai.

''Begitu? Lalu?'' tanyaku ingin tahu lebih dalam.

''Aku cinta kamu, Bintang. Kamu laki-laki yang aku suka. Entah bagaimana menjelaskannya. Aku suka laki-laki seperti kamu. Dengan itu, pasti kamu dan aku akan melengkapi.''

Aku terperenga. Diam. Bisu. Kutelan ludah, pahit rasanya, gabungan dari kekecewaan dan kesenangan yang entah apa jika ini dinamkan.

''Kamu cinta aku? A, aku juga cinta kamu, Bulan. Cinta sekali!'' Gundukan kuburan Bara masih perawan. Aku jadi merasa bersalah. Kenapa aku membunuh Bara yang jelas-jelas membantuku dekat dengan Bulan? Apa salah Bara?

Kepalaku pusing, pening, dan penglihatanku kabur. Semua menjadi gelap, gelap tak ada sesuatu yang dinamkan cahaya tertangkap oleh mata. Semua hilang.***

Afsokhi Abdullah
Hape nokia e63, 19 April 2015
Comments
0 Comments

Posting Komentar