Raimuna Bersama Aurora

Raimuna Bersama Aurora

Duduk di bangku kayu depan rumah adalah kebiasaanku setiap pagi, seperti sekarang, aku menikmati mentari yang membawa cahaya baru, sebelumnya ayam jago milikku sudah mengetuk fajar. Rumput liar tumbuh kembang di depan rumah, pagi ini bercampur dengan embun.

“Akh... nikmatnya pagi ini...” kuseruput kopi hitam yang sudah kuseduh sebelumnya. Pohon jambu di depan rumahku pun mendayu-dayu, bersebab ada burung-burung nakal menggoyang-goyangkan ranting itu.

Suasana pagi ini, membawaku mengingat yang masih segar di memoriku–kemarin adalah hari perpisahanku dengan seorang wanita di Raimuna[1], jika pagi seperti ini, kita selalu senam bersama di lapangan, juga dengan ratusan peserta lainnya.
Aku jadi ingat lagi ketika di danau masih dalam Raimuna, ada game di sana yang menyangkut olahraga renang. Walau sebenarnya tidak bisa berenang, tapi kau memberanikan diru untuk terjun ke danau. Aih, dasar wanita keras kepala.

Begitu aku melihat kau melahap air danau, dan nampaknya benar-benar tenggelam, segera kuselamatkan dengan sekuat tenagaku, kurengkuh erat tubuhmu lalu kubawa ke tepi, tapi kau tak segara sadar, beresebab ada air yang nyangkut di pernapasanmu itu. Aku sangat khawatir.

Untung ada tim penolong yang telat siaga, lalu mereka menolongmu dengan peralatan yang lengkap, dan kau dibawa ke tenda menggunakan tandu. Sore itu, semua peserta sudah kedinginan oleh air danau, matahari pun sudah menjingga di atas burung-burung gereja yang bertebrangan tak jelas. Ranting-ranting pohon saling bergesekan menjadi bersuara karena ditiup angin, dan jangkrik pun mulai bernyayi. Kita pulang ke tenda masing-masing.

Malam tiba, aku selalu mengingat kejadian itu, ketika aku menolongmu. Lalu  kuputuskan untuk datang ke tenda dimana kau dirawat. Aku melihatmu terbaring lurus dengan selimut putih menjajah tubuhmu, kau dikelilingi temanmu. Aku tak berani mendekat, sebab ada orang yang lebih dekat dan akrab denganmu. Aku kan baru kenal denganmu ketika upacara pembukaan Raimuna. Jika dihitung, aku baru mengenalmu 4 hari lalu.

Akh, aku hanya bisa melihatmu yang mulai bisa bercanda gurau dengan teman-temanmu, cukup lama aku melihatmu diam-diam di sela-sela tenda. Dan, begitu kau mulai menutup mata. Terlihatlah raut wajahmu di sana, kau terlihat cantik, manis, dan menarik, rasanya aku menyimpan rasa padamu. Aurora.

***

Keesokan harinya, hari terakhir kegiatan, kau sudah mendingan dan segar seperti biasa kita jumpa, kita senam bersama di atas rumput-rumput kerdil (lapangan).
Hari ini semua kegiatan berjalan dengan lancar, seru dan menantang. Sore, tak berasa datang membawa kekuning-kuningan di langit, dan para peserta Raimuna mulai mempersiapkan diri untuk malam terakhir, malam api unggun.

Malam itu, aku sudah bersiap diri, begitu api mulai dinyalakan dan membumbung tinggi, kita (seluruh anggota Raimuna) bernyayi bersama, senang bersama, dan segalanya.

Kucari-cari dimana kau berada, kuputar-putar kepala ini sebagai radar, aku khawatir apakah kau sakit lagi. Tapi ini malam terakhir, teman-temanku mengjakku untuk berkumpul bersama mengakhiri malam.
“Chi.” Kutangkap suara itu. “Bagus ya apinya,” suara itu lagi. Kucari sumber suaranya, kulihat ke belakang, teman-temanku sudah tiada, mereka hilang, meninggalkanku sendir.
“Hah, iya, bagus ya,” tanggapku dengan nada super datar, aku masih mencari sumber suara itu. Setelah kutemukan, ternyata kau, Aurora, kau sudah berada dekat di sampingku dengan wajah sumringahmu itu.

Jemari lentikmu terasa menyentuh tangan kananku perlahan, kau dekat sekali hingga aku bisa merasakan ketenangan di hati, lalu kau mendekatkan jemarimu, yang akhirnya kita bergandengan tangan. Kutatap wajahmu, lalu kau tersenyum. Kita menikmati api yang bergoyangan itu. Kurasakan tangan lembutmu.
“Aku sayang kamu.” Batinku berkata. Kuharap, pertemuan kita tidak seperti pasak tenda–ditancapkan ketika perkemahan dimulai, dan dicabut ketika perkemahan usai–pertemuan kita seperti pasak tanda? Aku harap tidak!

Angin malam berhembus sampai terasa ke sela-sela tangan kita yang menyatu, angin itu seperti memberikan lem yang kuat agar tidak lepas–gandengan tangan ini.

***

Keesokan harinya, upacara penutupan, juga tanda akhir dari perkemahan ini. Ketika upacara penutupan usai, aku langsung berlari ke pohon kapas yang lumayan jauh dan cukup sepi orang, di pohon kapas ini adalah tampat yang sudah kita janjikan untuk terakhir kalinya bertemu pada akhir Raimuna ini. Dan benar, kau datang dengan lari panjang-panjang, kacumu loncat-loncat ke atas-bawah, ke kiri-kanan, ke segala arah. Akhirnya sampailah kau di hadapanku, lalu kau berkata-kata dari bibir tipismu, “Ini, aku ada kenang-kenangan untuk kamu,” kau meberikanku ukiran di atas benda hijau berbentuk hati bertuliskan namaku dan namamu, Ochi-Aurora.
“Aduh, terima kasih,” kataku dengan agak malu, dan tidak percaya, kau sangat perhatian hingga seperti ini.
“Iyah, disimpan ya.”
“Ya, pasti.” Tegasku seraya menggemkan erat benda berbentuk hati itu.
Lalu aku berpikir, apa yang harus kuberikan untukmu agar kamu bisa mengenangku. Dan...
“I-ini,” kataku, setelah mencopot ring kacuku, yang sudah bertahun-tahun menemaniku dibanyak acara kepramukaan.
“Terima kasih, Ochi.” Katamu, dan kulihat wajah milikmu berseri-seri, merah merona.

Mata kita pun bertemu lama, angin siang menyapu rambutmu yang panjang menjadi berombak, matamu masih berseri-seri, sampai aku bisa melihat pembatas putih-hitam di matamu itu.

Akhirnya, aku berpamitan untuk berpisah. Langkah kakiku sungguh berat meninggalkan pohon kapas dan kau, Aurora. Lalu kapas putih dari pohon itu pun berhamburan ke tanah setelah bertebrangan di awang-awang, lagi-lagi tertiup angin. Kita benar berpisah.

***

Sungguh, suasana pagi ini sukses membawaku akan semua itu (tentang kita) secara detail.

Cuaca pagi ini sangat ramah dan memberikan senyum pada semua orang yang merasakannya, terkadang ada yang memberiku sapa di pagi ini, karenannya, berakhirlah sudah mengingat-ingat semua tentang kita.
Pagi memang ramah, tapi hatiku tetap gundah. Aurora. Asalkan kau tahu, kau membawa serpihan hati ini.

Tiba-tiba, handphone-ku berdering, dan kuangkat panggilan itu.
“Hallo?”
“Iya, ini Ochi, bukan?” tanya suara yang keluar dari spaker HP-ku.
“Iya, saya sendiri?” tanyaku lagi, penasaran.
“Ochi...! Ini aku Aurora, masih ingat kan!?”
“Hah? Aurora.....”
Bla, bla, bla...



1 Raimuna : Pesta besar untuk tingkatan Pramuka Penegak Bantara. Di dalam cerita, Ochi dan Aurora bertemu pada Raimuna tingkat daerah.

Comments
0 Comments

Posting Komentar