Pertama kali membaca buku Agatha Christie: The Thirteen Problems

Sebelumnya aku tidak terlalu tertarik dengan novel genre detektif. Namun setelah dipikir lagi dan ada keingininan untuk keluar dari zona nyaman-membaca, maka aku putuskan untuk mencoba membaca novel genre satu ini. Dan buku yang kupilih untuk itu adalah ‘The Thirteen Problems’ karya Agatha Christie.

Nama ini tentu saja sudah tidak asing lagi, namun aku baru menaruh perhatian setelah aku dibuat terpesona tak berdaya dengan film ‘The Murder Orion Express’ yang adalah adaptasi dari salah satu novel Agatha.

Maka aku putuskan untuk membaca bukunya sebagai bentuk untuk mencari sensasi-sensasi film yang mungkin saja bisa aku dapatkan di bukunya yang lain.

Dan, ya, ternyata untuk mencari bukunya tidaklah mudah, butuh beberapa bulan untuk akhirnya bisa membacanya.


 ‘The Thirteen Problems’ bercerita tentang pengalaman misteri-misteri yang sulit dipecahkan, seperti judulnya, misteri tersebut ada 13 kasus. Jadi, pada suatu malam ada beberapa tamu berkumpul di rumah Miss Marple, seorang perawan tua yang hidup di sebuah desa.

Kemudian para tamu menceritakan pengalaman menarik mereka masing-masing. Di antara para tamu tersebut ada yang seorang penulis, model, dokter, bahkan pendeta. Hanya Miss Marple di antara mereka yang terlihat kuno dan tidak meyakinkan untuk memecahkan misteri.

Cerita para tamu di rumah Miss Marple kebanyakan bercerita tentang pembunuhan. Jadi, setiap orang yang bercerita sudah mempunyai jawaban dari kasus tersebut. Setiap tamu yang lain, juga Miss Marple, mendapat kesempatan untuk menganalisis kasus tersebut dan menebak apa motifnya hingga pelaku utama.

Namun, dari sekian analisis, hanya pandangan Miss Marple yang tepat sesuai jawaban. Padahal nenek tua perawan ini tidak terlalu meyakinkan.

Tiap memecahkan kasus, Miss Marple selalu mengaitkan dengan peristiwa yang terjadi padanya. Hanya peristiwa sederhana, namun dari situ ia bisa mengambil kesimpulan.

“Banyak kejadian yang mirip satu sama lain di dunia ini,” ujar Miss Marple, “misalnya Mrs. Green, dia mengubur lima anak dan masing-masing mereka diasuransikan. Yah akhirnya orang mulai curiga.”

Novel ini berhasil membawaku ke dalam perkumpulan di sebuah ruang tamu yang hangat: saling menyimak cerita, menganalisis, dan membuat kesimpulan. Walau pada akhirnya hanya Miss Murple yang tepat menjawabnya.

Kasus-kasus dalam cerita ini sangat menarik, mulai dari pembunuhan hingga pemalsuan identitas. Sebuah kasus yang hanya dilakukan oleh mereka yang sangat detail dan terencana, ribet seperti benang yang kusut.

Namun Miss Marple hadir sebagai tokoh yang selalu bisa meluruskan benang kusut itu melalui analisisnya yang tajam. Yang membuat siapa saja bakal terkagum-kagum dengan si perawan tua ini. Sebagai tokoh utama, ia memiliki karakter yang sangat nempel di kepalaku, dan kuyakin akan terus kuingat bertahun-tahun.



Novel ini tidak terlalu tebal, terjemahannya juga bagus, walau di beberapa ada bagian yang membuatku bingung dan harus membacanya ulang.

Perbedaan sensasi membaca novel detektif dengan novel lainnya adalah ia bisa membawa pembaca berpikir keras, dan selalu ada kejutan di akhir cerita yang bisa membuat geleng-geleng kepala.

Novel ini barangkali adalah jembatanku untuk mulai gemar membaca novel detektif, dan tentu saja sekarang aku sedang memburu buku-buku Agatha.




Film Searching: Bukan Sekadar Mencari Anak Hilang

Film Searching bercerita tentang hilangnya seorang gadis berusia 16 tahun. Setelah mengetahui kabar hilang anaknya tersebut, sang ayah mencoba untuk mencari dengan menelusuri jejak digital anaknya seperti facebook, instagram, twitter, dan sebagainya. Dan ternyata, sang ayah memang benar-benar tidak mengenal putrinya tersebut setelah mengetahui fakta-fakta yang ia temukan melalui jejak digital. Sebuah fenomena yang mungkin saja sering dialami oleh orang tua zaman sekarang.

Film dibuka dengan tumbuh kembang si gadis bernama Margot Kim sejak kecil, alur berjalan cepat, dan berhenti ketika ia sudah masuk SMA. Sang Ayah selalu mengabadikan momen-momen dan meyimpannya di komputer. Hal itu membuat penonton jadi lebih sering disuguhkan dengan sudut pandang kamera smartphone, cctv, bahkan live broadcast.

Sumber gambar: google

Kekhasan kulitas video (seperti kamera smartphone) tersebut benar-benar dipertontonkan begitu saja, tanpa dibuat-buat, walau hasilnya agak buram. Tapi hal itu membuat film menjadi lebih bisa membawa emosi penonton alih-alih mempermasalahkan kualitas gambar. 

Tidak ada dialog yang tak perlu, semuanya membangun cerita. Bahkan hanya sebuah pesan teks, itu pun bisa membuat tegang penonton. Itu menandakan cerita dibangun dengan baik dan kuat, kendati hanya dengan premis sederhana.

Dalam pencarian Margot Kim, ada banyak kemungkinan-kemungkinan kenapa ia hilang, dan ini adalah poin paling seru menurutku. Film seperti mengajak penonton untuk berpikir, menaruh curiga ke banyak tokoh, dan akhirnya dibuat kecewa karena apa yang telah kita pikirkan adalah kesia-sian belaka.

Jangan lupakan juga latar musik dari film, ia mampu membawa emosi penonton terjerumus lebih dalam lagi,

Pokok dari cerita ini adalah hubungan anak dengan orang tua yang dikemas dengan ciamik dan jenius. Tentang masalah yang sangat dekat dengan kita, remaja yang tak pernah lepas dari media sosial. Film ini memang memiliki kesan serius, namun anehnya ia mampu membuat penonton tertawa di sela-sela jalannya cerita.
 
Terlepas dari itu semua, aku putuskan bahwa film ini masuk list film favoritku tahun ini bersanding dengan Loving Pablo!

Membaca Novel Perdana Eko Triono: Para Penjahat dan Kesunyiannya Masing-Masing

Melalui program Columbus, para mantan badit dari tahanan ditempatkan di sebuah daerah bernama Jabelekat untuk membangun kota baru seperti Mexico, Tokyo, Sydney atau New York.

Parta Gamin Gesit merupakan salah satu bandit yang tinggal di Jabelekat bersama istrinya. Tahun-tahun pertama, mereka mendapat jatah beras dan barang pokok lainnya dari pemerintah, namun setelahnya, mereka mandiri. Seperti membuka lahan atau berbisnis. Semuanya dimulai dari nol.

Novel ini ditulis oleh Eko Triono, nama yang lebih dikenal sebagai cerpenis. Itu pula yang kuyakini ketika membaca novel ini, aku masih bisa mencium aroma cerpen.



Setting tempat novel ini adalah sebuah tempat yang bernama Jabelekat, tentu saja ini fiktif. Sebagai orang Cilacap, ketika mendengar Jabelekat, yang tergambar di kepalaku adalah sebuah tempat yang jauh. Diceritakan dearah itu awalnya kosong, kemudian diisi oleh para mantan-mantan bandit untuk membangunan kehidupan yang berarti.

Namun permasalahan mulai berdatangan, mulai dari Beruk maniak yang suka mengintip para wanita mandi, hingga monopoli dagang. 

Tentu saja dalam mengatasi masalah tersebut, kita tidak bisa membayangkan kehidupan normal seperti di sekitar kita. Ini adalah Jabelekat, daerah yang dihuni oleh para mantan bandit, bisa saja naluri bejat mereka keluar kapan saja.

Program ini (Columbus) digagas Presiden Republik. Dijalankan oleh Kementerian Transmigrasi. Tujuannya untuk mengirim bandit-bandit ke tanah baru. Agar mereka, kata Presiden, mengurangi jumlah penjara, konsumsi bubur sumsum, dan biaya cuci baju napi. Dan agar mereka menemukan hikmah kebijaksanaan dalam kebersamaan kembali dengan masyarat. (Hal. 18)

Maka setiap ada masalah, para penghuni Jabelekat akan konsultasi terlebih dahulu dengan orang paling pintar di antara mereka, orang yang diutus pemerintah untuk mengatasi masalah para penghuni Jabelekat.

Ia adalah Yusuf Yasa. Tapi anehnya, solusi yang dibawa oleh Yusuf Yasa terkesan nyeleneh. Ini membuatku berpikir ulang, bagaimana caraku membaca novel ini, haruskah dengan serius atau sedikit bercanda?

Misalnya saja dalam mengusir Beruk Maniak, Yusuf Yasa mengusulkan dengan membuat sayur bening dan sambal.

***

Novel diawali dengan akhir cerita. Jadi lembar-lembar selanjutnya kita akan membaca masa lalu bagaimana daerah itu sebelum adanya pemberontakan yang membuat Jabelekat ‘punah’ dari peradaban.
 



Dengan alur tersebut, pembaca agak sedikit kebingungan kalau tidak konsentrasi, karena bisa saja pembaca akan ling-ling: kemana arah cerita ini?

Seperti yang aku katakana di muka bahwa novel ini seperti mempunyai aroma cerpen. Itu karena menurutku apa yang ditulis oleh penulis begitu padat, rapat, tidak seperti novel yang biasa kita baca: lambat, runut, dan telling.

Ini adalah novel pertama penulis, dan tentu saja aku sangat mengapreasiasi usahanya untuk keluar dari zona nyamannya selama ini. 

Ending novel ini tidak terduga—walau akhir cerita sudah dibeberkan di awal novel—bahkan sukses membuatku berkata: bajingan!

Buat Apa Ikut Bukber?



Belakangan ini di media sosial dipenuhi dengan buka bersama (bukber). Seolah semua orang berlomba untuk membagikan momen tersebut. Entah bukber bersama teman sekolah atau teman kerja, yang penting judulnya adalah bukber, titik.



Aku masih ingat buka bersamaku pertama dulu adalah ketika SD kelas 5. Kami para murid dan guru mengadakan buka bersama di KFC, kami duduk di bangku panjang dengan tertib sambil menunggu maghrib.

Saat itu aku punya teman yang nonmuslim, namanya Kristin, waktu itu ia adalah bocah kecil lagi gesit. Entah apa yang ia lakukan di acara bukber seperti ini, dan yang anehnya lagi, ia juga menunggu adzan maghrib untuk menyantap makanannya.

Bertahun-tahun berlalu, dan belum lama ini aku buka bersama dengan teman-teman satu kerjaan. Bos kami adalah nonmuslim, dan ia memfasilitasi buka bersama bagi karwayannya yang muslim di sebuah hotel, bahkan mereka karyawan yang nonmuslim pun ikut hadir di acara ini. Dan mereka sama seperti Kristin, menyantap makanan ketika adzan maghrib berkumandang.

Hei, kenapa mereka tidak makan saja duluan? Kami yang sedang berpuasa juga menghargai mereka yang tidak berpuasa, bukan?

Pada akhirnya bukber bisa menyatukan kita, tidak memandang apa agamamu, intinya jika makan bersama setelah adzan maghrib itu adalah apa yang dinamakan bukber.

Aku rasa toleransi kita sedang sehat-sehat saja, hanya barangkali ada satu-dua orang yang masih berpikir pendek jika mereka sedang bermusuhan dengan agama lain, darah yang tidak sepaham dengannya adalah halal, jangan berteman dengan yang tak sepaham, dan seterusnya dan seterusnya.

***

Selain itu, bukber juga bisa sebagai ajang silaturahim yang manjur. Di mana teman sekolah dulu bisa bertemu kembali melalui momen ini. Bukber adalah media yang pas bagi semua untuk bertemu kembali untuk sekadar berbagi kabar atau cerita. Bahwa dulu kita pernah bersama di satu kelas, dan mensyukuri hari ini kita sudah bisa menghasilkan uang sendiri, sehat, dan bisa berbagi.

Sungguhlah rugi jika bukber digunakan untuk makan dan minum saja, esensi dari bukber adalah setelahnya. Kita bisa bertukar pikiran dengan teman lama, bercerita masa-masa tragis di sekolah, dan semua mungkin akan diawali dengan yang klise: “kerja di mana sekarang?” “sambil kuliah?”

Terkadang setelah bukber, kita lupa ibadah setelah itu, shalat Maghrib. Biasanya di tempat tertentu tempat ibadah tidak disediakan, jadi harus siap-siap cari alternatif lain. Alangkah baiknya ketika ingin memilih tempat untuk bukber, pastikan yang ada tempat ibadahnya.

Jangan sampai terlalu asyik bertemu teman lama, akhirnya sampai lupa ibadah shalat, jangan.

Jadi, buat apa bukber? Ya tentu saja ia memiliki fungsi yang banyak seperti silaturahim, mengenang masa sekolah, menyatukan perbedaan, dan sebagai bentuk syukur kita kepada tuhan bahwa kita masih mempunyai teman yang sehat dan mempunyai kabar yang baik. Semoga saja hal baik ini terus terbawa setelah bulan puasa meninggalkan kita. 

Kisah Cinta Pertama Rahwana yang Njelimet (Buku Cinta Mati Dasamuka)

Seorang anak kecil yang dibawa oleh kedua orang tuanya menghindar dari pengejaran. Melewati hutan, berpindah-pindah, penuh ketakutan. Selama itu pula ia harus menjaga ibu dan adiknya. Dalam pada itu, ia juga mendengarkan rahasia-rahasia kehidupan yang seharusnya tidak ia dengar: Sastrajendra.


 
“Sastrajendra mungkin mudah diucap, tapi tanpa kedalaman dan kelapangan seseorang dalam memahami hakikat hidupnya, ilmu itu akan dengan mudah menjadi racun yang menguasai kepala dan menebar kematian di mana-mana.” (Hal. 51)

Adalah Rahwana yang kemudian menjelma manjadi remaja raksasa. Ia memang keturunan Bangsa Raksasa yang di kemudian hari memimpin negeri bangsanya yang bernama Alengka penuh keserakahan.

Melalui buku ini, Cinta Mati Dasamuka (Rahwana), kita akan dibawa untuk menyusuri kehidupan Rahwana sejak kecil. Di mana ia adalah hasil dari perkawinan yang tidak semestinya. Bapaknyaknya adalah Wisrawa, yang harusnya melamar Sukesi untuk anaknya, malah ia sendiri yang menikahi calon isteri anaknya.

Itu karena Wisrawa menjabarkan tentang Sastrajendra kepada Sukesi sebagai syarat pernikahan, Sukesi adalah putri raja yang selalu haus akan ilmu. Sastrajendra sendiri adalah rahasia Tuhan yang menyingkap rahasia-rahasia kehidupan. Di mana ia tidak sembarangan untuk dituturkan dan diajarkan. Dan barangsiapa yang menjabarkan, maka ia akan kena hukuman dari Dewa.

Dalam menjabarkan Sastrajendra, Wisrawa meminta untuk ditempatkan di tempat tertutup, tidak ada siapapun selain dia dan Sukesi. Karena keadaan tersebut, ia tergoda oleh bisikan-bisikan yang kemudian membuat mereka berdua bercinta sepanjang malam, alih-alih menjabarkan Sastrajendra.


Tak ada guru dan murid. Itu semua runtuh. Menjadi sekadar seorang laki-laki dan perempuan. Yang tergoda oleh kebetuhan paling dasar. Terbius berahi. (hal. 57)
***
Di dunia wayang, setidaknya ada 3 bangsa yang selalu masuk ke cerita: Bangsa Manusia, Bangsa Dewa, Bangsa Raksasa. Berbeda dari Bangsa Manusia dan Raksasa, Bangsa Dewa memiliki keistimewaan layaknya malaikat. Mereka bahkan bisa membaca pikiran satu sama lain hingga akhirnya tidak ada salah paham sedikit pun.

Berbeda dengan Bangsa Dewa—Bangsa Raksasa dan Bangsa Manusia memiliki kekurangan dan hawa napsu. Dan dunia wayang, setidaknya menurutku, adalah sedang bercerita tentang sifat-sifat manusia itu sendiri.

Di mana kita terkadang bisa sebaik Dewa, sejahat Raksasa, atau seperti Manusia yang tidak pernah cukup. Ia sedang membicarakan kita. Dan untuk kali ini, lewat buku ini, Rahwana adalah aktor utamanya.

Rahwana diceritakan tumbuh dan memiliki ajian di mana ia bisa terbang dan jika bagian tubuhnya terpotong (termasuk kepalanya) itu akan tumbuh lagi. Manjadikan Rahwana seorang Raksasa yang sombong, tak terkalahkan.

Kendati ia sombong dan kasar, ia juga menginginkan wanita sebagai pendamping hidupnya. Pertama kali ia jatuh cinta adalah ketika ia bertemu dengan Widyawati di sebuah hutan. Tentu saja gadis ini ketakutan melihat Rahwana. Dan Rahwana berencana meminang gadis ini. Maka Rahwana meminta agar dibawa ke kedua orangtua si gadis.

“Siapa namamu, Nduk..? Bicaralah. Aku tak bermaksud jahat, justru aku ingin membawamu ke tempat yang lebih beradab. Hutan dan gunung bukan tempatmu, Cah Ayu. Istanalah tempatmu, duduk di indahnya singgasana.” (Hal. 113) 


Segala kesombongan, kepongkahan, dan segala sifat buruk Rahwana seakan rontok ketika duduk di depan bapak si gadis. Tapi wajahnya masih wajah raksasa, mengerikan, bertaring, rambut acak-acakan.

Si bapak gadis tidak setuju jika anaknya dipersunting raksasa, maka ia, walau sudah tua renta,  masih berani melawan Rahwana yang tinggi besar. Namun naas, ia malah dibunuh oleh Rahwana, juga ibu dari si gadis karena keduanya melawan untuk melindung anak satu-satunya itu.

Melihat kejadian itu, si gadis malah membakar dirinya sendiri. Rahwana berteriak kencang, dan itu adalah patah hati terhebatnya yang di kemudian hari menjadi petaka terhadap hidupnya dan negerinya.

Setelah patah hati terhebatnya tersebut, itu malah membuatnya semakin semangat untuk mencaplok negeri tetangga yang semua adalah Bangsa Manusia hingga menyebrang benua dan samudera.

Karena perbuatannya itu, Rahwana beserta adik-adiknya dihukum dan diasingkan. Dalam pengasingan tersebut, mereka dituntut untuk merenung dan mencari apa keinginan mereka yang sebenarnya.

Rahwana ingin menguasi dunia, Kumbakarna adiknya yang pertama ingin bisa makan dan tidur sepuasnya, Wabisana ingin tahu segala ilmu, dan Shurpanaka tidak jelas apa keinginannya karena selama ini ia berbuat semaunya, kebutuhan batinnya tak pernah cukup.

Bahwa hidup sejati hanyalah upaya menelisik membawa diri sehingga mampu merasakan nikmatnya makan dan minum. (Hal. 287) - Kumbakarna
*
Cerita tentang Rahwana menculik Sinta sepertinya sudah begitu tenar. Tapi motivasi Rahwana menculik Sinta barangkali masih sedikit orang yang tahu. Dan melalui buku ini, akhirnya aku bisa tahu kenapa Rahwana menculik Sinta.

Bahwa Sinta sangat mirip dengan isterinya ketika muda, dan ia menggap bahwa Sinta adalah anaknya yang hilang. Isteri Rahwana merupakan Bangsa Dewa. Bangsa Dewa mengutus Dewi Tari untuk menjadi isteri Rahwana untuk menyeimbangkan kehidupan karena Rahwana yang sudah meresahkan bahkan sampai kahyangan.

Sebelumnya, Rahwana terus mencari gadis yang mirip seperti cinta pertamanya. Mulai dari isteri raja hingga puteri kerajaan, ia ingin mendapatkan gadis itu dengan cara apapun. Awalnya Rahwana datang baik-baik. Namun akhirnya ia akan memberontak ketika tahu gadisnya disembunyikan darinya. Banyak orang mati karena pencarian cinta Rahwana.

Begitulah, namun sudah sifat Rahwana tidak pernah cukup, ia menculik Sinta dan mengakibatkan kekacauan. Rama dan para kera akhirnya menyerang istana Alengka untuk membebaskan Sinta. Pasukan Rama membuat daratan antar-benua berbulan-bulan, tentara mereka adalah kera yang tak kenal takut.



Akhirnya negeri Alengka hancur setelah peperangan berhari-hari, berdarah, dan penuh emosi.


**

Secara keseluruhan, aku sangat menikmati buku ini, ia begitu menghibur dengan ciri khas dongeng. Membaca kisah wayang tentu saja berbeda dengan membaca novel. Yang mencolok menurutku adalah dari penuturan antartokoh dan gaya bercerita.

Antartokoh di dalam buku ini begitu sopan dan menghargai, dan gaya bercerita penulis seolah sedang membacakan dongeng yang penuh keseruan dan kita tidak ingin segera tamat.

Bagaimana Saya Akhirnya Bisa Suka K-pop


Di suatu malam di Jogja, aku pernah ‘terjabak’ di kerumunan yang isinya adalah cewek-cewek penyuka K-pop. Salah satu dari mereka mengenalku, yang lainnya tidak.
“Ini lho, namanya Sokhi, dia suka K-pop juga,” katanya.
Lalu yang lain bertanya, “Ohya, suka denger apa?”
Aku berpikir lama, “Sejauh ini ini sih saya suka denger ost drama korea.”
Kemudian hening.

***

Sebelum aku suka K-pop, aku sudah suka nonton drama korea (drakor). Drakor pertama yang kutonton adalah Pinochio, kemudian ketagihan dan menonton Solomon Pejury, W, Goblin, dan yang teranyar: Radio Romance. Aku pernah menuliskannya kenapa aku bisa suka drama korea di sini:  Kenapa akhirnya saya jadi suka drama korea juga

Sebagai minoritas (baca: cowok yang suka drakor dan kpop) awalnya memang kumerasa ini perlu disembunyikan. Karena (1) Anggapan orang lain terhadap cowok yang suka drakor dan kpop sejauh yang kutahu, agak sedikit miring. (2) Tidak wajar seorang cowok menyukai drakor dan kpop sebab akan terkesan kemayu.

Bahkan, teman dekatku yang seorang cewek, sangat tidak menyukaiku ketika aku menonton Twice, Blackpink di youtube. Ia merasa risih ketika aku menonton mereka. Padahal kan aku merasa senang, musik mereka bagus, pengambilan gambar, dan dancenya juga asik.

“Bisa nggak sih kalau lagi nonton jangan di sampingku,” katanya.

Dan awal kenapa aku suka K-pop adalah ketika kegabutan itu datang, dan nggak sengaja mencet video Blacpink yang As If It’s Your Last. Dan ya aku langsung jatuh cinta dengan Girlband ini, terutama penampilan Lalisa. Kemudian aku menonton video yang lain, seperti Twice, Red Velvet, SNSD, kemudian Gfriend dan seterusnya, dan seterusnya.

Ternyata, video mereka sangat menarik hatiku. Dan saat itulah aku berikrar sebagai fansboy. Jika ditanya siapa biasku, maka aku akan menjawab Jihyoo Twice. Entah kenapa mbak yang satu ini sangat menarik hatiku, dan selalu membuatku bahagia ketika melihat senyumnya.


***

Setelah kutelusuri diriku sendiri kenapa aku bisa menyukai K-pop dan Drakor, adalah ketika aku tidak bisa menemukan hiburan di layar kaca kita. Layar kaca kita menurutku agaknya gagal menjadi media hiburan. Maka dari itu, aku mencari jalan lain yang akhirnya menemukan oasis itu: Drakor dan K-pop.

Sejauh ini, aku memang masih bisa dibilang awam, tidak terlalu meniak, ya sewajarnya saja. Tapi jika salah satu dari mereka datang ke Indonesia, aku merasa perlu untuk bertemu dengannya. Apalagi ada kabar nanti di Agustus, Twice mau ke Jakarta. Hati kecilku berkata bahwa aku harus wajib datang bertemu mereka. Jadi, apakah ini wajar?

Dan ketika kau suka K-pop dan drakor, kau bisa mempunyai bahan obrolan ketika bertemu teman. Dan ini cukup ada baiknya daripada kamu diam saja ketika teman-temanmu asyik ngobrol.

Terkait anggapan orang tentang cowok yang suka K-pop dan Drakor, menurutku terlalu berlebihan. Mereka tidak bisa menganggap sifat seseorang hanya dengan apa yang seseorang tonton.

Dengan menyukai Drakor dan K-pop, aku tidak otomatis menjadi ‘drama’, tidak otomatis jadi kemayu. Jadi ya, biasa-biasa aja, kita hanya sedang mencari pelampiaskan ketika media hiburan kita miskin bahan-bahan untuk membuat kita terhibur.


Ngapain ke Big Bad Wolf (BBW)?

Seorang pegiat buku, aku lupa siapa, pernah bilang begini: saya tidak setuju dengan rendahnya minat baca di Indonesia jika penyebaran buku di negera kita masih bermasalah. Akses untuk membaca buku masih susah, minim perpustakaan, minim buku murah. Kita baru bisa menilai negara kita rendah atau tidak dalam minat membaca buku ketika buku itu sendiri bisa dengan mudah didapat.

Kurang lebih begitu katanya.


Big Bad Wolf (BBW) merupakan pameran buku yang menjual buku-buku murah. Kita bisa mendapatkan buku dengan harga ‘tidak wajar’ di sini. Tapi tunggu dulu, bisa saja buku seleramu tidak ada di sini. Jadi jangan senang dulu.

Ketika aku datang ke BBW pada Jumat (30/03) aku menemukan banyak buku-anak di sana, kemudian nomor selanjutnya ditempati oleh buku-buku import berbahasa Inggris. BBW tahun ini diadakan di ICE BSD City. Walau namanya BBW Jakarta, tapi ia diadakan di Tangerang, ajaib memang. Ohya, acara ini diselenggarakan sampai tanggal 9 April.

Untuk mencapai ke tempat tersebut, dari tempatku, Mangga besar untuk sampai ke sana memerlukan banyak waktu dan ongkos. Aku belum pernah kesana sebelumnya, maka aku cari-cari informasi tentang bagaimana bisa mencapai ke tempat itu.

Maka aku naik shuttle bus dari ITC Mangga Dua, biaya perorangnya Rp. 20.000. Bus ini membawamu ke terminal BSD, kemudian transit 2 kali untuk akhirnya sampai di lobi ICE. Kamu tidak perlu membayar lagi, cukup Rp. 20.000 kamu sudah diantar hingga lobi ICE.

berasa pulang kampung

Masuk ke dalam gedung, aku menemukan orang berlalu-lalang dengan membawa plastik berisi penuh buku. Seketika darahku mengalir begitu deras, napasku satu-satu, begitu napsu. Itu semakin menjadi-jadi ketika aku masuk ke ruangan yang begitu besar, berisi banyak buku dan orang-orang. Belum sembuh dari pusing perjalanan, aku sudah dibuat pusing di tempat ini.

Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mencari keranjang. Dan sialnya ketika aku datang, keranjang sudah habis. Sedangkan buku belanjaanku sudah tidak mungkin untuk ditenteng tangan. Maka aku menemukan keranjang di sebuah pojokan yang ada tulisan: Buku yang tidak jadi dibeli.
Aku bereskan buku-buku itu dan mengambil keranjangnya. Keranjang adalah elemen penting dalam BBW, percayalah.

buku tidak jadi dibeli

Sangat disayangkan banyak sekali buku berserakan di sana-sini, terutama di bagian ‘buku yang tidak jadi dibeli’. Entahlah apa yang mereka pikirkan ketika tidak membeli buku sebanyak itu.

Di ruangan sebesar ini, ada 1 tempat yang memusatkanku yaitu bagian: Buku Indonesia. Di sinilah buku-buku terbitan penerbit mainstream diobral abis-abisan. Ada penerbit Gagas Media, Divapress, Mizan, dan sebagainya.

Dan entah kebetulan atau bagaimana, buku yang aku beli semua dari penerbit Divapress, sebuah penerbit di Jogja yang pada masanya pernah konsesten menerbitkan kembali buku-buku sastra dari penulis-penulis senior seperti Danarto, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam dan sebagainya. Dan selanjutnya penerbit ini membuka lini baru bernama Basabasi.


Tak terasa siang sudah datang, perutku sudah memberontak. Di sini memang disediakan foodcourt. Agak ribet memang untuk jajan di sini, kamu harus top up di kartu khusus minimal 100 ribu, dan dari kartu itu kamu bisa menukarkan saldonya dengan makanan. Jadi, tidak ada uang cash di antara kita. Hal ini juga berlaku di kasir pembayaran buku, untung aku ada E-Money dan temanku mempunyai debit Mandiri.
harus punya kartu ini buat bisa makan di foodcourt

Memang acara ini ada banyak spanduk Mandiri, mungkin ia sponsor utama acara ini dan mengimplementasikan nontunai dengan caranya. Cukup efektif sih, dan terkesan modern.

Aku sempat membagikan momen ketika di BBW ke instastory. Beberapa ada yang nanya itu dimana, nitip dong, gue mau kesana sebenernya, dan lain-lain.

Dan jika memang mereka ingin ke sini, mereka mau ngapain?

Paling mereka bakal bingung, banyak buku di sini, dan mereka mencari buku incaran mereka dan tidak ketemu. Memang di BBW ada banyak buku murah, tapi jangan salah, itu tidak memastikan bahwa di sini juga banyak buku seleramu.

Jadi, dari fakta di BBW, banyaknya orang yang mencari buku untuk dibaca, kita masih percaya bahwa minat baca kita rendah? Kalau aku sih tidak, aku lebih percaya bahwa pemerataan buku di negara kita belum baik dan perlu diperhatikan lagi.

Pada awalnya, pendiri BBW memang resah terhadap minat baca orang Melayu. Adalah Andrey Yap dan istrinya Jacqueline Ng. Dan mereka untuk pertama kalinya membuka BBW di Malaysia yang 50% pengunjungnya adalah orang Melayu. Mereka mendapat ide ini karena ketika pergi ke luar negeri, ada banyak toko buku menjual sisa yang tidak terjual. Buku sisa itu bisa juga kelebihan produksi lalu dijual dengan potongan harga supaya memikat pembeli.

Jadi, bisa dikatakan bahwa faktor kenapa orang jarang membeli buku karena buku itu mahal. Dan ketika ada buku murah, mereka akan berbondong-bondong membeli. Dari sini, masih percaya bahwa minat baca kita rendah?

Semoga ke depan pameran seperti BBW akan bermunculan, dan menarik mereka yang tadinya merasa membaca itu tidak perlu, mulai berpikir ulang bahwa membaca itu adalah sebuah keperluan sama seperti makan dan minum. Semoga saja.***

Referensi bacaan: https://gaya.tempo.co/read/769193/ini-sejarah-dan-rahasia-big-bad-wolf-menjual-buku-murah