The Queen's Gambit bercerita tentang seorang anak yatim piatu yang tumbuh untuk meraih mimpinya menjadi pecatur kelas dunia.
Di samping itu, ia juga menyentil isu feminisme dan perlawanan terhadap patriaki. Meski setting waktu pada tahun 60an, hal ini masih sangat relevan sampai sekarang.
Menonton serial ini bukan saja mengikuti keseruan perjuangan Elizabeth Harmon (Beth) dalam karier caturnya, tapi juga tentang bagaimana ia melawan batas-batas tabu atas gender.
Aku ingin bermain catur tanpa peduli komentar orang lain terhadap perempuan.
Kendati demikian, Beth juga sempat mempertanyakan ‘kodrat’ perempuannya.
Tapi di sisi lain, ia sama sekali tidak mau dianggap lebih rendah dari laki-laki, di lain waktu, ia mempunyai ambisi untuk mendominasi di atas laki-laki dari segi catur hingga sex.
Karakter Beth dibentuk melalui masa lalu yang kelam dan pencarian jati diri yang cukup panjang.
Perjalanan kehidupan Beth mulai dari ia kecil sampai dewasa, ditampilkan sangat apik dan masuk akal. Bagaimana ia pertama kali berhasrat dengan lawan jenis juga cukup menarik dan menggelitik.
Cerita juga tidak melulu fokus pada Beth, kadang juga menyoroti keluarga yang mengadopsinya.
Yang sialnya keluarga itu sedang tidak baik-baik saja. Dan menuntut mereka berdua (Beth dan ibu angkatnya) untuk memutar otak agar bisa bertahan hidup.
Kekurangan serial ini barangkali ada di pewarnaan yang terlihat tidak terlalu konsisten, kadang terlihat seperti tahun 60-an, kadang terlihat modern. Tapi ini bisa untuk tidak diindahkan mengingat aspek lain yang sangat menonjol.
Pada akhirnya, The Queen's Gambit, bukanlah sekadar serial permainan catur, ia berbicara tentang feminisme, petriaki, pencarian jati diri, hingga gejolak perang dingin antara AS dengan Uni Soviet.
Penghargaan paling tinggi saya kepada mbak Anya Taylor-Joy yang memerankan Beth dengan sangat sempurna.***