Terkadang jika aku
pulang kampung, ada saja bahasa yang tidak kumengerti. Contohnya saja sawang-sinawang
(bahasa Jawa). Mendengarnya saja aku asing, padahal itu adalah istilah
kehidupan yang penuh makna. Istilah ini kudenger beberapa bulan lalu di
kampung. Mungkin aku sebelumnya sudah pernah dengar, tapi sepertinya tidak
kuindahkan. Dan saat di mana aku benar-benar merasakan kehidupan itu sendiri,
barulah aku ingin mengerti apa arti istilah ini.
Ketika pertama kali mendengar sawang-sinawang, aku
tertarik—terlepas dari pengucapannya yang punya daya magis sendiri menurutku—aku
segera menanyakan kepada siapa saja yang bisa kutanyakan. Mereka menjawab
beragam. Tapi intinya begini:
Sawang-sinawang adalah satu kondisi di mana kamu melihat
kehidupan seseorang. Kamu melihat hidupnya begitu mewah, istrinya cantik, punya
mobil dan sebagainya. Tapi ketahuilah, apa yang kamu lihat tidak sepenuhnya
sesuai dengan apa yang dirasakan oleh si pemilik.
Si pemilik istri cantik itu juga mungkin saja bisa
melihatmu lebih baik hidupnya dari pada dia. Si pemilik istri cantik itu boleh
saja punya mobil, rumah mewah dan sebagainya. Tapi siapa yang tahu isi hatinya
hanya ada resah, gelisah, gundah, karena memikirkan hartanya itu bakal hilang
suatu saat.
Ia khawatir istrinya direbut orang, mikirin bayar pajak,
rumahnya kemalingan dan sebagainya. Dan ia iri kepadamu yang punya rumah
sederhana, istri tidak cantik-cantik amat, dan cari duit hanya lewat usaha
kecil. Tapi kamu juga punya rasa yang sama, ada resah, gelisah, gundah. Tapi
bedanya, apa yang kamu khawatirkan adalah besok kamu mau makan apa? Persedian
beras habis, anak belum bayar sekolah, dan sebagainya.
Jadi, sehemat pengatahuanku, sawang-sinawang seperti itu:
melihat kehidupan orang lain dan membandingkannya dengan kehidupan sendiri yang
selalu merasa kekurangan.
Orang yang masih sawang-sinawang kebanyakan tidak
bersyukur.
Intinya
dalam menjalani hidup itu harus bersyukur, karena dengan begitu, Allah tidak
mengingkari janjiNya: Ia akan memberikan-lebih kepada hambaNya yang bersyukur
atas nikmatnya.
Dan kadang, kita terlalu memilih-milih nikmat. Nikmat
tidak selamanya terasa nikmat. Nikmat juga ada yang tidak nikmat. Contohnya
saja jatuh sakit. Itu adalah nikmat, dan harus menerimanya dengan lapang dada.
Dengan jatuh sakit, kita diberi peringatan untuk tidak terlalu keras mengejar
dunia, harus bisa membagi waktu untuk kesehatan dan sebagainya. Nikmat bukan?
Mentang-mentang sudah bersyukur dan merasa tidak mendapatkan
yang dijanjikanNya, kamu malah memilih
untuk tidak bersyukur. Wong bersyukur aja masih susah, tuh lihat orang “kafir”
malah duitnya banyak. Alasanmu.
Maka dari itu, kita harus mempunyai banyak pandangan
tentang hukum-hukum Allah. Semuanya adalah kepastian. Ada sehat pasti ada
sakit, ada untung pasti ada rugi, ada malam pasti ada siang. Itulah
kepastian-kepastianNya yang harus kita imani. Dan bagaimana caranya, adalah
dengan pandai-pandai bagaimana cara kita memandang itu semua sebagai
hukum-hukumNya—yang tidak bisa dipikirkan saja, tapi harus dirasakan dengan
hati.
Dari sini aku paham, bahwa kehidupan itu sulit, tapi
jangan dibikin sulit. Caranya agar tidak sulit untuk menghadapi hidup adalah
dengan menerima dan berusaha. Walaupun manusia tidak ada daya upaya selain
rahmat pertolongan Allah, manusia juga harus berdaya upaya supaya mendapatkan
rahmat pertolongan Allah, tanpa rahmat pertolonganNya, kita tidak bisa apa-apa,
ketika kita tidak melakukan apa-apa, maka kita tidak mendapatkan rahmat
pertolonganNya.***