Cerpen: Ayah?

 Ayah?

Tugas sekolahku sudah lama menumpuk, salah satunya adalah tugas print. Aku sudah tak mau lagi diperbudak tugas, biasanya jika tidak disegerakan, dia akan melunjak dan, memakan banyak waktu; menyita sisa hidupku. Aku belajar dari yang kemarin-kemarin. Huh.

Maka dari itu, siang ini aku bertolak ke sebuah toko fotocopy, di sana juga ada jasa untuk cetak print, tempat itu sudah kuhafal betul, cukup jauh dari kosanku.
Begitu sampai di toko potocopy, di sini penuh dengan antrian, ya walau sudah biasa kalau diselak Engko-engko. Dipaksa untuk sabar, sabar dan, menunggu giliran di kursi plastik ini.

Kulihat mesin-mesin itu bekerja, mungkin di antaranya ada yang sudah sepuh. Ya, mungkin saja, buktinya bunyi mesinya sangat berisik sampai hinggap di telinga ini Pada akhirnya, giliranku untuk mengeprint.
“Mbak, 20 lembar ya,” kataku.
“Bisa sendiri, kan?”
“Oh, bisa.”

Kalau memang print-an ini boleh digunakan dengan sendirinya oleh pembeli, kenapa tidak sedari tadi aku print. Huh. Karena semua yang datang ke sini kebanyakan mereka fotocopy.

Lalu kumulai memasukan flashdisk itu, dan keluarlah selembar demi selembar dari mesin print. Kuambil itu dan, membayarnya.
“25 Ribu,” katanya, setelah menghitung semua print-anku, ada yang bergambar ada juga yang tidak.

                                       ***

Aku sempat sebal dengan pegawai fotocopy ini, dia tidak melayani, egois, dan mukanya datar. Jelas bukan orang ini lenggananku ketika aku print. Orang ini berupa kasar, tersirat di wajahnya yang garang, walau dia seorang perempuan.
Begitu aku berjalan untuk kembali ke kosan, ternyata uang sisa print-ku masih cukup banyak. Setelah ingat dengan yang segar-segar di siang hari seperti ini; aku jadi menginginkan hal yang segar, buah dingin, rujak, wow.

Tak jauh dari toko tadi, aku menemukan bapak tua penjual buah, dia sepertinya biasa saja. Aku berjalan mendekatinya, dari jauh, penjual itu ‘agak’mirip dengan ayahku: kurus, pendek, pakaian gombrang.

Begitu aku sampai di gerobaknya, lalu ia melayaniku dengan ramah, sama seperti ayahku, yang dulu adalah pedegang. Aku sering membantu ayah waktu itu.
Tapi, tangan pedagang itu sepertinya ada yang aneh, jarinya dibungkus dengan plastik, aku hanya bisa melihatnya tanpa bertanya sebabnya.
“Ini tadi kepotong, mumet mikirin isteri yang di kampung minta kirimin uang mulu,” kata bapak tua penjual buah itu, tanpa kutanya sepatah kata pun. Lalu aku hanya menganggukan kepala.

Dia memberiku rujak buah yang kupesan tadi. Rujak yang sudah siap untuk diberikan kepada penjual, dan pasti itu adalah rujak butan bapak ini ketika jarinya terkena pisau. Pasti.

Aku melihatnya agak merinding, bapak ini hanya menggunakan plastik transparan, bukan perban (setidaknya), dan di plastik itu diperkuat dengan karet, hanya itu. Wajah bapak tukang buah terus meringis dan, pada akhirnya kuberikan uang untuk satu bungkus rujak ini. Aku meninggalkannya. Ketika agak lama berjalan dari gerobaknya, aku menengok lagi ke arah bapak itu, dia kembali memotong buah-buahannya menjadi rujak.

Bapak itu kembali memainkan pisau tajamnya, dengan lihai dicabik-cabiknya dengan rapih sebangsa nanas, mentimun, jambu, mangga dan buah-buahan lainnya. Lama-lama langkahku semakin menjauh, jauh, jauuh.
Aku jadi, mengingat ayahku di kampung sana yang sudah sepuh. Terakhir aku melihatnya adalah ketika lebaran waktu itu, sudah lama sekali. Ayah, sedang apa engkau, dan apakah ayah terluka...?


Afsokhi Abdullah
Jakarta, 05 Nopember 2014
Comments
0 Comments

Posting Komentar