Rasa takutku sudah sirna karena ‘cinta’. Sekarang, aku berdiri di pintu dojo[1] dan di hadapanku sudah banyak orang yang dibanting, membanting, saling mengunci dan masih banyak lagi, matras pun terus bergetar. ‘Bagh, bahg, bagh’
Kuniatkan untuk masuk di club Judo[2] ini, niat awalku adalah hanya ingin bertemu dengan wanita yang sudah memberiku janji –“Kamu bisa dikatakan pria sejati jika bisa mengalahkanku di pertarungan Judo.”
Dia memang seorang wanita, tapi perawakanya seperti bener-benar atlit yang terlatih. Pun wajahnya cantik nan manis. Aku suka.
Dengan hati-hati, kumasuki dojo.
“Hay!” seorang menepuk pundaku dengan kencang dari belakang, dia wanita yang kutunggu – Ocha Aurora, dia yang sudah mendatangakanku sampai disini.
Dia sudah menggunakan judogi[3]-nya dan sabuk coklatnya dibiarkan menggantung di pundaknya dan bergelayutan di dadanya.
“Ha-hay juga,” jawabku.
“Ayo, kuantar ke tempat pendaftaran, gratis lho...,”
“I-iyah.”
Langkahku semakin berat, kulewati pinggir-pinggir matras dojo, dan terlihat jelas, keringat bercucuran dari pejudo-pejudo itu. Matras dojo terus bergetar karena bantingan terus datang bertubi-tubi tanpa henti.
“Cepat...!” Ocha menarik tanganku. Aku pun dibuat pontang-panting olehnya.
Akhirnya, sampailah di tempat pendaftaran. Aku mengisi formulir dan kububuhi tandatangan, di sana jelas terlampir; jika ada cidera ringan/serius, ditanggung oleh pendaftar.
“Di sini latihannya keras, kamu harus bisa menyesuaikan dengan teman-teman barumu, semua pejudo harus disiplin dan menaati peraturan.” Aku hanya bisa menganggukan kepala mendengarkanya – pemilik club judo.
“Ini,” lanjutnya, ia memberiku judogi lengkap dengan sabuk putih.
Ocha memandangiku dengan senyumnya yang manis, sepertinya dia senang mempunyai teman baru di club ini.
“Ayo mulai latihan,” ajak Ocha.
“La-latihan?”
“Iyah.... Kamu ganti baju dulu.”
“Oh, iya.”
“Aku tunggu di matras sana yah....”
“Iya.”
Ia berlari meninggalkanku, sudah ada teman-temanya menunggu di tengah-tengah matras yang luas, bisa dikatakan Ocha adalah pejudo senior. Buktinya dia sudah sering memenangkan kejuaraan judo pelajar/umum tingkat daerah atau pun nasional – dia pernah menceritakan itu padaku.
***
Tepat seminggu kemarin, ia mengajaku untuk bergabung di club judo ini. Semua itu sudah kupikirkan ratusan kali. Aku juga sudah mencari informasi tentang yang namanya Judo, benar saja, resiko menjadi pejudo itu sangat banyak; patah tulang, sepertinya sudah biasa bahkan menjadi makanan sehari-hari.
Tapi, karena hati ini yang sudah dicurinya, rasa takut pun sirna seketika. Aku mencintainya, aku ingin selalu melihatnya, melihatnya dan terus melihatnya. Sehari saja tidak melihatnya, semalaman aku tidak bisa tidur karenanya. Inilah langkahku untuk bisa selalu bertemu dengannya – masuk club Judo, walau ini sangat-sangat berisiko untukku. Ini demi Ocha Aurora.
***
Setelah siap dengan judogi baru ‘milikku’, aku berjalan menyusuri matras dengan hati yang berdebar-debar, aku melihat banyak wajah-wajah garang, keringat bercucuran di sekujur tubuh, perban di mana-mana.... akhirnya, sampailah aku di hadapan Ocha.
“Aduh.... ini salah cara pakai sabuknya,” kata Ocha yang tersenyum pada sabukku yang masih sangat kaku – baru.
“Hah? Ini salah?”
Ocha pun membenarkan sabuk putihku. Dia melepas ikatanku yang salah tadi, aku hanya bisa terdiam dan mengangkat kedua tanganku agar memudahkanya untuk membenarkan sabuk ini dari pinggangku.
“Nah, ini baru....”
“Wah, iyah, bagus Cha,” aku tersenyum padanya.
“Belajar yah....,” dia tersenyum padaku, wajahnya manis sekali ....
‘prittt ....’ suara pluit yang ditiup sense[4] mengintruksikan untuk segera berbaris.
Dengan tertibnya, semua pejudo berkumpul dan berbaris, tapat jam 8 malam ini latihan akan dimulai.
“Mulai pemanasan...!” intruksi sense.
Seketika, semua pejudo membuat lingkaran besar dan menyisakan Ocha di tengah, dia yang memimpin pemanasan malam ini.
Aku ikut lingkaran itu, di antara badan-badan kekar dan wajah-wajah sangar. Hanya aku yang masih bersabuk putih.
***
15 menit kemudian pemanasan selesai, selanjutnya Hochikome[5], kali ini semua pejudo berpasangan dan mencoba mengeluarkan tekhnik-tekhniknya dengan membanting pasangannya itu. Sekuat tenaga....!
Kakiku menjadi lemas, seperti tak bertulang. Matras terus bergetaran, bertubi-tubi bantingan berdatangan.
“Hey! Kamu nggak ikut latihan?” seorang pejudo mengagetkanku.
“Iyah, ini lagi belajar, jadi, banyak-banyak melihat dulu.”
“Ahh.... nggak usah banyak teori. Praktek langsung!”
‘bugh’ aku dibantingnya dan terkapar di matras, rasanya sakit sampai ke tulang-tulang. Ketika aku mencoba berdiri, mataku samar-samar melihat orang yang membantingku tadi, wajahnya hitam seperti arang.
“Enak, kan?” ledeknya.
‘bugh’ aku meninju tepat di pipi kirinya yang keras – kepalanku merah.
“Kurang ngajar...!” dia kembali ingin membantingku.
“Sudah!” sense menghentikan perkelahian kita – aku dengan laki-laki hitam itu, dia masih sabuk kuning.
Aku pun diasingkan, aku duduk disamping matras ditemani sekardus air gelas, juga dengan menahan rasa sakit di pundak kiriku yang jatuh terbanting.
Di pinggir matras, aku hanya bisa melihat Ocha dengan kepiawaiannya melakukan tekhnik-tekhnik bantingan judo, dia tetap terlihat cantik.
‘prittt....’
Bunyi pluit tanda istirahat, semua pejudo berjalan ke arahku, badan yang besar, kekar. Judogi mereka masih berantakan, wajah-wajahnya sangar, dan sabuk mereka digenggam erat, penuh dengan keringat; melihatnya, rasanya aku ingin lari jauh dari sini.
Tubuhku beku di samping sekardus air gelas, mereka mengambil air itu satu-persatu. Ditusuknya air gelas itu dengan tangannya, lalu diminumnya tanpa jeda.
Sampai latihan dimulai lagi, aku tetap di pinggir matras menahan sakit. Tapi, semua rasa sakit itu terobati dengan melihat Ocha, Ocha, dan Ocha dari pinggir matras.****
[1] Tempat untuk latihan judo, berupa gedung.
[2] Bela diri asal Jepang, Judo juga dikatagorikan sebagai Olahraga, sering dipertandingkan di ajang Pesta Olahraga besar dunia.
[3] Baju judo, yang terbuat dari kain tebal (putih/biru)
[4] Guru/Pelatih (bahasa Jepang)
[5] Latihan membating dengan berpasangan –bergantian.
Kuniatkan untuk masuk di club Judo[2] ini, niat awalku adalah hanya ingin bertemu dengan wanita yang sudah memberiku janji –“Kamu bisa dikatakan pria sejati jika bisa mengalahkanku di pertarungan Judo.”
Dia memang seorang wanita, tapi perawakanya seperti bener-benar atlit yang terlatih. Pun wajahnya cantik nan manis. Aku suka.
Dengan hati-hati, kumasuki dojo.
“Hay!” seorang menepuk pundaku dengan kencang dari belakang, dia wanita yang kutunggu – Ocha Aurora, dia yang sudah mendatangakanku sampai disini.
Dia sudah menggunakan judogi[3]-nya dan sabuk coklatnya dibiarkan menggantung di pundaknya dan bergelayutan di dadanya.
“Ha-hay juga,” jawabku.
“Ayo, kuantar ke tempat pendaftaran, gratis lho...,”
“I-iyah.”
Langkahku semakin berat, kulewati pinggir-pinggir matras dojo, dan terlihat jelas, keringat bercucuran dari pejudo-pejudo itu. Matras dojo terus bergetar karena bantingan terus datang bertubi-tubi tanpa henti.
“Cepat...!” Ocha menarik tanganku. Aku pun dibuat pontang-panting olehnya.
Akhirnya, sampailah di tempat pendaftaran. Aku mengisi formulir dan kububuhi tandatangan, di sana jelas terlampir; jika ada cidera ringan/serius, ditanggung oleh pendaftar.
“Di sini latihannya keras, kamu harus bisa menyesuaikan dengan teman-teman barumu, semua pejudo harus disiplin dan menaati peraturan.” Aku hanya bisa menganggukan kepala mendengarkanya – pemilik club judo.
“Ini,” lanjutnya, ia memberiku judogi lengkap dengan sabuk putih.
Ocha memandangiku dengan senyumnya yang manis, sepertinya dia senang mempunyai teman baru di club ini.
“Ayo mulai latihan,” ajak Ocha.
“La-latihan?”
“Iyah.... Kamu ganti baju dulu.”
“Oh, iya.”
“Aku tunggu di matras sana yah....”
“Iya.”
Ia berlari meninggalkanku, sudah ada teman-temanya menunggu di tengah-tengah matras yang luas, bisa dikatakan Ocha adalah pejudo senior. Buktinya dia sudah sering memenangkan kejuaraan judo pelajar/umum tingkat daerah atau pun nasional – dia pernah menceritakan itu padaku.
***
Tepat seminggu kemarin, ia mengajaku untuk bergabung di club judo ini. Semua itu sudah kupikirkan ratusan kali. Aku juga sudah mencari informasi tentang yang namanya Judo, benar saja, resiko menjadi pejudo itu sangat banyak; patah tulang, sepertinya sudah biasa bahkan menjadi makanan sehari-hari.
Tapi, karena hati ini yang sudah dicurinya, rasa takut pun sirna seketika. Aku mencintainya, aku ingin selalu melihatnya, melihatnya dan terus melihatnya. Sehari saja tidak melihatnya, semalaman aku tidak bisa tidur karenanya. Inilah langkahku untuk bisa selalu bertemu dengannya – masuk club Judo, walau ini sangat-sangat berisiko untukku. Ini demi Ocha Aurora.
***
Setelah siap dengan judogi baru ‘milikku’, aku berjalan menyusuri matras dengan hati yang berdebar-debar, aku melihat banyak wajah-wajah garang, keringat bercucuran di sekujur tubuh, perban di mana-mana.... akhirnya, sampailah aku di hadapan Ocha.
“Aduh.... ini salah cara pakai sabuknya,” kata Ocha yang tersenyum pada sabukku yang masih sangat kaku – baru.
“Hah? Ini salah?”
Ocha pun membenarkan sabuk putihku. Dia melepas ikatanku yang salah tadi, aku hanya bisa terdiam dan mengangkat kedua tanganku agar memudahkanya untuk membenarkan sabuk ini dari pinggangku.
“Nah, ini baru....”
“Wah, iyah, bagus Cha,” aku tersenyum padanya.
“Belajar yah....,” dia tersenyum padaku, wajahnya manis sekali ....
‘prittt ....’ suara pluit yang ditiup sense[4] mengintruksikan untuk segera berbaris.
Dengan tertibnya, semua pejudo berkumpul dan berbaris, tapat jam 8 malam ini latihan akan dimulai.
“Mulai pemanasan...!” intruksi sense.
Seketika, semua pejudo membuat lingkaran besar dan menyisakan Ocha di tengah, dia yang memimpin pemanasan malam ini.
Aku ikut lingkaran itu, di antara badan-badan kekar dan wajah-wajah sangar. Hanya aku yang masih bersabuk putih.
***
15 menit kemudian pemanasan selesai, selanjutnya Hochikome[5], kali ini semua pejudo berpasangan dan mencoba mengeluarkan tekhnik-tekhniknya dengan membanting pasangannya itu. Sekuat tenaga....!
Kakiku menjadi lemas, seperti tak bertulang. Matras terus bergetaran, bertubi-tubi bantingan berdatangan.
“Hey! Kamu nggak ikut latihan?” seorang pejudo mengagetkanku.
“Iyah, ini lagi belajar, jadi, banyak-banyak melihat dulu.”
“Ahh.... nggak usah banyak teori. Praktek langsung!”
‘bugh’ aku dibantingnya dan terkapar di matras, rasanya sakit sampai ke tulang-tulang. Ketika aku mencoba berdiri, mataku samar-samar melihat orang yang membantingku tadi, wajahnya hitam seperti arang.
“Enak, kan?” ledeknya.
‘bugh’ aku meninju tepat di pipi kirinya yang keras – kepalanku merah.
“Kurang ngajar...!” dia kembali ingin membantingku.
“Sudah!” sense menghentikan perkelahian kita – aku dengan laki-laki hitam itu, dia masih sabuk kuning.
Aku pun diasingkan, aku duduk disamping matras ditemani sekardus air gelas, juga dengan menahan rasa sakit di pundak kiriku yang jatuh terbanting.
Di pinggir matras, aku hanya bisa melihat Ocha dengan kepiawaiannya melakukan tekhnik-tekhnik bantingan judo, dia tetap terlihat cantik.
‘prittt....’
Bunyi pluit tanda istirahat, semua pejudo berjalan ke arahku, badan yang besar, kekar. Judogi mereka masih berantakan, wajah-wajahnya sangar, dan sabuk mereka digenggam erat, penuh dengan keringat; melihatnya, rasanya aku ingin lari jauh dari sini.
Tubuhku beku di samping sekardus air gelas, mereka mengambil air itu satu-persatu. Ditusuknya air gelas itu dengan tangannya, lalu diminumnya tanpa jeda.
Sampai latihan dimulai lagi, aku tetap di pinggir matras menahan sakit. Tapi, semua rasa sakit itu terobati dengan melihat Ocha, Ocha, dan Ocha dari pinggir matras.****
[1] Tempat untuk latihan judo, berupa gedung.
[2] Bela diri asal Jepang, Judo juga dikatagorikan sebagai Olahraga, sering dipertandingkan di ajang Pesta Olahraga besar dunia.
[3] Baju judo, yang terbuat dari kain tebal (putih/biru)
[4] Guru/Pelatih (bahasa Jepang)
[5] Latihan membating dengan berpasangan –bergantian.
ini foto waktu 'penulis' (masih) Judo ^_^