Beberapa bulan
yang lalu, seorang teman pernah bertanya kepadaku, kenapa aku masih terus
konsisten membuat konten di media sosial walau respon yang ada (dilihat dari
jumlah like dan komentar)
sedikit. Aku hanya menjawab bahwa aku melakukan itu karena suka, mau ada yang
lihat atau nggak ya bodo amat. Tidak ada harapan muluk dari setiap konten yang
aku buat. Atau bila disebut konten pun masih terlalu berlebihan.
Photo by Markus Lompa on Unsplash |
Ia heran kenapa
aku melakukan ini, bahkan aku tidak mendapat uang dari sana. Tapi ya mau gimana
lagi, namanya
juga suka, aku buatnya juga suka-suka, tidak ada target khusus dan berjalan
begitu saja.
Hingga akhirnya
seorang teman sedang mencari editor video, aku tertarik, lalu kuberikan contoh
video yang pernah kubuat, kami mengobrol, dan aku langsung bekerja. Ini adalah
pekerjaan sampingan. Temanku yang mengambil video, aku yang mengeditnya sampai
begadang. Bayarannya tidak seberapa memang.
Jika aku tidak
pernah membuat video yang suka-suka itu, barangkali aku tidak berani untuk
menawarkan diri untuk job itu. (1) karena
aku tidak pede, (2) karena
aku tidak punya portofolio. Ya, tentu saja media sosial adalah senjata ampuh
untuk membuat branding dan portofolio, dan aku melakukan itu tanpa sadar.
Seminggu setelah
mendapat pekerjaan pertama, aku dipercaya untuk mengambil video sendiri dan
mengedit sendiri. Job pertama ini datang dari acara ulang tahun di Hotel Mulia,
hotel bintang lima yang sebelumnya tidak pernah kupikir aku bisa menginjakkan
kaki di sini. Awoakwokao
Tentu bayaran
kali ini lebih besar dari sekadar mengedit video, dan itu lebih dari cukup jika
disebut sebagai pekerjaan sampingan. Dan aku melakukan ini juga karena suka,
kadang aku tidak memikirkan bayaran saking menikmati pekerjaan seperti ini.
Semua berjalan
hingga aku bertemu dengan banyak orang di industri ini. Aku bertemu dengan Danny, seorang fotografer
muda yang sekali ‘terjun’ ia dibayar tiga juta. Bayangkan, TIGA JUTA! Jika
seminggu saja ada 4 job, mungkin dia sudah bisa hidup nyaman di bulan itu.
Danny mempelajari ilmu
fotografi secara ototidak, ia putus kuliah pada SEMESTER 7! Kendati demikian,
ia terus merintis karirnya, dimulai dari kamera yang murah hingga kamera kelas
atas. Katanya, fotografi adalah tentang praktik, kalau tidak praktik ya tidak
akan bisa.
Ia juga
memamerkan akun instagram tim fotografinya: Sandigo Studio. Di mana tim ini
pernah memotret artis, pernah dipercaya membuat video komunitas mobil mewah,
memotret di luar negeri, dan sebagainya. Dan yang membuatku salut adalah tim
ini diisi oleh anak-anak muda usia 21-24 tahun!
Selanjutnya aku
bertemu dengan Mas Agung, ketua tim di tempatku bekerja. Kami mengobrol di
kantin apartemennya. Ia bercerita tentang bagaimana ia merintis pekerjaannya
ini, pekerjaan yang tidak main-main, omset perbulannya bisa puluhan juta! Ya,
dengan memotret!
Ia lulus S1 dan
S2 tidak ada hubungannya
dengan dengan dunia fotografi, malah ilmu fotografi ia dapatkan di ‘jalan’. Tapi karena
ia lulusan marketing, ia bisa melihat pangsa pasar. Dari sana ia membuat
koneksi dan berjejaring dengan klien yang hingga sekarang sudah bisa dibilang
banyak. Bagaimana tidak, dalam sehari bisa ada 3 job yang datang padanya.
Dan di dalam tim
tersebut terdapat para fotografer muda yang, menurut penuturan temanku, dalam
seminggu omset mereka bisa mencapai 7 juta seminggu!
Tentu aku shock, kok bisa hanya dengan memotret
bisa mendapat uang segitu banyak.
“Bahkan 30 juta
sekali motret pun bisa,” kata Mas Agung yang kutaksir berusia 40 tahun-an itu.
Sialnya aku
menjadi tertarik untuk serius di dunia ini, di samping memang aku memang
menyukainya. Pekerjaan sampingan ini tentu bukan sekadar mendapat uang
tambahan, tapi bisa bertemu orang-orang hebat dan sebagai asupan motivasi
bagiku.
Pada
akhirnya, industri yang biasanya dipadang sebelah mata ini, ternyata sangat
menjanjikan. Kamu bisa memulainya dengan menawarkan diri untuk memotret atau
membuat video mereka, awalnya gratis dulu aja, kemudian namamu menjadi lebih
dikenal dan mulai mematok harga.