KE UBUD SENDIRIAN: BERTEMU EKA KURNIAWAN #3




         Sebelum aku berangkat ke Museum Neka, aku membeli makanan, ya tentu saja aku lapar. Ini sudah jam 10 lewat. Sebelumnya aku sudah makan roti yang kubawa dari Jakarta, roti itu ternyata hanya mampu bertahan sampai jam 9 di perutku. Huh, perjalanan tadi memakan banyak energiku.
          Keluar dari kerumunan acara, aku menuju jalan, dan kebetulan sekali di ujung jalan ada yang jualan dengan gerobaknya. Aku ndak tahu apa yang ia jual, di gerobaknya hanya tertulis: Es Kelapa dan Tahu. Aku penasaran dan memesan tahu yang ia jual.
          Setelah siap, aku memakan tahu itu dengan lahap. Aku ndak tahu nama makanan ini apa, ia mirip dengan ketoprak dan semacamnya. Tapi ini tahu, aku lupa tahu apa namanya, mungkin ini hanya ada di Bali. Bedanya makanan ini dengan makanan tahu yang biasa kumakan, jika makanan yang biasa kumakan menggunakan sambel sebagai pelengkapnya, makanan ini menggunakan cabai hijau. Aku sempat meragukan rasanya, tepi ternyata cukup enak dan bikin kenyang. Harganya? Cuma tuju ribu rupiah saja~



          Di museum Neka aku bertemu Eka Kurniawan sedang berbicara. Ia menjelaskan panjang lebar tentang bukunya Cantik itu Luka yang fenomenal, yang diterjemahkan dalam banyak bahasa.
          Karena aku datang terlambat, aku hanya bisa melihatnya dari belakang, dari paling belakang. Tempat ini ramai, dan kebanyakan bule-bule dengan pakaiannya yang begitu-begitu, yang kadang membuatku salah fokus. 

dari paling belakang~


          Melihat Eka Kurniawan secara langsung membuatku ndak percaya bahwa ini kenyataan. Aku sangat mengidolakannya, sangat, sangat, sangaaaat mengidolakannya. Aku suka bagaimana ia menulis dan hal-hal yang ia angkat dalam tulisannya. Dan aku ingin seperti dia, itu adalah sebab kenapa karya-karyaku (bolehlah aku menyebut karya-karyaku untuk cerpen yang pernah kutulis) sangat terpengarui olehnya.
          Tapi nyatanya ini bukan mimpi. Aku melihatnya langsung, ia berbicara, menjawab pertanyaan dan tarus seperti itu.
          Ndak terlalu lama, acara selesai, mungkin karena aku telat datang. Ketika acara selesai, banyak orang mengurumuni Eka dan berebut ingin foto dengannya, termasuk aku. Karena banyaknya orang yang ingin berfoto dengannya, akhirnya panitia mengalihkan kami ke ruang pertemuan yang ada di bawah lantai sana.
          Di sana, aku mengantre. Semua orang membawa buku Eka Kurniawan untuk ditandatangani nantinya, sedang aku ndak membawa bukunya, aku hanya membawa buku mamoar Edgar Keret The Seven Good Years. Aku sempat ragu untuk ikut mengantre, tapi aku berpikir kapan lagi bisa bertemu dengannya lebih dekat, atau berfoto dengannya, atau sekadar berjabat jangan dengannya.
          Akhirnya aku ikut mengantre, di depanku ada seorang perempuan yang sepertinya sepantar denganku dengan membawa buku Cantik itu Luka. Ia memintaku membantu mengambil gambarnya bersama Eka dan aku setuju. Ia bersanding dengan Eka setelah buku itu ditandatangani dan aku mengambil gambarnya berkali-kali, aku juga mengambil gambarnya ketika ia menunggu buku miliknya ditandatangani oleh Eka, aku pikir ia akan suka dengan hasil jepretanku.
          Dan ia selesai, menghampiriku dan aku berkata,
          “Boleh gantian?” sambil menjulurkan hpku dan ia mau, ia tersenyum.
          Dan aku mendekati Eka sambil mengeluarkan buku Edgar Keret.
          “Maaf, saya nggak membawa buku anda. Tapi saya membawa buku ini yang kata pengantarnya anda yang menulis,” kataku, kata-kata ini sudah kurangkai beberapa menit lalu ketika mengantre.
          Dan Eka hanya tersenyum sambil tertawa, “Hihihihihi.”
          Astaga, aku membuatnya tertawa. Hahahaha.. Sungguh ini seperti mimpi!
          Ia mendatangani bukuku sabil tersenyum, sedang aku menunggunya di sampingnya. Aku ndak tahu adegan ini akan diambil atau ndak sama si perempuan di depanku tadi. Setelah adegan tadi, aku bersanding di samping Eka dan foto. Cekrek. Cekrek. Sudah. Lalu aku dan Eka berjabat tangan. Tangannya hangat, dan wow, aku berjabat tangan dengannya! Sungguh ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan, sebuah mimpi semacam ingin mencium perempuan di bawah hujan. Ya, mungkin semacam itu :3

dari dekat, eka kurniawan terlihat banyak ubannya, hehehe :D

          Setelah itu aku keluar ruangan, dan kembali melaju si metik ke arah Taman Baca tadi.***

video


KE UBUD SENDIRIAN: MOTOR-MOTORAN DI BALI #2





Ketika aku masih kecil (kamu bisa membayangkan bocah ingusan dengan rambut gondrong tak terawat), jika ada pesawat lewat, aku dan teman-temanku akan bernyayi bersama sambil lari-larian. Bunyi nyayian itu begini.


''Motor mabur ndaluk duite, ora ulih sogok silite!''


Ya, itu cukup menggelikan memang (jika kamu tahu artinya). Dan ketika aku menanyayikan itu dengan teriakan lantang, aku juga berharap dari pantat pesawat itu mengeluarkan duit. Entahlah, itu yang aku pikirkan dan sampai sekarang aku ndak pernah dapati pantat pesawat mengeluarkan duit.
Saat itu juga, aku kepengin naik pesawat. Bagaimana rasanya terbang bersama burung besi itu, ya? Ya, itu sangat membuat aku penasaran. Dan akhirnya rasa penasaran itu sudah lunas ketika aku terbang ke Bali. Dan sebenernya aku juga penasaran dengan Bali itu sendiri, terutama hal itu muncul ketika saya ketagihan nonton FTV.
Jadi, waktu itu malam hari, aku take off dari bandara Soekarno-Hatta. Aku sendirian, dan aku sudah terlatih dalam kondisi seperti ini. Aku take off jam sembilan lewat. Ketika aku sudah masuk pesawat dan disambut mb pramugari yang cantik itu lalu menemukan tempat duduk yang ternyata berada di samping jedela, aku mulai deg-degan.

di Bandara..

Ternyata, ketika pesawat akan terbang, di sebelahku tidak ada yang menempati, kosong, dan di sebelahnya lagi ada bule, cowok sih. Selama perjalanan aku ndak ngobrol sama si bule ini, andai aku ngobrol, pasti paragraf ini jadi lebih panjang :3
Oya, ternyata dengan menggunakan surat keterangan bahwa KTP sedang diproses bisa untuk naik pesawat terbang. Setelah aku baca-baca, yang penting tuh bukti identitas yang ada fotomu di sana. Dan surat keterangan itu memenuhi kriteria itu, walau aku sangat deg-degan-parah pas dicek petugas. 
 
Duduk anteng-penuh-tegang


aku baca ginian di pesawat, tentang hantu-hantu di asia tengara. hooo~



***

Satu hal yang terpenting katika kamu akan pergi ke Bali adalah transportasi apa yang akan kamu gunakan selama di sana. Bali terkenal dengan minimnya angkutan umum, dan banyak rental kendaraan. Dan tentu saja aku memikirkan hal itu sebelum berangkat ke Bali. Aku berselancar di internet dan menemukan rekomendasi rental motor yang pas.
          Rental motor Mas Bayu, itulah namanya. Sesampainya aku di Bandara Ngurah Rai Bali, aku langsung menghubungi Mas Bayu untuk mengkonfirmasi penyewaan kendaraannya. Sebelumnya aku harus nyari colokan karena batrai hpku lowbet. Mencari colokan tidaklah mudah, aku sempat diberi tahu satpam untuk cas hp di colokan di pojokan sana, tapi ternyata ketika aku hampiri, sudah ada Mas-mas asyik dengan handphone-nya (yang lagi dicas) sambil tiduran, sudah seperti di kontrakan saja.
          “Mas, colokannya bisa ya di situ?” kataku basa-basi.
          “Eh, iya, bisa,” jawabnya setelah bangun dari posisi tidurnya.
          “Sudah penuh, Mas?”
          “Belum, baru aja ngecas.”
          Dan aku langsung berpikir untuk pergi dari situ segera.
          Akhirnya aku balik ke satpam, di sana aku melihat kabel rool yang ada beberapa colokan nganggur. Aku memberikan kode agar bisa ngecas di sana, dan satpam-muda itu mengerti, akhirnya aku mengecas hpku di sana dan menunggunya di tempat duduk sambil tiduran. 

Di sini~


          Ini sudah jam 2 pagi, aku ndak menyewa hotel dan semacamnya. Aku berpikir bahwa waktu efektifku di Bali hanya sehari, jadi untuk apa menyewa hotel, tidur di bandara bukan pilihan buruk. Bilang aja ndak punya duit buat nyewa hotel, Ki..
          Setelah kiranya hpku cukup batrai, aku mengambilnya dan berterima kasih pada sang satpam-muda. Setelah itu aku pergi ke mushola dan berniat tidur di sana. Tapi aku urungkan niatku itu ketika aku baru saja sampai pintu mushola, aku melihat beberapa tentara tidur di sana. Mereka tidur dengan masing-masing memeluk senjata laras panjang. Itu cukup membuatku begidik. Bagaimana nanti jika tentara itu ndak sadar mengeluarkan peluru dari senjata mereka dan mengenai aku? Bisa mati dong. Aku belum kawin nikah~

btw ini di bandara ngurah rai pas aku mau pulang ke jakarta. bandaranya keren, deket banget sama laut.

          Jadi aku tidur di ruang tunggu, ada beberapa orang yang senasib denganku. Dan ini ndak terlalu buruk, cuacanya enak, dan tempatnya bersih. Aku tidur nyenyak, waktu itu sekira jam 3 aku baru bisa tidur dan bangun jam 5.
          Setelah menunaikan kewajiban, aku bersiap keluar bandara menuju tempat perjanjian aku dan Mas Bayu prihal penyewaan motor. Kami memutuskan bertemu di gazebo parkiran, masih di komplek bandara. Mas Bayu mengutus temannya bernama Mas Fajar. Ia memberitahuku lewat whatsapp.
          Setelah menunggu agak lama di gazebo, dan agak merinding karena ada anjing berkeliaran, akhirnya aku bertemu Mas Fajar. Ia sangat ramah kepadaku.
          “Mas yang nyewa motor?”
          “Iya.”
          “Ikut saya, Mas.”
          Dan aku mengikutinya, ternyata motor-motor sewaannya ada di parkiran itu, tapi tempatnya di pojokan sana dan sepi. Aku di bawa ke tempat pojokan dan sepi sama Mas Fajar. Aku ndak mau berpikir buruk.
          “Masnya sendirian?” tanyanya.
          “Iya sendiri.”
          Ia seperti ndak percaya bahwa lelaki jantan ini datang ke Bali sendirian. Ndak mengapa, ia mungkin meragukanku, ia belum tahu saja siapa aku. Hahaha..

motor yang kusewa~


          Setelah tanda tangan dan memberikan foto kopi identitas, dan pastinya kasih duit buat penyewaan, aku diberi kunci motor, jas hujan dan STNK. Aku sempat bertanya padanya di mana itu  Sangginan, ia jawab ndak tahu. Dari sini aku tahu bahwa Sanggingan bukan tempat yang dekat dari bandara. Hm..
          Sekira jam 7 lewat aku membawa si metik beat ini ke jalan raya. Jangan kautanya keahilanku naik motor, walau aku ndak punya motor, aku bisa naik motor. Tapi satu hal, aku sama sekali ndak tahu kemana harus pergi. Ini Bali, cuy~
          Aku percaya instingku begitu kuat, sebagaimana aku bisa tahu bahwa perempuan itu jodohku. Aku mengebut si metik melewati jalan raya dan mampir ke pom bensin sebentar untuk mengisi bensin untuk jaga-jaga nantinya. Ndak jauh dari pom bensin itu, ada yang jualan susu. Kebetulan, siapa tahu tukang susu itu tahu tempat di mana tujuanku.
          Aku memesan susunya (kumohon jangan salah paham), ia Mas-mas dan logat bicara kental banget, ia orang jawa. Ia ndak tahu di mana tempat tujuanku, maka aku bertanya ke orang lain di sekitar situ. Aku bertanya pada seorang om-om di mobil, ia sedang makan, aku ndak enak mengganggunya.

mari nyusu~



          Aku mengeluarkan buku kecil yang sedari awal aku selipkan di ‘saku’ motor dekat stang, dan bertanya tempat tujuanku. Di buku itu memang sudah ada ‘tutorial’ untuk mencapai tujuanku, tapi bagaimanapun teori ndak semudah itu jika dipraktikan di lapangan.
          Aku mulai bertanya dan ia menjelaskan panjang lebar. Aku ndak bisa mengingat semua apa yang dikatakannya.
          “Kira-kira makan waktu 2 jam-anlah kalo lancar,” katanya. Dua jam? Ah itu ndak terlalu buruk, aku bisa sampai di tempat dalam waktu satu jam, hahaha..
          Tapi nyatanya, setelah keluar dari komplek pom bensin itu, aku kembali ling-lung, aku bertanya dan bertanya. Pantatku mulai panas dan matahari di atas sana juga sudah mulai membara.
          Aku melewati jalan di Bali rasanya ndak seperti di Jakarta atau di kampungku Cilacap. Di Bali, aku sering mencium wangi bunga yang khas, dan itu membuatku rindu untuk balik lagi ke sana. Wangi bunga itu semakin diperindah dengan pemandangan sekitar. Orang-orang jalan kaki dengan tenang, pakaian adat banyak digunakan warga, dan bule-bule dengan pakaian mini yang menyegarkan mata. Amat khas, ini Bali!
          Aku terus melaju si metik, aku juga terus bertanya hampir di setiap pengkolan. Aku bertanya pada satpam, penjual bunga, mas-mas ketemu di alfamart, dan banyak lagi. Ada banyak orang yang aku tanyai, dan hal yang aku sadar, bahwa logat mereka sangat asing di kepalaku.
          Ini logat orang Bali, Oh Tuhan, makin terasa saja rasa cintaku pada negeri ini. Sungguh merugi orang Indonesia yang belum pernah ke Bali. Tiba-tiba aku memikirkan itu.
          Seseorang yang kutanya tempat tujuanku menjawab seperti ini,
          “Ini masih jauh, Mas, Ubud itu tengah-tengahnya Bali, Denpasar itu pinggiran Bali. Masih jauh, Mas hati-hati saja ya.” Lalu terlihat di wajahnya sebuah keraguan bahwa lelaki ini akan sampa di tujuan. Huh.
          Tapi nyatanya aku bisa sampai di tempat tujuan. Aku terus melaju si metik tanpa ampun, aku melewati jalan besar dan jalan kecil. Semuanya aku lewati dan harus tetap fokus supaya ndak jatuh. 

aku sempat mampir ke taman ini, luas banget dan suasananya enyak~

          Akhirnya aku sampai juga di Ubud, aku melewati pasar Sukawati dan beberapa tempat terkenal lainnya. Tapi ya itu, hanya melewati, mungkin suatu saat nanti aku bisa mampir ke sana.
          Aku sampai di pasar Ubud dan banyak orang di sini, ndak seramai di Denpasar, pikirku. Bule-bule makin banyak, dan orang-orang terlihat begitu sibuk dengan kesibukannya masing-masing.
          Aku melewati jalan monkey forest, aku sempat kaget karena banyaknya monyet di jalanan. Aku harus hati-hati supaya ndak menabrak mereka.
          Sampailah aku di Sanggingan, Ubud. Agak telat, aku ndak sempat melihat SGA di pembukaan, tapi sebagai gantinya, aku sempat datang di sesi Eka Kurniawan dan Desy Anwar.
          Setelah sampai di Sanggingan, aku ke museum Neka. Di Sanggingan ini, Taman Baca, aku mendapatkan id card dan buku program. Aku sempat keliling di situ dan menemukan banyak orang dan pemandangan indah. Aku masih belum percaya bahwa aku sampai juga di tempat tujuanku. Hahaha..

foto-foto

 Bersambung ~> BERTEMU EKA KURNIAWAN

KE UBUD SENDIRIAN: IDENTITAS #1


Seorang teman facebook pernah mengira bahwa aku ini berumur 23 tahun. Padahal aku masih 17. Aku dengan teman facebook itu belum pernah bertemu. Barangkali anggapannya itu timbul karena melihat profil facebook-ku dan segala isinya, kontennya yang, mungkin berbau dewasa. Mungkin…



 
          Salah satu hal yang mungkin berbau dewasa, adalah bepergian jauh sendirian. Aku belum lama ini, 26 Oktober, pergi ke Ubud sendirian, tidak ada teman dan dengan membawa uang seadanya.
          Itu juga kali pertama bagiku naik pesawat, dan sebelum naik pesawat, aku mempelajari bagaimana caranya untuk masuk bandara dan sebagainya yang, kalau kulihat di televisi, begitu ketat.
          Sialnya, untuk masuk bandara harus memiliki KTP, dan aku sudah bikin KTP tapi belum jadi, aku hanya punya surat pernyataan bahwa KTP lagi diproses. Jadi aku menggunakan itu untuk masuk bandara. Sebelumnya aku agak ragu bisa masuk bandara hanya menggunakan itu. Jadi, sebelum berangkat, aku membawa akta, KK, ijazah, sampai SKCK. Serius. Aku lakukan ini untuk mencegah hal yang tidak dinginginkan tentu saja. 

sebuah persiapan.

          Aku take off jam 9 malam lewat, sempat aku mau berangkat jam 8 pagi dari kosan. Tapi aku pikir itu terlalu dini, tapi di sisi lain aku takut nanti ada masalah dengan identitasku dan harus melakukan beberapa proses untuk itu—karena aku tidak punya KTP. Akhirnya aku putuskan berangkat jam 12 siang, setelah duhur, setelah makan siang di warteg. Naik grab dan turun di Manggadua Square, di sana ada shulter bus bandara. Aku baru tahu bahwa di tempat ini bus bandara.
          Dari Mangga Dua menuju bandara soekarno-hatta memakan waktu 40-an menit. Itu cukup cepat, karena biasanya harus memakan waktu 1 jam-an bahkan lebih. Untung sebelum terbang, aku sudah searching banyak-banyak di internet, termasuk di mana terminal maskapai yang aku pakai nanti. Jadi aku turun terakhir dari bus, tanya sana-sini dan masuk di ruang tunggu. 

Di mangga dua~

          Sebelum itu, aku ceck-in secara mandiri. Jadi kaya disediain mesin gitu untuk ceck-in, jadi bisa pake scane atau memasukan kode booking untuk mencetak tiket boarding pass. Dan ketika aku ceck-in, ada seorang bapak di sampingku tampak kesulitan di depan mesin ceck-in. Aku  membantunya, tapi tidak bisa, sepertinya ada masalah yang aku tidak tahu.
          “Bapak tanya petugas saja.”
          “Oh iya, terima kasih.”
          Logatnya begitu asing di telingaku, di tiket yang dia pegang, dia akan terbang ke Malaysia.
          “Bapak dari Malaysia?” tanyaku sebelum kami berpisah.
          “Iya.”
          Perkiraanku benar.    

***
Sial, mungkin karena terlalu panik atau apa, aku tidak membawa air minum. Jadi aku membeli air minum di bandara, dan harganya 11 ribu, iya 11 ribu! Padahal itu cuma air putih dalam kemasan, tapi mungkin karena ini di bandara jadi harganya mahal ya. Saya sempat kaget ketika aku bertanya harga air ini berapa dan masnya bilang sebelas ribu, ketika itu aku kelimpungan dan seketika mual. Ndak nyangka aja, yang biasanya cuma tiga ribu, jadi sebelas ribu, berapa kali lipat tuh..
          Ditambah ketika aku memberikan uangnya berupa ceban dan dua ribuan, dan masnya nanya apa aku punya seribuan, aku jawab ndak punya, firasatku mulai ndak enak, lama kemudian aku bilang,
          “Yaudah, ngga apa-apa.” Sambil senyum, dan aku curiga apa yang masnya lihat ketika aku senyum, mungkin itu sebuah wajah yang penuh dendam.
          Jadi intinya kukatakan padamu bahwa aku masih berumur 17 tahun, bukan 23 tahun, dan 16 November nanti aku berumur 18, aku berharap nanti ada yang memberi kado satu pak beng-beng. Serius.

Bersambung~> MOTOR-MOTORAN DI BALI