Adalah sepasang mata Juki yang melihat perempuan itu melewatinya dengan begitu anggun. Pipi merah merona, rambut bergelombang sedikit pirang, dan bibir yang agak tebal seperti awan Jakarta malam itu.
Juki baru saja bermandikan keringat, debu, dan pasir bak adonan di tubuhnya yang coklat. Ia sedang menunggu gantian mandi dengan teman satu mesnya, pekerjaan proyek hari itu selesai jam 11 malam.
Perempuan itu menyita perhatian Juki yang seperti baru saja kerasukan cinta pertamanya. Cinta yang sama saat ia di TPQ dan jatuh cinta dengan sepupunya sendiri. Meski kejadian sudah lama berlalu, tapi rasanya terkadang muncul dan bisa datang suatu saat di waktu yang berbeda, seperti malam itu.
Mata Juki bagai kucing di tengah kegelapan, ia menelisik jauh sampai perempuan itu tertelan gelap malam. Aku seperti melihat bidadari, gumamnya.
“Gantian mandi, Juk, nanti diserobot Si Kumbang,” kata temanya, Si Cacing, sekonyong-konyong mengganggu lamunan Juki yang mulai liar.
Juki cepat berdiri, dan berjalan ke kamar mandi yang terbuat dari triplek sisa proyek. Di sana ia mandi dan terus membayangkan lekuk tubuh perempuan yang baru saja dilihatnya.
***
Setelah beberapa hari di jam yang sama, Juki selalu memperhatikan perempuan itu. Akhirnya perempuan itu sadar akan keberadaan Juki. Saat Juki melihatnya mulai menjauh, terlihat samar lambaian tangan.
“Ia memintaku kesana?” gumamnya seperti orang tolol.
Juki yang saat ini bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek berlogo Manchester United, mendatangi perempuan itu dengan hati-hati. Layaknya anak kecil yang baru dikenalkan huruf abjad, Juki dengan saksama menelisik dari ujung kepala sampai ujung kaki perempuan di depannya.
“Mau apa kau?” ketus perempuan itu ketika Juki sudah di depan hidungnya.
Juki tak menjawab, kaku, kelu, seluruh tubuhnya dingin, menyatu dengan malam Jakarta saat itu.
“Aku tau laki macam kau, bajingan goblok yang mau menggadaikan masa depan untuk kesenangan sementara,” perempuan itu mendengus, “aku tau kau mau badanku.”
Juki menelan ludah, pupil matanya melebar, penglihatannya jadi lebih terang dari sebelumnya.
“Lima ratus ribu sekali main,” ucap perempuan itu, matanya kemudian memutar seolah tak sabar dengan sikap naif Juki yang sangat ketara.
“Mau nego? Bisa,” tambahnya.
Juki yang seolah tersirna oleh kecantikan perempuan itu–setidaknya menurutnya–kemudian mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan dari saku celana logo Manchester Unitednya. Perempuan itu menerima.
“Ok, deal, ikuti aku dan jangan berisik.”
Juki mengikuti perempuan itu dari belakang seperti anjing yang menuruti majikannya. Ia melihat perempuan itu dari belakang yang terbalut kaos polos putih oversize dan celana jeans pendek sampai terlihat putih pahanya. Tubuh yang berisi, pinggul yang proporsional, dan kaki yang agak gemuk. Juki taksir umur perempuan itu di akhir 30an, sama sepertinya.
Juki sebenarnya sangat menyukai mata perempuan itu, yang terlihat tegas dan mengintimidasi, namun ia yakin sebenarnya di balik mata itu ada sosok yang rapuh dan penyayang.
Mereka sampai di depan sebuah kamar dengan pintu coklat yang terlihat cukup terawat, perempuan itu masuk disusul Juki. Matanya kosong, entah apa yang ada di batok kepalanya saat itu.
“Mandilah,” kata perempuan itu pendek.
Juki menuruti kata perempuan itu dan masuk ke kamar mandi yang tidak terlalu besar, hanya cukup untuk satu orang. Di sana ia temukan peralatan mandi seperti sabun, sikat, dan lainnya tertata rapi. Ia cepat mandi dan keluar dengan sehelai handuk biru berlogo Chelsea.
Juki duduk di ujung ranjang dengan sprei berlogo Barcelona yang mendominasi, kemudian perempuan itu mengelus pahanya. Juki hanya bisa diam dan menikmati sensasi itu, tangan perempuan itu terasa begitu lembut.
Kemudian perempuan itu mulai mendekatkan kepalanya ke pundak Juki, Juki semakin mencium aroma harum dari badan perempuan itu, wangi mawar, ya wangi mawar yang samar-samar.
Malam itu lampu kamar antara menyala atau tidak, tipis saja, Juki mulai bernafas tak beraturan, perempuan itu masih tenang dan terlihat profesional.
“Nggak usah tegang, goblok!” bentak perempuan itu pelan tapi nyelekit.
Juki hanya bisa mematung dan mencoba rileks.
Saat perempuan itu baru ingin mendaratkan ciuman di pipi Juki, terdengar satu pesan masuk ke hp Juki.
Juki yang melihat ke arah meja di mana hpnya tergeletak, melihat samar satu notifikasi SMS masuk, ia mengernyitkan dahi dan memfokuskan pandangan pada layar hpnya:
“Kamu belum kirim? Anakmu butuh susu.” Isi pesan itu terlihat di layar.
Juki, sekali lagi, hanya bisa mematung seolah terbius oleh harum perempuan itu yang membuatnya sangat nyaman berada di sana.
Tak lama kemudian, ia menyadari bahwa dirinya dan perempuan itu sudah tak menggunakan sehelai kain pun. Juki tak ingat apa-apa, dan tak merasakan apa-apa. Yang ia tahu pistolnya sudah lemas seperti kentang rebus.
“Sudah selesai,” kata perempuan itu.
Juki mulai berkemas dan sorot matanya melihat ke arah tubuh bugil perempuan itu, perempuan yang kemudian ia menyebutnya Si Mawar. Ia keluar dari kamar itu dan tak lupa hp android yang sudah ia kenakan dua buah karet di bodynya—karena terkadang baterai di hpnya tak berfungsi dan dengan mudah kapan saja drop—dibawanya dan dimasukan ke saku.
Ia pulang dengan berjalan menyusuri jalan gelap yang sama ketika ia datang ke tempat itu, tak jauh, hanya sekitar 30 meter.
Seolah tak terjadi apa-apa, ia kemudian tidur di mesnya dengan selembar kardus air mineral. Ia tak cerita kepada siapa-siapa, dan hanya tidur yang ia inginkan untuk saat itu. Tidur adalah pelarian paling murah yang ia tahu.
***
Hari-hari selanjutnya, ia hanya bisa melihat perempuan mawar itu dari kejauhan tanpa menidurinya. Karena ia tak punya uang lagi. Pada saat dimana ia mendapat bagian upahnya, ia datang ke tempat perempuan mawar itu dan tanpa tedeng aling-aling ia bilang, “Aku mau semalam denganmu.”
Dan malam itu Juki seolah terlahir kembali, ia begitu menikmati tiap sentuhan perempuan mawar itu. Bibirnya yang bau Samsu dilumat habis perempuan itu dengan saksama, dan lumatan lainnya yang membuatnya seolah berada di surga dan segala bentuk janji manis untuk orang yang berbuat baik selama di dunia.
Juki menikmati surganya malam itu, ia terkekeh, tersenyum, merengkuh, mendesah, di riuhnya malam Jakarta yang jahanam.
***
Esoknya uangnya lenyap, ia sudah habiskan di satu malam bersama perempuan mawar. Ia datang ke proyek dengan mata merah dan wajah tak menyenangkan, ia begadang sampai subuh untuk menikmati tiap detik bersama perempuan mawarnya.
“Semalam kau kemana?” tanya Si Kumbang, orang paling ditakuti di antara kuli dan tukang bangunan.
“Bukan urusanmu, aku mau kerja, jangan ganggu,” ucap Juki acuh tak acuh.
“Istrimu menelponku.”
“Peduli setan.”
“Katanya istrimu sudah lama tidak kau sentuh, aku menyuruhnya untuk mencoba sendiri atau kalau sudah tak tahan, aku bisa melayani saat itu juga.”
Juki cuma diam. Saat itu dadanya adalah api.
“Aku bohong,” Si Kumbang terkekeh, “istrimu menelepon Si Cacing karena malam itu kau tidak ada kabar.”
Juki sudah kadung diselimuti amarah, tanpa babibu, Juki meninju mulut Si Kumbang dan darah segar keluar begitu saja. Juki mengerang kesakitan, begitu juga Si Kumbang. Tangan Juki ikut berdarah karena terkena gigi depan Si Kumbang yang kuning kecoklatan.
Tak lama kemudian area proyek sudah seperti arena tinju bebas dadakan. Tak ada yang melerai, karena semua sudah benci dengan si Kumbang dan ini saatnya melihat orang yang berani mati melawan jagoan itu.
Si Kumbang pun balas menyeruduk Juki sampai terpelanting di tumpukan pasir yang baru saja datang pagi tadi. Juki berusaha berdiri, orang-orang mengerumuni mereka dengan menyemangati Juki. Juki yang tidak memiliki ilmu apa-apa, hanya badan yang ia tempa di tempat proyek, mengandalkan nyali dan keberuntungan.
Juki mulai mendekati Si Kumbang dengan perlahan, ia pasang kuda-kuda, begitu pula si Kumbang. Orang-orang sorak sorai meneriakan nama Juki berkali-kali, ia adalah pahlawan bagi mereka.
Juki dan Si Kumbang sama-sama mengamati pergerakan masing-masing, saling memutar otak dan strategi untuk mencari celah untuk menyerang dengan telak.
Ketika melihat Si Kumbang ingin menyeruduknya lagi, Juki langsung melemparkan pasir tepat ke arah mata Si Kumbang, pasir yang ia rengkuh dari kejatuhan pertamanya tadi. Pasir itu otomatis membuat penglihatan Si Kumbang kabur dan menjadi kesempatan Juki untuk menyerang.
Sorak sorai semakin bergemuruh ketika Juki mulai meninju telak rahang Si Kumbang, yang membuat badan besarnya mulai goyah, Juki kembali meninju perut Si Kumbang, kemudian menendang dengkulnya sekuat tenaga sehingga membuat Si Kumbang terjatuh ke depan.
Hal itu dimanfaatkan Juki untuk mencekik dari belakang dan kesempatan itu tak ia sia-siakan, cekikan Juki yang bercampur tabungan amarahnya dan teman-temannya membuatnya begitu bersemangat.
Sedang Si Kumbang terus mencoba melawan, ia sekuat tenaga menjatuhkan Juki yang berada di atas badan besarnya. Tapi siapa saja yang melihat perkelahian itu akan tahu siapa yang akan kalah.
Tubuh Si Kumbang mulai lemas, nafasnya sudah sulit karena lengan Juki sudah seluruhnya masuk ke lehernya. Seperti kesetanan, Juki ingin membunuh Si Kumbang saat itu juga. Namun Si Cacing yang melihat Si Kumbang sudah tak berkutik, melerai perkelahian itu.
Si Kumbang terkapar seperti tai kucing, kemudian Juki diarak oleh teman-temannya.
“Juki, juki, juki, juki!”
Orang-orang mengelu-elukan namanya. Ketika ia berada dalam kesenangan, ia melihat ke luar, ke arah jalan yang biasanya orang lalui, ia melihat perempuan mawarnya, perempuan itu tersenyum tipis, dan Juki membalas senyumnya dengan memberikan ciuman jarak jauh ala remaja baru kasmaran.
“I lope you,” kata Juki mengikuti yang di film-film.
Meski tak ada yang tahu apakah yang berada di sana benar perempuan mawar yang dimaksud Juki.
***
Beruntungnya, atas kejadian perkelahian tersebut, tidak ada yang mengadu pada mandor. Semua kuli dan tukang senang karena Si Kumbang sudah hancur harga dirinya. Membuat mereka jadi lebih leluasa bekerja tanpa takut diusili oleh Si Kumbang yang sering kelewatan.
Malamnya, Juki datang ke tempat perempuan mawar itu, dan disana ia disambut dengan baik. Perempuan itu membantu Juki menyembuhkan luka-luka kecil di tubuhnya yang keras seperti beton dengan kapas dan alkohol.
Bak pasangan baru, mereka kemudian berciuman, bercumbu, dan bercinta sampai pagi.
“Hari ini gratis, besok bayar, ya.”
Juki hanya meringis mendengar kata-kata itu keluar dari mulut yang sama yang melumat tiap jengkal tubuhnya, dan ia mulai menyalakan rokok samsunya, mengebulkan asapnya perlahan. Pikirannya mulai tenang, dan bergumam: sedang apa istriku sekarang?***